Restoran cepat saji di pukul dua pagi memang memiliki rasanya sendiri. Aku baru saja kembali dari lembur, meninggalkan jam makan malam, dan berkutat di depan layar sampai mataku buram. Di surel aku menulis, “mohon maaf mengirim laporan di waktu seperti ini, Pak,” dan di surel balasan tidak pernah ada tulisan, “mohon maaf karena Anda harus tetap mengirim laporan di waktu seperti itu.”
Di rumah kos, aku tinggal sendirian. Tidak ada kudapan untuk dimakan ketika sampai. Aku memang belum punya pasangan, juga belum mampu menyicil tempat yang lebih besar agar dapat mengajak ibuku ikut tinggal. Di kota Jakarta, kita semua memang terpaksa bertumbuh sendirian, berteman kesepian, dan sesekali kelaparan.
Aku memarkirkan kendaraanku pada kelengangan tempat parkir restoran cepat saji. Di pintu keluar, penjaganya sedang menyeruput kopi. Pada gelas itulah ia mempertaruhkan nasib keluarganya. Jangan sampai mengantuk dan jatuh tertidur. Beruntung kalau hanya gajinya yang dipotong, bagaimana jika kelanjutan hidupnya yang dikebiri?
Sejatinya, aku tidak perlu repot-repot, jika saja layanan tanpa turun memberikan aku jawaban. Sudah lima belas menit aku menunggu di lajurnya, menghafalkan menu yang ingin kubawa pulang, mengucapkan permisi seperti bertamu, dan tidak ada jawaban. Pintu kaca dan siapapun yang ada di baliknya bergeming.
Tidak ada selamat datang yang ramah, tidak ada suasana yang ramai bahkan di pintu masuk. Beberapa kursi sudah dibalik di atas meja, beberapa sudut sudah dimatikan lampunya. Di balik bangunan yang serba kaca dengan pencahayaan seadanya dari lampu neon pajangan menu, aku tidak lain menjelma ikan di akuarium yang bergerak perlahan: belum tidur, belum makan, dan dipertontonkan keheningan.
Restoran cepat saji di pukul dua pagi memang memiliki rasanya sendiri. Dia seperti menempatkan pengunjungnya di antara dua realita: yang nyata dan tidak nyata, yang sadar dan tidak sadar. Ia seperti menempatkan aku pada sesuatu yang asing tetapi juga kukenali. Ini adalah restoran yang kerap aku kunjungi, tetapi wajah yang demikian lelah dan demikian tidak bernyawa itu hanya sesekali aku dapati.
Di balik mesin kasir yang dengungnya menggema ke seluruh penjuru ruangan, seorang pekerja memaksakan senyumnya. Wajahnya lesu, suaranya sendu. Ia seperti tidak menginginkan kedatanganku, tetapi pada saat yang sama, kedatanganku adalah apa yang menentukan nasibnya juga. Jika aku dan aku yang lain tidak datang, entah sampai kapan restoran cepat saji di kota ini tetap ada. Tak ada restoran, maka tak ada karyawan.
“Silakan, mau pesan apa?” ia bertanya. Aku seperti mendengar diriku sendiri. Aku menyebutkan beberapa menu, sebagaimana atasanku menyebutkan beberapa perintah. Ia mengangguk-angguk, aku juga selalu bersikap demikian manut.
“Ada lagi?” katanya. Ini adalah apa yang juga aku katakan, terlebih saat ingin semuanya segera usai. Ada helaan napas yang tertahan saat aku meminta menuku ditambahkan saus, sebagaimana aku menahan diri agar tidak memaki saat datang revisi yang harus diurus.
Sebab, sama seperti pekerja kasir yang bergantung pada hadirku dan penjaga parkir yang bergantung pada gelas kopinya, aku tidak mempunyai banyak hak untuk berbicara. Maka dari itu, kami berbicara dalam kontradiksi. Ada lagi? sejatinya berarti sudah terlalu banyak lagi yang datang dan akan selalu ada lagi-lagi yang lain.
Di tempat menunggu, aku melihat bagaimana pramusaji itu menyiapkan satu paket makanan dengan gerak yang gesit tetapi tampak malas. Mungkin itu adalah kecepatan yang paling maksimal baginya. Jika dikerahkan tenaganya lebih banyak lagi, kerjanya mungkin akan jadi berantakan. Dan ia akan tetap membawa kelelahan itu saat berangkat kerja esok hari.
“Nomor enam enam enam!” panggilnya. Pada yang nyata dan tidak nyata itulah aku kembali menghampiri meja kasir dan mengambil tas kertas yang disodorkan padaku bersama ucapan terima kasih.
Ia mengucap, selamat datang kembali. Ia melihatku dengan tatapan datar, yang seolah berkata: semoga kita berdua tidak kembali lagi ke akuarium ini, tidak terjebak lagi di kelengangan tempat parkir yang penjaganya bergulat dengan kantuk, dan tidak lagi berkirim surel di tengah malam yang lesu. Aku menatap wajahnya sekali lagi, meyakinkan diriku sendiri bahwa kami tak jauh berbeda dalam satu dan lain hal.
Restoran cepat saji di pukul dua pagi memang memiliki rasanya sendiri. Di pukul tujuh pagi, aku bangun dengan tergesa-gesa. Tiga puluh menit lagi, ada rapat yang harus dihadiri dan aku tidak sengaja menyenggol minuman soda sisa malam tadi. Aku teringat pada pengalaman yang antara sadar dan tidak sadar itu. Pada cermin yang tergantung di kamar mandi, aku melihat wajah pekerja kasir dan penjaga parkir pada wajahku sendiri: wajah lelah tak bernyawa.
***
Editor: Ghufroni An’ars