Menyebarkan artikel di media sosial bisa menyebabkan orang-orang percaya bahwa mereka sepintar artikel yang disebarkannya. Begitulah simpulan dari hasil studi UT Austin yang dirilis dalam The Journal of Consumer Psychology.
Lebih lanjut dalam ulasannya, para peneliti melacak perubahan pengetahuan subjektif pada mereka yang diminta menyebarkan artikel terkait pencegahan kanker, versus yang tidak. Hasilnya, mereka yang menyebarkan artikel (meskipun tidak membaca isi artikelnya) percaya mereka tahu lebih banyak tentang kanker dibandingkan mereka yang tidak menyebarkan.
Di dalam bagian lain, juga dikemukakan persoalan yang sama. Bahwa, jika seseorang merasa punya pengetahuan luas terhadap suatu topik, mereka juga merasa tidak perlu membaca atau mempelajari informasi tambahan terkait topik tersebut.
Tentu, hasil studi ini menampar seluruh penghuni dunia maya (warganet). Setiap waktu, tanpa jeda, tanpa disadari, warganet selalu melakukan aktivitas menyebarkan informasi. Bahkan itu sudah menjadi aktivitas wajib sebagai bentuk eksistensi.
Senada dengan itu, Tom Nichols mengurai fenomena tersebut pada bukunya The Death of Expertise (Matinya Kepakaran). Singkatnya, menurut Nicols, kebenaran tidak lagi berorientasi pada kualitas, melainkan seberapa luas konten itu menyebar (kuantitas-viralitas). Lalu, studi UT Austin ini mengonfirmasi sekaligus menguatkan ulasan Tom Nichols tersebut. Bahwa semua itu nyatanya tidak sampai pada orientasi materi semata, melainkan menyebar ke arah yang lebih dalam, yakni keyakinan dan persepsi. Si penyebar akan dicap sepintar materi yang disebarkan.
Kini, kita telah hidup dalam masyarakat yang menganggap secuil pembelajaran sebagai akhir, bukan awal, dari pendidikan. Kondisi ini sungguh berbahaya (Nichols, 2018: 8)
Terbaru, pada kasus rancangan UUD Sisdiknas. Headline berita Tunjangan Sertifikasi Guru Dihapus. Linimasa beranda media sosial seketika penuh pembahasan tersebut. Acara televisi juga ikutan latah mengangkatnya.
Sontak, berbagai macam pendapat langsung berserakan di mana-mana. Opini publik terbentuk dengan mudahnya. Seketika bermunculan pakar-pakar instan yang bermodal ruang unggahan dan kuota internet. Mereka mencaci, mengulas, dan berkomentar entah ke mana saja.
Padahal, kalau membaca isi beritanya, penghapusan tunjangan sertifikasi guru tidak ada sama sekali. Bahkan tunjungan profesi itu akan dipermudah dan diperluas. Jadi, penulisan judul Tunjangan Sertifikasi Guru Dihapus itu asal-muasalnya dari mana? Kita (pembaca) yang mudah terhasut, atau memang kontennya yang sengaja dibuat demikian?
Masalah tidak berhenti di situ. Saat saya coba menjelaskan isi berita itu ke sejumlah kerabat, mereka menentang dan mengajak debat kusir ketimbang mendengarkan. Mereka seperti mempunyai kebenaran dengan modal unggahan yang terpampang di mana-mana.
Agaknya benar bahwa internet bukan hanya membuat kita lebih bodoh, melainkan juga lebih kejam: sendirian di balik papan ketik, banyak orang berdebat dan bukan berdiskusi, serta menghina dan bukan mendengar.
Dalam beberapa waktu belakangan, misalnya, terbentuk wacana bumi datar, gerakan anti vaksin, dsb. Wacana tersebut berhasil membentuk suatu populasi, komunitas, dan koloni. Mereka menjelma menjadi suatu gerakan propaganda, menyebarkan konspirasi, dsb. Semuanya telah menyebar ke mana-mana. Mencipta, membentuk, dan memproduksi wacana baru. Hingga sekarang, hal itu cukup populer dan eksis.
Jadi, tidak heran bila Tom Nichols menganalogikan internet dengan Hukum Sturgeon yang menyatakan, “90 persen dari semua hal (di dunia maya) adalah sampah.” Sebab, internet memang memfasilitasi semua itu untuk hadir, muncul, berkembang, memengaruhi, dan berproduksi. Dari sinilah pertarungan wacana itu terbentuk dan terjalin. Dalam banyak kasus, pemenangnya ialah selalu mereka yang berlandaskan kuantitatif.
Betapa tidak, semua sebaran informasi dan konten hari ini berorientasi pada target click, comment, like, share, viewers, follow, dan adsense. Bahaya utamanya, seperti ulasan UT Austin di atas, si penyebar akan dianggap sepintar apa yang disebarkannya, dan itu jumlahnya tanpa batas dan terus berproduksi. Saat hal itu terjadi, kepakaran sejatinya telah mati.
Mungkin dapat sedikit disimpulkan, inilah alasan mengapa problem intoleransi, radikalisasi, islamofobia, terorisme, dan degradasi moral begitu menyeruak tidak ada habisnya. Lebih parah lagi, selalu ada komersialisasi atas permasalahan itu.
Di Indonesia khususnya, permasalahan paradigma “sepintar artikel” ini semakin menumpuk dan berlipat. Dalam olah literasi, tidak ada yang bisa dibanggakan. Dari seribu orang, cuma ada satu orang yang suka membaca. Rasa ingin tahu yang rendah, serta pemahaman teks yang parsial, membuat subjek-subjek menjadi objek yang rapuh dan lemah. Jadi, bisa dibayangkan, betapa mengerikannya situasi seperti ini. Seperti sebuah surga bagi para pendusta dan hakim dadakan.
Ini adalah masa-masa yang sangat berbahaya. Belum pernah begitu banyak orang memiliki akses ke begitu banyak pengetahuan, tetapi sangat enggan untuk mempelajari apa pun.
Komersialisasi Konten
Bagaimana jadinya bila konten atau artikel yang berkelindan tiap waktu tanpa jeda di media sosial nyatanya cuma sekadar target click, comment, like, share, viewers, follow, dan adsense?
Ruang di media sosial itu cukup parsial dan terbatas. Kita lebih mengenalnya dengan istilah durasi. Semua pemain internet selalu berpikir keras bagaimana memanfaatkan ruang tersebut agar menarik dan mendapat perhatian. Dari sini sebenarnya permasalahan itu bermula.
Pemain internet mau tidak mau akan selalu dipaksa untuk memproses dan mengedit, serta menyesuaikan. Karena ada semacam target bayangan (click, comment, like, share, viewers, follow, dan adsense) agar bisa menarik perhatian. Konsep tersebut lebih mirip tindakan kontrol gerak terhadap objek. Singkatnya, konten dibuat sekaligus disediakan untuk target.
Penyuguhan parsial dan umpan klik merupakan langkah yang akan mengarahkan hasil pada suatu tindakan provokatif dan propaganda. Sebab, segalanya telah berorientasi pada kejutan awal, tanpa pembacaan utuh. Ini adalah konsekuensi dari percepatan teknologi informasi, bahwa semuanya serba menuntut cepat, padat, dan banyak (dromologi).
Bayangkan saja, konsep ketuhanan melalui agama atau kompleksitas sosial yang membutuhkan penjelasan panjang, mendalam, dan menyeluruh justru tersaji dalam bentuknya yang parsial. Tentu ini masalah serius. Pikiran subjek akan dengan mudah menarik kesimpulan yang bias, rapuh, dan banal. Sebab, informasi yang minim, singkat, dan padat, selalu sangat rentan tersisipi oleh lain hal. Pengejaran eksistensi akan menambah permasalahan ini.
Masyarakat dengan literasi rendah akan dengan mudah tertipu daya dan jatuh. Tidak adanya rasa ingin tahu lebih mempersuram segalanya, menjadikan keberterimaan dengan keangkuhan. Lingkaran interaksi ini akan menggulung seperti bola salju, membesar pada status, cerita, unggahan, dan sejenisnya.
Tanggung Jawab Personal
Seperti pernyataan di awal tulisan ini, bahwa semua ini ialah tamparan bagi kita semua (warganet). Ini bukan untuk golongan tertentu, tetapi semua pengguna atau pemain internet. Mengambinghitamkan kehadiran internet sungguh adalah langkah yang ironi. Itu lebih mirip istilah lempar batu sembunyi tangan. Bagaimanapun, kita (warganet) ialah pelaku utama.
Hasil studi dari UT Austin hadir sebagai peringatan, bahwa ada permasalahan dalam paradigma kebenaran hari ini. Tugas kita ialah, menjaga dan menahan rayuan eksistensi diri masing-masing. Lebih membekali pikiran dengan rasa ingin tahu yang dalam. Lebih menjadi pendengar ketimbang pendebat. Hanya dengan begitu, kita akan dapat menggapai kebermanfaatan utama dalam berinternet.
Penguatan literasi selalu menjadi harga mati untuk mengarungi keberlimpahan teks. Meningkatkan literasi ialah tanggung jawab bersama yang bisa dimulai dari kesadaran pribadi. Tidak ada yang terlambat selama ada kemauan untuk memulai.
***
Editor: Ghufroni An’ars