Slogan Yogyakarta Berhati Nyaman telah menjadi semacam bius bagi masyarakat Yogya. Segala hal yang merugikan masyarakat Yogyakarta seakan tak pernah ada. Kebijakan dan sistem sosial yang memancing sakit hati dipaksakan agar jadi normal. Apakah slogan Yogyakarta Berhati Nyaman benar-benar memiliki daya magis yang begitu hebat?
Di suatu sore, saya pernah dengar cerita dari seseorang di Yogyakarta—sebuah cerita yang membikin saya mencubit diri untuk selalu ingat. Saat itu, saya berkunjung ke salah satu perpustakaan daerah di Yogyakarta seorang diri. Saya mencari sudut ruangan untuk membaca buku. Kesendirian di sudut ruangan itu menarik perhatian seseorang hingga ia mengajak saya berbincang. Orang itu bernama Pierre Bourdieu.
Ia datang ke perpustakaan untuk mengenang masa lalunya. Pada hari pertama kedatangannya di Yogya, ia mendapat musibah kecopetan. Dompet dan barang-barang berharganya ludes dicuri gara-gara lalai ketiduran di bus. Ia baru menyadarinya setelah turun dari bus. Dengan muka kebingungan, ia datang ke perpustakaan daerah untuk mencari pertolongan. “Sepi betul perpustakaan itu. Untung aku bertemu dengan seorang pemuda yang kemudian menolongku,” katanya mengulang.
Baca juga:
Bourdieu datang ke Yogyakarta karena tertarik dengan slogan Yogyakarta Berhati Nyaman. Ia ingin mengobservasi secara langsung bagaimana sistem sosial yang membentuk Yogyakarta sehingga muncul slogan Yogyakarta Berhati Nyaman.
Musibah yang menimpa tidak membuatnya goyah menjalankan misinya di Yogyakarta. Ia sangat bersyukur pemuda yang ditemuinya bersedia menampungnya. Ia tak punya cukup pegangan uang untuk menyewa kamar hotel dengan waktu yang cukup lama. Padahal, ia melihat banyak sekali hotel yang menjulang tinggi di tanah Yogyakarta. Di kemudian hari, ia justru bersyukur tidak menginap di hotel-hotel itu.
Pemuda yang ditemuinya bukan orang kaya, hanya anak wong cilik, katanya. Pemuda itu memiliki tekad belajar yang tinggi sehingga sering datang ke perpustakaan. Bourdieu melihat pemuda itu memiliki kebiasaan belajar karena terbentuk dari lingkungan di rumahnya. Orangtuanya selalu mengingatkan untuk belajar. Dari fenomena itulah Bourdieu mengingat perihal habitus yang dipikirkannya. Habitus atau kebiasaan yang diperoleh pemuda itu hadir atas internalisasi pemuda dari lingkungan di sekelilingnya.
Bourdieu menjadikan pemuda itu sebagai salah satu objek observasinya. Pemuda itu menyetujui dengan senang hati. Lantas, Bourdieu menanyakan untuk tujuan apa pemuda itu belajar begitu rajin. Menurut pemuda itu, pendidikan adalah salah satu jalan paling memungkinkan untuk mentas dari genangan kemiskinan. Dengan pendidikan, pemuda itu berpikir akan dapat memiliki cukup pengetahuan untuk beradaptasi pada sistem yang dianggap mapan dan yang sedang berkuasa sehingga mampu menanggalkan status miskinnya. Pemuda itu ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Bourdieu mengingat lagi gagasan dalam pikirannya. Oh, anak muda itu ingin lepas dari arena kemiskinan yang selama ini jadi makanannya sehari-hari!
Dari kehidupan pemuda itu, Bourdieu menduga ada yang tidak relevan dengan slogan Yogyakarta Berhati Nyaman. Pada kenyataannya, pemuda itu tidak sungguh-sungguh nyaman dengan kehidupannya di Yogyakarta sekarang. Bourdieu menyadari ada sistem sosial yang dikonstruksi oleh kelompok yang mendominasi realitas sosial di Yogyakarta.
Kesedihan terlukis di wajahnya setelah mengetahui pemuda itu tidak lolos masuk perguruan tinggi, terlebih setelah mengetahui bahwa pemuda itu sebetulnya dapat masuk perguruan tinggi yang diinginkan jika mampu mengeluarkan uang lebih. Kepercayaan Bourdieu atas slogan itu sekonyong-konyong runtuh.
Yang mengejutkan, pemuda itu tak mempersoalkan slogan Yogyakarta Berhati Nyaman yang selama ini tersemat pada kota kelahirannya. Hal ini memperkuat keyakinan Bourdieu bahwa agen atau subjek dapat berkuasa ketika memiliki modal-modal, yakni modal sosial, modal kultural, modal intelektual, dan modal ekonomi. Dari fenomena ini, tampak begitu jelas bagaimana ketiga macam modal tersebut digunakan oleh orang yang memilikinya dalam jumlah paling besar untuk menjadi kian berkuasa dengan meminggirkan orang-orang seperti pemuda yang ditemui Bourdieu.
Setelah beberapa waktu tinggal di rumah pemuda itu, Bourdieu merasa tak enak jika harus terus-terusan hidup bergantung. Ia pun mencoba melamar kerja sebagai pramuniaga. Ia mendapat panggilan untuk wawancara dan menandatangani kontrak kerja. Ia terkejut ketika melihat upah yang nantinya ia peroleh. Menurutnya, upah itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak di Yogyakarta. Kemudian, ia mencari di internet perihal kelayakan upah di Yogyakarta; berita-berita bermunculan mengenai ketidaklayakan upah.
Dengan upah sekecil itu, ia terpaksa bekerja untuk beberapa waktu. Di tempat kerja, ia mendapati rekan sesama pekerja yang seakan tak mempersoalkan kelayakan upah. Bourdieu kembali terpikirkan akan slogan itu. Ia ingat, asal-usul slogan itu dari sesanti memayu hayuning bawana yang telah dilegitimasi dalam Perda tahun 1992 tentang Yogyakarta Berhati Nyaman. Ungkapan yang menginspirasi slogan itu bermakna filosofis kehidupan yang berorientasi memperindah dunia.
Manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya. Bersamaan dengan itu, manusia juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spiritualnya. Pandangan tersebut memberikan dorongan bahwa hidup manusia tidak mungkin lepas dari lingkungan. Manusia, khususnya orang Jawa di Yogyakarta, hendaknya arif lingkungan, tidak merusak maupun berbuat semena-mena.
Akan tetapi, slogan itu tidak tercermin pada kondisi saat ini. Tanpa disadari, slogan itu justru mengubur fakta-fakta terkait tingginya kriminalitas, upah rendah, konflik ruang yang mengiringi pembangunan hotel, dan sejuta lagi masalah sosial di Yogyakarta. Rasa-rasanya, tidak keliru mengatakan bahwa slogan itu justru merupakan tameng bagi kelompok yang mendominasi dan ingin diuntungkan. Siapakah mereka? Mereka tak lain daripada orang-orang yang memiliki modal.
Pada akhirnya, Pierre Bourdieu tidak betah lama tinggal di Yogyakarta. Ia kembali ke kota asalnya setelah berhasil menghubungi keluarganya. Sebelum ia benar-benar pergi dari Yogyakarta, saat itu di perpustakaan, ia berkesimpulan bahwa slogan Yogyakarta Berhati Nyaman secara tak sadar diterima oleh seluruh masyarakat. Lebih jauh, masyarakat tak menyadari bahwa slogan tersebut adalah bentuk pemaksaan atribut yang dibuat oleh orang-orang yang berkuasa.
Bagi Bourdieu, slogan itu tak ubahnya suatu simbol kekerasan atau penindasan simbolik terhadap masyarakat. Sebab, masyarakat “dipaksa” secara halus untuk memahami suatu realitas bahwa ada pihak tertentu yang lebih diuntungkan ketika ada pihak lain yang dirugikan. Slogan itu membuat penindasan ini seakan tidak dirasakan sebagai penindasan, seakan segalanya normal.
Slogan Yogyakarta Berhati Nyaman telah menjadi doxa atau pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan masyarakat. Alhasil, masyarakat kehilangan kemampuan untuk bersikap kritis terhadap penguasa.
Baca juga:
Sore itu, di sudut perpustakaan saya tersadar bahwa cerita yang saya bangun di atas adalah cerita fiktif. Cerita saya lahir dari kegelisahan terhadap sistem sosial di Yogyakarta yang tidak memihak masyarakat sipil kebanyakan. Dalam cerita itu, saya mencoba melihat Yogyakarta dari kacamata filsuf dan kritikus sosiologi Pierre Bourdieu dan mendapati adanya kekerasan dan penindasan terstruktur yang dibungkus slogan Yogyakarta Berhati Nyaman.
Editor: Emma Amelia