Lebih sering menulis esai. Hampir lulus dari kampus UIN Surakarta

Problem Skripsi yang Tak Kunjung Usai

Dhima Wahyu Sejati

3 min read

Skripsi terkadang berakhir tragis di perpustakaan, menumpuk di rak tanpa ada yang membaca. Pun, kalau ada yang membaca, tujuannya kerap kali hanya untuk menjiplak garis besar penelitian dengan cara mengambil teori, metode, dan topik yang sama. Kemudian, supaya skripsi hasil jiplakan skripsi-skripsi terdahulu itu tidak terkesan plagiat-plagiat amat, tempat penelitian mengambil lokasi lain.

Baca juga:

Tak heran, banyak sekali penelitian skripsi yang topiknya terus berulang itu-itu saja. Ini menjadi alasan utama mengapa skripsi tidak menarik untuk dibaca. Sedari judul, kita sudah tahu bahwa tidak ada yang baru dari penelitian itu.

Saban tahun, fenomena pencomotan skripsi ini selalu terjadi. Sebabnya sekurang-kurangnya ada dua. Pertama, mahasiswa banyak yang tidak mau, lalu merasa tidak sanggup mengerjakan skripsi secara bertanggung jawab dengan menjunjung tinggi integritas akademik. Ketidaksanggupan ini sekaligus mencerminkan rendahnya tingkat pemahaman mahasiswa mengenai metodologi dan kegiatan riset itu sendiri.

Saya selesai mengerjakan skripsi di Semester 13. Selama setidaknya dua semester (12 dan 13), beberapa teman datang ke rumah untuk mengerjakan skripsi bersama. Mereka bernasib sama seperti saya; ada di tahun terakhir batas studi S1. Artinya, jika tak menuntaskan kuliah pada tahun ajaran ini, kami terancam drop-out (DO).

Interaksi saya dengan beberapa teman ini tidak terasa seperti kelompok diskusi. Dalam diskusi yang ideal, satu sama lain saling memberi masukan dan sanggahan atas topik skripsi masing-masing, jauh berbeda dengan “diskusi” yang saya lakukan dengan teman-teman saya. Di situ, saya seakan menjadi pembimbing karena harus menjelaskan hal-hal teknis seperti mencari topik penelitian, pendalaman latar belakang, merumuskan masalah penelitian, menentukan metodologi, sampai menentukan teori mana yang perlu dipakai kepada teman-teman saya. Bahkan, sekadar untuk menyusun pertanyaan wawancara dan mengolah hasil wawancara pun mereka tidak bisa.

Perbuatan menggurui itu sebenarnya mengganggu saya. Bukan berarti saya tidak senang, saya malah senang bisa membantu sampai skripsi kawan saya itu selesai. Namun, dari situ saya jadi menyadari ada problem mendasar selama kuliah empat tahun lebih. Mengapa bisa ada mahasiswa yang tidak paham dasar-dasar penelitian untuk skripsi? Padahal, Mata Kuliah Metodologi Penelitian adalah barang yang wajib ada dalam kurikulum S1 yang mengharapkan luaran masa studi berupa skripsi.

Jangan-jangan, ada mahasiswa yang secara kognitif tidak mampu melakukan riset. Pengetahuan mereka memahami abstraksi bisa jadi kurang. Jika problem dasarnya seperti itu, jangankan melakukan penelitian, menulis makalah saja tentu akan terasa sulit. Dugaan ini terkonfirmasi ketika saya iseng menanyai teman saya tentang bagaimana dulu ia menulis makalah untuk tugas individu. Ia menjawab sambil tersenyum kecil, “Aku dulu copas.”

Meskipun begitu, sepenuhnya menyalahkan kemampuan mahasiswa melakukan riset bukan sikap yang bijak. Sebab, terlepas dari latar belakang si mahasiswa, sedari awal ia sudah diterima dan membayar uang kuliah. Oleh karena itu, mahasiswa berhak memperoleh pengajaran yang komplet dari kampus. Mulai dari pengetahuan dasar sampai pengetahuan melakukan riset skripsi. Mahasiswa pun harus punya kemauan untuk menyelesaikan skripsi dan aktif membahas progres skripsinya dengan dosen pembimbing.

Bimbingan yang Serampangan

Tak jarang, hambatan dalam pengerjaan skripsi terletak di proses bimbingan. Ada dosen pembimbing skripsi yang terlalu sibuk dengan tugas lain dari kampus, baik itu mengajar, penelitian, atau kunjungan kerja ke luar daerah. Kalau sudah begitu, mahasiswa akan mendapat bimbingan yang serampangan; masukan dan arahan dari dosen pembimbing kurang substantif dan terkesan sekenanya.

Ketika mahasiswa tidak sempat bertemu langsung dengan dosen pembimbing, mereka akan diinstruksikan untuk menaruh berkas skripsi di atas meja dosen yang bersangkutan. Besok atau lusanya, mahasiswa dapat mengambil naskah skripsi yang sudah dikoreksi. Tanpa adanya sesi bertemu dengan dosen, kegiatan bimbingan skripsi berlalu tanpa ada diskusi yang intensif. Pola bimbingan semacam ini mungkin bukan soal bagi mahasiswa yang sejak awal sudah paham bagaimana melakukan riset. Namun, akan sangat menyulitkan proses pengerjaan skripsi mahasiswa yang belum paham.

Masalah lain adalah pola interaksi antara dosen pembimbing dan mahasiswa yang terlalu berjarak. Saya sering mendengar curhatan teman bahwa ia takut dengan dosen pembimbingnya.Pola bimbingan yang terlalu berjarak seperti itu tidak cocok untuk mahasiswa hari ini. Mahasiswa—yang lahir setelah tahun 1998—menginginkan pola komunikasi dengan dosen yang egaliter dan terbuka terhadap keluhan, alih-alih penuh penghakiman tiap kali mahasiswa menemui kesulitan atau melakukan kekeliruan.

Kampus tidak mau mahasiswanya sampai drop-out karena hal ini bisa memengaruhi akreditasi. Sementara itu, mahasiswa sudah pasti ingin lulus. Dua kepentingan ini tentu akan terpenuhi dengan lebih mudah apabila kendala-kendala teknis dalam keseluruhan proses pengerjaan skripsi dicarikan jalan keluarnya.

Menambah Dosen Pembimbing

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirimi saya iklan jasa bimbingan skripsi via WhatsApp. Dalam iklan itu, pengiklannya menekankan bahwa jasa yang ia jual adalah jasa bimbingan skripsi, bukan jasa joki skripsi. Bagi saya, ini adalah bisnis yang brilian. Si penjual jasa jeli betul menangkap problem yang lumrah terjadi dalam pengerjaan skripsi, lalu menjadikannya peluang untuk cuan tanpa melanggar kode etik akademik.

Baca juga:

Fenomena jasa bimbingan skripsi ini semestinya menyadarkan perguruan tinggi bahwa menambah tenaga pembimbing skripsi sangat diperlukan. Jadi, mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi akan dibimbing oleh dosen pembimbing utama dan pembimbing pembantu. Tenaga pembimbing pembantu bisa diambil dari dosen, asisten dosen, bahkan sesama mahasiswa maupun alumni yang sudah menyelesaikan skripsi.

Skema itu akan lebih baik lagi apabila mahasiswa diperkenankan memilih sendiri pembimbing pembantunya. Tujuannya agar mahasiswa mendapat bimbingan teknis lebih detail, dari hal remeh seperti menggunakan aplikasi Mendeley sampai membantu menyusun skripsi agar runut dan logis. Harapannya, pembimbing pembantu ini lebih egaliter dan enak diajak berdiskusi sehingga mahasiswa tidak perlu takut untuk banyak-banyak bertanya.

Saya optimis bahwa penerapan mekanisme ini akan menekan kemungkinan mahasiswa menggunakan jasa joki skripsi. Namun, saya masih menggunakan istilah “kemungkinan” karena kemauan dalam diri mahasiswa untuk tidak curang punya andil lebih besar dalam pengerjaan skripsi secara fair.

Baca juga:

Lalu, apakah penerapan mekanisme ini akan mengurangi peran dosen pembimbing utama? Tidak juga. Idealnya, dosen pembimbing utama membantu mahasiswa memahami hal-hal yang bersifat fundamental dan abstraks. Misal, topik penelitian mana yang urgent digarap, masalah apa yang harus diangkat menjadi penelitian, metodologi apa yang pas untuk digunakan, sampai teori apa yang relevan.

Bimbingan yang berkualitas akan mendorong terciptanya karya skripsi yang memiliki kebaruan; tidak lagi mengulang yang sudah-sudah. Syukur-syukur, skripsi tersebut juga bisa memberikan manfaat yang signifikan untuk khalayak umum.

 

Editor: Emma Amelia

Dhima Wahyu Sejati
Dhima Wahyu Sejati Lebih sering menulis esai. Hampir lulus dari kampus UIN Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email