Saya kurang optimis dengan RUU Sisdiknas baru, terutama pada poin mengenai peningkatan kesejahteraan guru. Diproyeksikan sekitar 1,6 juta guru akan mendapat tunjangan layak. Lalu ke depannya, guru tidak perlu menunggu sertifikasi untuk mendapat tunjangan profesi. Semua guru negeri dan swasta akan dijamin kesejahteraannya. Tentu ini sebuah langkah revolusioner walaupun sebenarnya wacana kesejahteraan guru bukan lagi wacana baru. Namun, kebijakan ini tetap perlu menjadi bahan refleksi bersama. Apakah para guru bisa menjamin ada peningkatan kualitas diri setelah mendapat tunjangan? Apa mutu pendidikan nasional bisa dijamin membaik? Ini harus dijawab sedini mungkin dengan cermat dan tepat. Jangan sampai pendidikan Indonesia jatuh ke lubang yang sama.
Perlu diketahui, pelaksanaan sertifikasi pendidik dimulai sejak tahun 2007 setelah terbitnya Peraturan Mendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Hal itu mulanya dibentuk sebagai upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Pemerintah mulai memberi tunjangan materil kepada guru sertifikasi. Nominal dari tunjangan ini terbilang cukup tinggi. Untuk golongan negeri, besaran tunjangan profesi sebesar sekali gaji pokok. Untuk golongan swasta, besarannya mulai dari 1,5 juta rupiah. Akibatnya, anggaran pendidikan meningkat. Terhitung sejak 2009, 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan. Namun, kualitas pendidikan di Indonesia selama 15 tahun terakhir masih jauh panggang dari api.
Dari data di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) per 2019, terdapat 3.017.296 guru di Indonesia. Sebanyak 2.114.765 berada di sekolah negeri. Sedangkan 902.531 berada di sekolah swasta. Sebanyak 1.174.377 guru PNS baik di sekolah negeri maupun swasta telah tersertifikasi. Kemudian, sebanyak 217.778 guru non-PNS sudah tersertifikasi.
Menilik data tersebut, hampir 50% guru di Indonesia sudah bersertifikasi (baik guru ASN maupun non-ASN). Harusnya pendidikan bisa sedikit membaik dan bergerak ke depan. Sebab, hampir separuh dari jumlah guru tersebut sudah dapat dikatakan sejahtera dengan tunjangan yang diterima. Namun, nyatanya keadaan tersebut belum mampu memberi dampak siginifikan pada mutu pendidikan Indonesia.
Hasil survei PISA 2018 menempatkan Indonesia di urutan 74. Kemampuan membaca siswa Indonesia berada di posisi 74 dengan skor 371, kemampuan Matematika berada di posisi 73 dan mendapatkan skor 379, sementara kemampuan sains berada di posisi 71 dengan skor 396. Semua skor itu di bawah rata-rata. Pada uji PISA terakhir, Indonesia mengalami penurunan hasil.
Selain itu, hal yang paling mencolok bisa dilihat pada hasil UKG (Uji Kompetensi Guru). Guru yang memiliki kompetensi di atas rata-rata atau lulus Uji Kompetensi Guru (UKG) dengan nilai minimal 80 tak lebih dari 30%. Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PBPGRI), Dudung Nurullah Koswara, menjelaskan bahwa tak hanya guru, 70% dari total kepala sekolah juga belum memiliki kompetensi standar.
Selain itu, banyak pula guru yang gagap teknologi, malas membaca, malas menulis, rendah bersosialisasi, dsb. Pada pembelajaran daring saat pandemi beberapa waktu lalu, semua itu terlihat jelas. Masih banyak guru yang belum bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Parameter-parameter tersebut bisa jadi indikator awal bahwa sertifikasi pendidik dan kesejahteraan yang selama ini ditempuh dengan maksud perbaikan mutu pendidikan tidak terlalu linier dan berdampak signifikan terhadap mutu kualitas pendidikan.
Sertifikat Pendidik Elit, Kualitas Sulit
Di beberapa negara maju, guru bukanlah golongan orang sembarangan. Para guru dapat dipastikan sebagai orang terbaik di negara tersebut. Seleksi dan perekrutan menggunakan instrumen ketat, tinggi, dan profesional.
Profesi guru di Jepang sangat terhormat dan kompetitif. Hanya 14% dari seluruh pelamar yang berhak mengikuti program Teacher Education. Berikutnya, hanya 30-40% dari jumlah tersebut yang dinyatakan lulus dan menjadi guru. Rangkaian proses tersebut sangatlah ketat dan kompeten. Jadi, dapat dipastikan guru di Jepang adalah terbaik dari yang terbaik.
Di Indonesia, rekrutmen guru pada tahap awal sudah sangat rendah. Bagaimana pun perguruan tinggi adalah produsen utama SDM (guru). Namun, dalam jajaran 10 besar universitas terbaik, tidak ada universitas yang punya program studi bidang keguruan dan pendidikan. Bagaimana bisa mendapat guru berkualitas jika penyedianya saja belum berkualitas?
Berbeda dengan Singapura yang memiliki National Institute of Education (NIE), institut otonom di bawah Nanyang Technological University (NTU) yang merupakan perguruan tinggi dengan kualitas dunia. QS World Ranking menempatkan NTU di ranking 11 perguruan tinggi terbaik dan NIE sebagai lembaga pendidikan guru terbaik kedua di dunia.
Sedangkan di Indonesia, selama individu lulusan perguruan tinggi mempunyai gelar S.Pd, ia bisa jadi guru. Tidak peduli isi skripsi compang-camping, pengalaman pas-pasan, atau kemampuan akademik rendah. Dari sini mungkin sedikit dapat disimpulkan, jangan-jangan guru di Indonesia memang layak digaji rendah.
Baca juga:
Ladang Empuk Kapitalisasi Sekolah
Pada akhirnya, lulusan pendidikan yang minim kompetensi ini menjadi ladang empuk kapitalisasi sekolah. Selama ini, belum ada aturan pasti, tegas, dan jelas mengenai gaji guru swasta. Tidak ada standardisasi dari pemerintah perihal gaji guru swasta.
Para lulusan pendidikan ini akan dengan rela masuk ke dunia pendidikan sebagai guru. Meskipun dalam seleksi banyak lulusan yang sebenarnya tidak layak mengajar, mereka tetap akan diperkerjakan guna menutupi kekosongan kebutuhan. Pada celah inilah hukum kapitalis bekerja dan menguasai pendidikan Indonesia. Modal seminim-minimnya, keuntungan sebesar-besarnya.
Para honorer dengan dalih pengabdian dan pahlawan tanpa tanda jasa akan bekerja puluhan tahun sebelum akhirnya berhak mendapat sertifikasi. Sepanjang menunggu antrean sertifikasi itu, para guru ini bekerja dalam kegagapan metode dan pengetahuan atas dunia pembelajaran. Mereka hanya tahu konsep-konsep awal materi, itu pun dijalankan dalam metode hapalan. Lalu, apa menyertifikasi pendidik seperti mereka merupakan jalan keluar?
Perlu diketahui, selama ini proses sertifikasi pendidik masih berkutat pada ranah administrasi pedagogi. Guru harus membuat RPP, silabus, prota, promes, dan asesmen. Kalau dijumlah, berkas administrasi tersebut bisa tembus ratusan halaman. Mengingat sifatnya yang sangat administrasif, seharusnya pengoptimalan tahap ini sudah selesai pada bangku kuliah. Lalu pada tahap sertifikasi pendidik, tinggal memastikan semuanya sudah maksimal dan dimiliki. Nyatanya, poin sederhana ini belum bisa terpenuhi.
Kompetensi pedagogi itu penting. Namun, jangan lupa, ada 3 kompetensi lain yang jauh lebih penting. Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 1, disebutkan kompetensi dasar guru ada 4. Di antaranya, kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Di antara keempat kompetensi utama tersebut, selama ini hanya ranah pedagogi yang selalu diutak-atik. Itupun hanya sebatas koreksi administratif. Padahal, kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional jauh lebih penting. Guru yang lengkap dan baik secara administrasi pedagogi belum tentu bisa mengajar. Terlebih lagi, teknologi informasi hari ini memungkinkan semua itu mudah diduplikasi.
Lebih dari Ranah Pedagogi
Saat guru memiliki kepribadian baik, interaksi sosial tinggi, dan profesionalitas terjamin, dapat dipastikan elemen pedagoginya juga baik. Sebab, pedagogik itu nyatanya hanyalah objek statis (diam). Sementara guru dan murid ialah subjek yang memiliki kompleksitas kompetensi (dinamis). Menilai kualitas guru dan pendidikan dari kompetensi pedagogi semata adalah kekeliruan yang fatal.
Jadi, tidak mengherankan jika masih banyak guru bersertifikasi dan sejahtera namun berkualitas pas-pasan. Terlebih saat sistem zonasi bergulir, yang mana sekolah negeri tidak lagi mendapat siswa unggulan. Semakin sulit membedakan kualitas guru negeri dan swasta. Semua itu sulit disangkal. Sejak awal, pengadaan guru dan proses sertifikasi pendidik sudah salah kaprah dalam konsep dan praktik. Inilah mengapa diperlukan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang berkualitas maksimal. LPTK sejatinya menjadi gerbang utama dan awal. Dan Indonesia belum punyai itu.
Baca juga:
Poin ini harus jadi catatan penting dalam kebijakan perubahan. Permasalahan pendidikan Indonesia tidak melulu perihal kesejahteraan dan pedagogi keprofesian. Fokus permasalahan harus digeser ke arah yang lebih inti, esensial, dan utama, yakni membentuk lembaga pendidikan otonom berkualitas, menciptakan kesadaran belajar pada diri guru, membuat ketegasan aturan, serta membangun iklim perguruan tinggi kompeten. Semua aspek itu adalah kunci awal membentuk budaya belajar dan kualitas pembangunan manusia.
Jangan sampai RUU Sisdiknas baru menjadi ladang penghamburan dana. Dikhawatirkan dengan menambah porsi kesejahteraan guru, dana pendidikan APBN meningkat tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Karena bagaimana pun, penyedia utama tenaga keguruan dan pendidikan berkualitas maksimal belum ada dan terbentuk.