Bicara soal musim, yang mungkin terbayang di benak orang yang tinggal di wilayah yang dilewati garis khatulistiwa seperti kita tak jauh-jauh dari penghujan atau kemarau. Selain soal cuaca, musim juga selalu ditautkan dengan kata benda atau kata kerja di belakangnya; contohnya musim rambutan, musim layangan, hingga musim kawin.
Dalam kajian ilmu pengetahuan, musim memiliki tenggat dalam satu kali periodenya. Bumi selalu punya mekanisme agar musim sesuai dengan siklusnya—walaupun belakangan sering dipengaruhi unsur eksternal (krisis iklim dan pemanasan global).
Akan tetapi, dalam semesta Indonesia, ada salah satu musim yang dari 1965 hingga saat ini tidak pernah berubah—apalagi soal ketakutannya. Lema ini mungkin terdengar populer bagi kita yang membaca buku berjudul Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 karya Geofrey B. Robinson.
Lalu, apakah sebenarnya maksud dari frasa “Musim Menjagal” ini? Robinson dengan sengaja memakai kata “season” dalam judul penelitiannya—judul aslinya The Killing Season: A History of the Indonesian Masssacres, 1965-1966. Robinson seperti yakin betul dengan dugaannya soal “musim menjagal” yang nantinya bakalan berakhir sesuai waktunya.
Baca juga:
Sebelum menghakimi dugaan Robinson soal “musim menjagal” dalam buku yang versi terjemahan Indonesianya diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu pada 2018 ini, mari kita tengok terlebih dahulu soal makna “musim menjagal”. Menjagal yang dimaksud di sini adalah aktivitas pembantaian—mungkin bisa dispesifikkan dengan istilah genosida—yang dilakukan militer (Angkatan Darat) dan sipil (Ansor, Banser, Pemuda Marhean/Tameng Marhaenis, Pemuda Pancasila, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, dan Hansip) terhadap orang-orang komunis dan simpatisannya pada 1965-1966.
Menurut Robinson, pembantaian yang berlasung selama satu tahun lebih itu—ada yang berpendapat penangkapan masih terjadi sampai 1968—dilakukan secara sistematis dan masif (terjadi di beberapa daerah). Hal ini berkat kordinasi yang apik antara Angkatan Darat dengan sipil.
Angkatan Darat yang terbiasa dengan aktivitas yang taktis nan strategis di setiap misinya itu membuat pembantaian orang-orang komunis berjalan efektif dan mulus. Jumlah orang komunis yang dibunuh dalam periode itu mencapai lima ratus ribu jiwa—bahkan ada beberapa pendapat yang menyatakan angkanya menyentuh satu sampai tiga juta jiwa.
Awalnya, perburuan orang-orang komunis ini murni dilakukan Angkatan Darat. Hal ini dkarenakan muncul desas-desus tentang Partai Komunis Indonesia yang disinyalir melakukan pemberontakan terhadap Presiden Sukarno dengan membunuh beberapa Jenderal AD. Angkatan Darat merasa perlu berupaya membalaskan dendam para petinggi yang tewas itu.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu—memasuki 1966—Angkatan Darat meminta dukungan dari pihak sipil. Sembari membantai, Angkatan Darat juga menebar ancaman tak berdasar dengan menghasut masyarakat agar membantu militer memburu komunis. Ancaman itu berbunyi, “Bagi masyarakat yang tidak berpartisipasi memburu komunis, maka dirinya termasuk komunis.”
Selain hasutan ke masyarakat, Angkatan Darat juga sudah memiliki sekutu dari golongan partai berhaluan kanan (Partai Nasionalis Indonesia dan Nahdlatul Ulama). Dari keran-keran inilah Angkatan Darat menghimpun dan membentuk para algojo sipilnya. Sikap inilah yang menjadikan Angkatan Darat terkesan “cuci tangan” dari aksi pembantaian itu. Angkatan Darat memanfaatkan “tangan” organisasi sipil sebagai ujung tombak dalam pembunuhan.
Saat operasi perburuan itu, sipil diberikan informasi berupada daftar anggota serta simpatisan komunis hingga alutsista seperti truk dan senjata api ringan. Alhasil, sempat muncul narasi di masyarakat jika pembantaian ini merupakan “perang sipil” antar masyarakat kelompok kiri dengan kanan.
Selain pembantaian, penangkapan yang berujung pemenjaraan pun turut dilakukan. Menurut Robinson, pola penangkapan yang dilakukan Angkatan Darat ini dilakukan untuk mengatur orang-orang komunis. Pemenjaraan jadi salah satu treatment yang terjadi di beberapa daerah yang presentase pembunuhannya rendah.
Selepas masa penangkapan, para korban politik ini punya ujungnya masing-masing. Ada yang terbunuh karena “dipinjam”—istilah yang terjadi dalam lingkup interogator atau sipir yang meminjam tahanan untuk disiksa maupun dibunuh, dibuang ke Pulau Buru atau Kamp Plantungan tanpa peradilan, dan, yang paling beruntung, dilepaskan karena salah tangkap.
Dari beberapa opsi yang dilakukan, kebanyakan para tahanan ini “dibina” di Pulau Buru—khusus perempuan di Kamp Plantungan. Proses pengasingan ini mirip yang dilakukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan menciptakan penjara bernama Boven Digoel. Para tahanan mengalami siksaan fisik dan batin dengan maksud untuk menghilangkan ideologi kiri di kepala mereka.
Deraan bertahun-tahun tanpa tahu akan dibebaskan atau mati di tempat pengasingan itu dialami setiap korban politik. Dalam bukunya, Robinson menjelaskan bahwa pada akhir 1970-an baru muncul tekanan dari dunia internasional terkait isu kemanusiaan yang dilanggar pemerintahan Soeharto. Tekanan yang masif membuat para korban politik ini akhirnya dibebaskan secara bertahap. Namun, tak semua korban bisa bertahan dalam kondisi tersebut. Ada korban yang pulang tinggal namanya saja.
Baca juga:
Kisah tentang “musim menjagal” ini nyatanya belum berakhir sampai di situ. Musim ini seperti mengalami anomali dalam siklus kehidupan manusia Indonesia. Paranoia perihal kemunculan kembali kekuatan komunis terus menyeruak di kalangan pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Akhirnya, respons yang dilakukan pemerintah adalah melakukan kontrol terhadap korban politik—yang sudah dibebaskan—sembari berpura-pura baik di depan dunia internasional (bermuka dua). Beberapa hal pun turut dilakukan pemerintah, antara lain membubuhkan stempel Eks-Tapol (ET) di Kartu Tanda Penduduk agar ruang gerak para korban terbatas. Selain itu, stigma buruk terhadap keturunan para komunis tetap santer digaungkan.
Bahkan, sampai 2022, paranoia ini masih terdengar, apalagi ketika memasuki akhir bulan September. Seolah-olah “musim menjagal” akan tetap ada dan belum tahu kapan redanya.
Di sinilah letak kesalahpahaman Robinson dalam memaknai kata “musim”. Efek dari adanya “musim menjagal” itu pun masih terasa sampai sekarang walau Indonesia sudah mengalami berkali-kali ganti presiden. Lagipula, mana ada suatu musim yang ketakutannya terus berlangsung selama 57 tahun? Fenomena “musim menjagal” ini ngalah-ngalahi paranoia kita tentang badai atau kemarau panjang yang jelas ada ujungnya itu.
Editor: Emma Amelia