Mahasiswa Program Doktoral Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia

RUU Sisdiknas: Pengabaian Peran Pesantren

Arina Mufrihah

2 min read

Rencana sinkronisasi 23 undang-undang terkait pendidikan RUU Sisdiknas menuai kritik dari berbagai kalangan, khususnya pemerhati dan ahli di bidang pendidikan. Revisi tersebut lebih tepat dikatakan sebagai upaya penghapusan dan penghilangan dibandingkan upaya perubahan.

RUU Sisdiknas disebut-sebut menghilangkan banyak poin penting yang selama ini menjadi pegangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan tenaga pendidik di Indonesia.

Salah satu UU yang disasar adalah UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pengesahan UU Pesantren pada Oktober 2019 menjadi nafas baru bagi pesantren. Tidak hanya mengenai rekognisi legal-formal, pengesahan ini juga merupakan bentuk kemauan pemerintah untuk memfasilitasi perkembangan pesantren sebagai salah satu corak pendidikan berkualitas di Indonesia.

Dengan kekuatan kearifan lokal, pesantren tidak hanya melahirkan generasi yang pandai membaca kitab kuning, memahami ilmu agama, dan berkontribusi sebatas dalam bidang keagamaan. Lebih dari itu, kekhasan pesantren melahirkan banyak generasi yang berakhlak mulia serta mampu memberi manfaat dalam berbagai bidang keilmuan dan profesi, termasuk sains dan teknologi dengan berpegang teguh pada kedalaman ilmu agama.

Mengesampingkan Kontribusi Pesantren

Sebagai Omnibus Law, RUU Sisdiknas tidak mempertimbangkan kontribusi besar pesantren dan lulusan pesantren di kancah dunia. Secara sempit, pesantren dikategorikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan saja. Kategorisasi tersebut menjadi tidak relevan dan mengesampingkan kontribusi pesantren bagi bangsa pada masa lalu dan masa kini, dan peran vitalnya bagi pembangunan bangsa pada masa mendatang.

Dalam RUU Sisdiknas Paragraf 7 tentang Pendidikan Keagamaan, Pasal 46 ayat 2 menghilangkan sejumlah substansi pesantren yang termuat dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pasal tersebut berbunyi: “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.” Sementara tiga pasal lainnya tidak mengatur apa pun kecuali hanya menyebutkan tentang penyelenggara, jalur, dan bentuk pendidikan keagamaan yang terlampau teknis dan jauh dari hakikat pesantren.

Substansi yang dihilangkan dari UU Pesantren antara lain: keunggulan individu didikan pesantren, pengembangan nilai islam yang moderat, dan santri yang cinta tanah air.

Hakikat dan peran inti pesantren yang tertuang dalam UU Pesantren misalnya:  pertama, Pasal 3, yaitu afirmasi bahwa pesantren mampu mendidik individu unggul di berbagai bidang. Artinya, santri tidak hanya unggul dalam ilmu agama dan berkontribusi di wilayah keagamaan sebagai ahli agama saja, melainkan santri adalah individu yang terampil mengamalkan nilai ajaran agamanya, meski dengan profesi selain ahli agama di berbagai sektor. Ini diperkuat oleh Pasal 16, bahwa santri unggul mengisi kemerdekaan Indonesia karena ilmu dari pesantren dinilai relevan dengan perkembangan zaman.

Kedua, dalam Pasal 8, pesantren diamanatkan untuk memberi pendidikan dan pengajaran yang mengedepankan Islam rahmatan lil’alamin. Hal ini tidak lagi menjadi fokus penting dalam RUU Sisdiknas, padahal amanat tersebut turut menjaga perdamaian dan kedamaian bangsa Indonesia yang mengedepankan sikap dan perilaku moderat dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.

Dan ketiga, dalam Pasal 10, diuraikan bahwa pesantren harus mendidik individu yang memegang teguh toleransi, moderat, dan cinta tanah air berdasarkan ajaran Islam, nilai luhur bangsa, Pancasila, dan UUD 1945. RUU Sisdiknas benar-benar telah menghapus fondasi penting pendidikan pesantren dalam kehidupan bernegara.

Potensi Adanya Dikotomi

Di sisi lain, kemunculan kritik terhadap teks RUU tersebut disebabkan adanya potensi semakin munculnya dualisme atau dikotomi pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan pesantren hanya akan dianggap mengajarkan ilmu agama, dan pendidikan nonpesantren mengajarkan ilmu modern. Pesantren dianggap lembaga pendidikan tradisional yang hanya menghasilkan ahli ilmu agama seperti ustaz dan pendakwah, sementara pendidikan nonpesantren dinilai ahli dalam bidang sains dan teknologi dan punya peran penting dalam sektor-sektor prioritas pembangunan bangsa.

Pesantren secara sepihak  dianggap sebagai lembaga pendidikan agama yang kuno serta tidak adaptif, sementara pendidikan nonpesantren diunggulkan untuk mengembangkan sektor-sektor strategis pembangunan. RUU Sisdiknas semakin mempertebal dualisme dengan menyebut pesantren sebagai salah satu pendidikan keagamaan yang menghasilkan ahli agama saja.

Pesantren yang dikenal sebagai lembaga pendidikan berbasis kebutuhan masyarakat tidak akan menjadi lemah, dan akan terus berjalan di jalurnya mewujudkan cita-cita besar dalam pendidikan bernafaskan nilai Islam dan kearifan lokal.

Mempersempit makna tekstual dengan menuliskan pesantren sebagai  pendidikan keagamaan, dan menganggapnya hanya mampu menghasilkan ahli agama, sudah menjadi alarm bahwa pemerintah melalui Kemdikbud tidak menganggap pesantren sebagai salah satu keunikan dan khazanah pendidikan khas Indonesia. Padahal, pesantren telah terbukti dan memiliki potensi menjadi keunggulan dan ciri khas pendidikan asli Indonesia. Pesantren telah melahirkan banyak alumni yang berkontribusi signifikan di kancah nasional dan internasional, di berbagai sektor terkemuka dan profesi abad ke-21.

 

Editor: Prihandini N

 

Arina Mufrihah
Arina Mufrihah Mahasiswa Program Doktoral Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email