Jebakan Moralitas Absurd dan Kritik Puritan

Raja Cahaya Islam

3 min read

Man, your head is haunted; you have bats in your belfry! You’re imagining big things and painting for your self a whole world of gods that is there for you, a haunted realm to which you are called, an ideal that beckons to you. You have a fixed idea!” — Max Stirner

Segenap nyinyiran dan kritik atas tindakan Rafi, yang beberapa bulan lalu mengkritik sistem pendidikan di sekolah berikut tindakannya saat mengkritik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), di media sosial sering kali didasarkan pada kritik moral. Rafi dituduh sebagai orang yang tidak beradab, tidak sopan, bahkan tidak bermoral. Namun, pada saat yang sama, tak jarang juga orang-orang itu mengakui bahwa Rafi adalah orang yang pintar.

Banyak orang yang menyayangkan Rafi, bahwa kepintarannya tidak disertai dengan sopan-santun atau etiket yang baik. Semua kritik itu tampak benar, bagus, dan adiluhung. Akan tetapi, apakah tidak ada yang curiga bahwa kritik moral itu hanyalah topeng untuk menutupi sesuatu?

Baca Rangkaian Kritik Rafi terhadap Sekolah:

Saya merasa bahwa argumen-argumen moral yang ditujukan kepada Rafi berdiri di atas sebuah asumsi mengenai kepastian dan universalitas moral. Moral yang ada harus dipatuhi dan diikuti sehingga bentuk tindakan yang bertentangan dengan moral—lebih tepatnya moralitas versi mereka—harus dieksklusi. Kita tahu bahwa moral memang bekerja melalui mekanisme inklusi dan eksklusi. Siapa pun yang masih berada di jalur moral tertentu akan diakui, sedangkan orang yang berada di luar atau menabrak moralitas yang ada akan dieksklusi.

Asumsi moralitas yang pasti dan bersifat universal adalah ilusi. Kita tahu bahwa moralitas bukanlah entitas yang turun dari langit dan lepas dari horizon materialitasnya. Moralitas bukan suatu hal yang transenden; lepas dari unsur-unsur non moral. Moralitas sendiri selalu mengandung sentimen, kepentingan, dan hasrat individual atau kolektif.

Kita mestinya belajar dari masa lalu bahwa klaim tersebut sering kali absurd. Ingat, kolonialisme yang pernah terjadi (dan sepertinya, sekarang pun di beberapa tempat masih terjadi), sering kali melabeli diri sebagai upaya pemberadaban karena ada anggapan bahwa orang yang dikolonisasi itu tidak beradab. Kita tahu, di balik tindakan pemberadaban itu ada tindakan rasis yang jelas-jelas diskriminatif. Namun, kita tak pernah belajar sehingga masih percaya kemurnian dan universalitas moral.

Kita melakukan hal yang sama, dosa kita masih sama. Bahkan, kalau boleh dikata, kita mewarisi praktik kolonial. Hanya saja, mungkin—apabila saya boleh berpikir positif—kita tak pernah sadar. Singkat kata, kritik moral ala warganet kepada Rafi sangat problematis, sangat absurd.

Rafi dan Sakralitas

Wajar saja Rafi menuduh beberapa orang otoriter dan tidak peduli pada pendidikan. Membahasakan ulang pernyataan Max Stirner, mereka persis orang-orang atau sistem yang hanya fokus pada kepentingan dirinya sendiri. Tak hanya orang-orang yang dituduh oleh Rafi, tetapi juga moralitas, raja, para pemimpin secara tersendiri adalah representasi egoisme. Bahkan, benda yang dibela mati-matian oleh Rafi, yakni pendidikan, pun hanya mengurus dirinya sendiri. Pendidikan hanyalah representasi dari egoisme.

Mengapa kita harus menyuruh dan meminta hal-hal di luar diri kita untuk mengurus urusan lain selain urusan mereka sendiri? Bukankah itu karakter alamiah mereka? Bagi saya, aneh jika kita berharap pada mereka untuk mengurusi urusan lain selain urusan dan kepentingan egois mereka sendiri.

Saya jadi ingat perkataan Stirner, “I, for my part, take a lesson from them, and instead of serving those great egoists unselfishly anymore, I would prefer to be the egoist myself.” Seperti Stirner, mestinya kita harus bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa kita tidak melakukan hal yang sama seperti semua hal yang egois?

Saya tidak bermaksud menyuruh dan meminta Rafi untuk tidak mengkritik atau berhenti meluluhlantakkan sistem yang ingin ia kritik. Saya hanya merasa tergelitik ketika Rafi masih mengharapkan orang lain mengurusi kepentingan di luar dirinya. Kritik dan perlawanan itu perlu, tapi bukan untuk tujuan keadilan, nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan berbagai spook lainnya. Kritik dan perlawanan itu perlu bagi kesenangan, pemenuhan hasrat, dan peningkatan kuasa kita sendiri sebagai ego atau “sang unik”.

Di titik inilah, apabila Rafi masih menginginkan perombakan sistem pendidikan dengan cara berharap agar orang-orang mengurusi urusan di luar kepentingannya, sesungguhnya Rafi sedang menyakralkan sesuatu. Bahkan, upaya purifikasi pendidikan dari segala kepentingan di luar pendidikan itu sendiri—katakanlah, ekonomi dan kekuasaan—tampak seperti gerakan puritan yang enggan objek sembahannya terkotori oleh benda lain.

Sikap itu hanyalah sikap menyembah dan menghamba pada sesuatu. Sejauh imajinasi tentang pendidikan sempurna, ideal, dan suci itu masih ada, saya menilai Rafi masih menjadi budak atau hamba. Tidak seperti orang-orang yang menganggap bahwa Rafi telah melakukan perlawanan dan juga kritik, bagi saya Rafi belum melawan apa-apa. Rafi hanya tidak mau dan tidak sudi apabila tuannya—pendidikan—dikotori dan dilecehkan oleh unsur-unsur lain. Rafi masih tunduk pada sakralitas; ia kurang radikal.

Baca juga:

Apakah pandangan saya ini pesimis? Atau bahkan nihilis? Betul, ini adalah jalan nihilisme. Saya tidak pernah menganggap dan percaya bahwa sistem pendidikan itu bisa murni dan suci. Pendidikan akan selalu dikotori dan dinodai oleh kepentingan ekonomi, politik, dan hal-hal lainnya. Bahkan, pendidikan sendiri memang tidak memiliki hakikat, esensi, dan segala sakralitas lainnya. Ia hanyalah property yang bisa kita utak-atik, rombak, bahkan hancurkan sesuai dengan kepentingan dan kesenangan diri kita sendiri.

Meskipun begitu, saya tidak menawarkan jalan nihilisme pasif, yakni berserah diri kepada sistem dan pasrah secara total terhadap kenyataan yang ada. Nihilisme yang saya sodorkan adalah nihilisme aktif.

Saya tidak pernah tidak setuju terhadap tindakan Rafi; setengil dan sedestruktif apa pun tindakannya. Tindakan, aksi, dan “kenakalan” yang dilakukan oleh Rafi adalah representasi kesenangan dan juga kegairahan anak muda. Saya tidak pernah menolak, apalagi menyuruh Rafi untuk berhenti. Saya tidak menyarankan Rafi agar menahan diri, sama sekali tidak. Itu urusan Rafi sendiri dan saya senang dengan hal itu. Saya tak pernah mau capek-capek menyuruh Rafi untuk bertindak ini dan itu.

 

Editor: Emma Amelia

Raja Cahaya Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email