Penyiar Radio Banua Malaqbi dan peresensi di Resensi Institute

Dilarang Berharap pada Konglomerasi Media

Syafri Arifuddin Masser

4 min read

Pemilu Presiden 2024 masih lama, tapi konstelasi dan konsolidasi menuju ke sana sudah dimulai sejak jauh-jauh hari. Begitu pula bagi para pemilik media yang sudah kembali turun gelanggang dengan menunjukkan dukungan secara tersirat melalui kanal-kanal medianya. Lihatlah bagaimana TV One dan Metro TV sebagai media berita besar, sudah menampilkan sosok-sosok yang akan menjadi kandidat presiden dalam bentuk pemberitaan yang beragam untuk mengangkat elektabilitas kandidat dan memetakannya.

Baca Editorial:

Media berperan besar dalam politik. Para konglomerat media punya peran penting yang tidak dimiliki politisi biasa, yakni kendali massa. Di Indonesia, media selalu menjadi faktor penting sepanjang perjalanan bangsa.

Di masa pra kemerdekaan media koran cetak menjadi medium yang digunakan kaum pergerakan awal untuk memberikan informasi alternatif selain dari koran Hindia Belanda—yang akhirnya memantik kesadaran kaum terdidik akan pentingnya kemerdekaan. Salah satunya Medan Priyayi sebagai koran pribumi pertama berbahasa melayu yang dibentuk oleh Tirto Adhi Suryo yang kisah hidup perjuangannya menginspirasi Pramoedya Ananta Toer menulis tetralogi pulau buruh. Pada periode ini, koran cetak menjalankan fungsinya untuk menyampaikan pesan perlawanan.

Di masa Orde Lama, media selanjutnya adalah radio. Radio mempercepat tersebarnya kabar yang terjadi di ibu kota. Pidato agitatif milik Soekarno terdistribusi melalui radio. Sebagai orator ulung, Soekarno seakan berjodoh dengan medium ini.  Sampai-sampai Indonesia ketika itu dijuluki Republik Mikrofon.

Di masa itu, Soekarno membuat Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai corong informasi untuk menjangkau seluas-luasnya rakyat Indonesia. RRI digunakan untuk menyampaikan tentang sebuah bangsa baru dengan prinsip-prinsipnya. RRI pun sempat dianggap sebagai pendukung rezim diktator sebab Soekarno pernah membredel koran cetak yang menandakan kediktatorannya di tahun 50-an, sementara radio tidak.

Media yang membawa pesan selanjutnya adalah televisi yang lekat di era Orde Baru. Soeharto  menjadikan televisi sebagai media propaganda untuk melanggengkan kekuasaannya, dengan menjadikan televisi pemerintah itu menampilkan segala bentuk pembangunan dan keberhasilan pemerintah selama 32 tahun. Pesan yang dibawa media ini adalah propaganda untuk membentuk persepsi massa, atau dengan arti kata lain, mengendalikan pikiran publik.

Sekarang, ketika media digital yang seharusnya menjadi sumber kekuatan baru bagi publik, ternyata tetap dikangkangi oleh para konglomerat media.

Oligarki Media

Yang disebut oligark media adalah segelintir orang yang memiliki kekuasaan besar terhadap media atau sederhananya oligark media ini adalah pemilik media-media besar. Untuk memetakan konglomerat media di Indonesia dan pengaruhnya, lihatlah siapa pemiliknya dan preferensi politiknya.

Di Indonesia, menurut Ross Tapsell, setidaknya ada delapan konglomerat media.

1. Chairul Tanjung pemilik perusahaan induk CT Corp dengan anak perusahaan Trans Corp yang memiliki televisi Trans TV, Trans 7, dan CNN TV sebagai televisi berita sekaligus CNN dan Detik sebagai media daringnya. Chairul Tanjung kendati pun menganggap diri murni sebagai pengusaha, tetapi menurut penelusuran Tapsell, ia memiliki kedekatan khusus dengan SBY sehingga pola pemberitaan media di bawah naungan Chairul Tanjung tidak pernah menyerang pemerintah selama periode SBY menjadi presiden.

2. Hari Tanoesoedibjo pendiri sekaligus ketua partai Perindo adalah pemilik Global Media Com dengan anak perusahaan media MNC sekaligus nama televisinya, serta RCTI dan Global TV. Dia juga pemilik koran Sindo, media daring Okezone dan Sindonews. Hari Tanoesoedibjo juga memiliki stasiun radio Trijaya FM, ARH Global, dan Radio Dangdut. Namanya cepat dikenal meskipun orang baru dalam kancah politik Indonesia karena pengaruh media yang dimilikinya. Mars perindo menjadi tayangan utama di televisinya. Pada pemilu 2019 dia tergabung dalam koalisi Merah Putih yang menunjukkan keberpihakan politisnya.

3. Eddy Saria Atmaja pemilik EMTEK dengan anak perusahan medianya SCMA Group merupakan pemilik SCTV, Indosiar, dan O-channel. Media daringnya Liputan6 dan radio El Shinta.

4. James Riady pemilik Lippo dengan anak perusahan media Berita Satu sekaligus nama televisinya dan media daringnya. James Riady juga pemilik surat kabar Suara Pembaruan dan media bahasa Inggris, Jakarta Globe.

5. Jacoeb Utama pemilik Kompas Gramedia sang penguasa industri buku dengan penerbit sayapnya Gramedia. Anak perusahaannya Kompas Grup membawahi perusahaan penerbitan Kompas, pemilik kanal televisi Kompas TV dan koran Kompas dan pemilik media daring Tribunnews.

6. Aburizal Bakrie politisi senior Golkar pemilik Bakriegrup dengan anak perusahaan media Visimedia Asia adalah pemilik stasiun televisi berita TV One dan ANTV, dan media daring Viva. Pada pemilu 2019 televisinya TV One membuat bingung masyarakat karena menunjukkan hasil perolehan suara yang berbeda dengan lembaga survei yang menampilkan hasil quick count.

7. Dahlan Iskan sang raja koran lokal. Dianggap menjadi faktor penting dalam proses pemenangan Jokowi pada periode kedua di detik-detik akhir sebelum pemilihan. Dahlan Iskan pemilik perusahaan Jawa Pos Group dengan nama perusahaan media yang sama dan pemilik Koran Jawapos dengan koran lokal yang berafiliasi dengannya atas nama Fajar dan Radar, juga memiliki media daring Jppn.co dan radio Fajar Makassar.

8. Surya Paloh ketua Partai Nasdem pemilik Media Group dengan anak perusahaan Media Televisi Indonesia yang membawahi Metro TV sebagai televisi berita, Koran Media Indonesia, dan media daring metrotvnews. Sebagai seorang politikus, Surya Paloh tidak bisa dijauhkan dari intrik politik dan dengan kekuasaan medianya Surya Paloh punya bargaining politik yang kuat.

Di era digital banyak yang menganggap media oligark akan menemui titik nadir sebab era internet telah membuka peluang bagi masyarakat biasa untuk membuat media dengan memanfatkaan platform media-media sosial yang besar seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram. Nyatanya, dari delapan oligark media yang disebutkan di atas, sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala terdisrupsi oleh kehadiran media sosial sebab dengan kekuatan modal yang besar mereka justru beradaptasi dengan arus digitalisasi dan ikut terjun untuk memanfatkan media-media tersebut, yang menunjukkan semakin berkuasanya para oligark media.

Media Alternatif

Kuasa media yang terlalu besar oleh para oligark ini perlu mendapatkan lawan meskipun tidak sepadan, yakni warga sipil dengan media sosial sebagai media alternatifnya. Sudah berapa kali kita lihat bagaimana aparat kepolisian menindaklanjuti suatu persoalan karena terlebih dulu jadi top trending di Twitter atau bagaimana negara merespon suatu peristiwa setelah ada petisi yang tersebar di Facebook.  Hal semacam itu kini menjadi kekuatan baru untuk menekan pemerintah agar menjalankan fungsinya dengan baik.

Baca juga Ketika Media Milik Kita

Mereka yang memiliki pengikut yang besar di media sosial bisa lebih punya pengaruh dari suara politikus. Hal ini membuktikan media sosial sebagai media alternatif. Tahun 2019 di saat terjadinya kebingungan massal dari hasil pemilu, warga sipil membuat Kawalpemilu.org sebagai saluran yang menampilkan hasil pemilu menggunakan jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia berbasis warga. Tahun 2020 saat pandemi melanda, warga membuat kawalcovid19.co.id sebagai sumber informasi mengenai pandemi yang tidak menampilkannya secara statistik saja dengan ragam bahasa yang berganti-berganti seperti versi pemerintah yang membuat bingung warga dan cenderung menganggap remeh covid-19 di awal kemunculannya, melainkan dengan informasi yang lebih terbuka dan menggunakan perspektif sains. Hal itu menunjukkan bahwa warga bisa punya pengaruh.

Kita tidak bisa berharap banyak dari media partisan atau media yang pemiliknya seorang politikus sebagai sumber utama informasi karena ruang redaksi media kerap kalah dari kepentingan direksinya. Kendati revolusi media telah membawa kita pada era yang Tom Nichols sebut sebagai era matinya kepakaran, tetapi di saat yang sama ia juga merupakan era keterbukaan informasi yang menghendaki warga untuk memanfaatkan ruang digital tersebut sebagai people power dalam menyuarakan kepentingannya dan memperjuangkan perubahan di sisi yang lain.

Di tengah berkuasanya media oligark ini, warga sipil wajib mengambil peran untuk merebut ruang-ruang informasi dengan memanfaatkan media sosial sebagai media alternatif tanpa dilatarbelakangi kepentingan politik pragmatis meskipun dominasi merebut atensi publik oleh media oligark jauh lebih besar. Sebab media sosial sebagai media alternatif menjadi satu-satunya harapan. Dan harapan itu harus tetap dijaga nyala apinya.

Syafri Arifuddin Masser
Syafri Arifuddin Masser Penyiar Radio Banua Malaqbi dan peresensi di Resensi Institute

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email