Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, konsisten mengusung narasi keberlanjutan dari program pemerintahan Joko Widodo. Dari 8 poin misi, salah satu ciri khas program pemerintahan Joko Widodo yang jelas akan mereka lanjutkan adalah hilirisasi. Sementara misi yang lain tidak terlalu gamblang wujud konkret pelaksanaannya. Sayangnya, ada satu yang tidak tertuang dalam misi yang akan dilanjutkan, yaitu revolusi mental.
Janji yang Tak Tunai
Revolusi mental bak senjata pamungkas kampanye dan program pemerintahan Joko Widodo, setidaknya pada periode pertamanya. Meski sebenarnya kita tidak pernah tahu secara jelas maksudnya. Mental apa yang mau diwujudkan? Bagaimana cara mencapainya? Apa tolok ukur ketercapaiannya? Pada akhirnya kementerian-kementerian menanggung beban tatkala menerjemahkan strategi revolusi mental yang membingungkan itu dalam regulasi operasional. Pada akhirnya, revolusi mental meredup di periode kedua.
Dalam berbagai kesempatan, hingga penghujung periode sekarang, pemerintah pun tidak pernah menyebut revolusi mental dalam daftar kesuksesannya. Selama ini, kita hanya diberitahu bahwa ekonomi kita baik, ekspor meningkat, hilirisasi sukses, penyederhanaan dan efektivitas birokrasi berhasil, investasi asing meningkat, dan berbagai infrastruktur sukses dibangun.
Baca juga:
Semua yang disampaikan adalah capaian ekonomi dalam statistik serta program fisik. Tidak sekali pun revolusi mental disebutkan. Maka dari itu, mari kita asumsikan bahwa revolusi mental memang gagal karena tidak pernah disinggung oleh sang pemberi janji sendiri.
Pembangunan Manusia
Pembangunan fisik tentu baik. Namun, jika pemerintah hanya membanggakan statistik dan pembangunan fisik, berarti ada ketidakpahaman bahwa inti dari sebuah peradaban bangsa ada pada manusianya.
Sejarah membuktikan bahwa kunci kemajuan adalah mentalitas. Kita bisa mengambil contoh gerakan renaissance di Eropa. Pada masa itu, Eropa mengalami dark age karena dominasi gereja. Mereka kemudian sadar dan berani mendobrak kungkungan dogma.
Jepang pun demikian. Mereka sadar bahwa manusia unggul harus dibentuk demi memulihkan kondisi bangsanya setelah porak-poranda akibat Perang Dunia. Kekaisaran Jepang tidak hendak mendidik aspek kognitif masyarakat Jepang semata, tetapi juga mentalitas mereka. Terbukti Jepang memilih para guru sebagai ujung tombak kebangkitan itu. Guru-guru di Jepang dikenal memiliki integritas dan profesionalitas unggul. Mungkin karena itu guru di sana disebut sensei, sebutan yang awalnya ditujukan bagi guru seni bela diri.
Demikian juga sejarah bangsa kita sendiri. Kemerdekaan bukanlah hasil dari pembangunan fisik, melainkan revolusi mental kita. Dahulu kita bangsa yang inferior. Kemudian kalangan terdidik berani bangkit berjuang dan berkorban.
Baca juga:
Masalah Lama Bangsa
Masalah mental bangsa memang sudah menjadi isu, bahkan sejak awal berdirinya negeri ini. Presiden Soekarno dalam banyak kesempatan menyoroti mental inferior bangsa Indonesia. Dia berkata agar kita tidak menjadi bangsa kuli atau menjadi kulinya bangsa-bangsa lain, “een natie van koelies, en een koelie onder de naties.”
Revolusi mental versi Bung Karno adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala. Belum jelas wujud gerakan ini, ia hilang seiring dinamika politik negeri.
Koentjaraningrat pun sudah menyoroti masalah mentalitas bangsa kita. Dia menyebutkan setidaknya ada lima mentalitas masyarakat bersumber dari budaya yang tidak cocok untuk pembangunan.
Pertama, masyarakat kita tidak berorientasi pada hasil dan karya, tetapi lebih fokus pada capaian yang sifatnya lahiriah, seperti jabatan, kedudukan, rumah bagus, dan sebagainya. Kedua, kurang berorientasi pada masa depan dan penuh dengan sentimen masa lalu, seperti nenek moyang, pusaka, mitos, ritus, dsb. Ketiga, sikap fatalistik, masyarakat sangat bergantung pada takdir dan nasib. Keempat, kolektivitas masyarakat yang mengabaikan eksistensi individu. Terakhir, kelima, orang kita sangat berorientasi ke atasan atau orang yang berkedudukan tinggi.
Revolusi 45 juga diikuti fase ketidakpastian dan kemunduran aspek sosial budaya (post-revolusi) yang menyebabkan terbentuknya mental lemah, seperti sikap meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak disiplin, serta abai terhadap tanggung jawab.
Alarm Darurat
Setelah reformasi besar-besaran tahun 1998, mental kita nyatanya tidak berubah jauh. Problem-problem yang sebelumnya menjadi dalil perlawanan Orba, yakni korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), justru kian menjamur. Maka muncul anekdot bahwa pada masa Orba hanya presiden dan kroninya yang melakukan KKN, sekarang semua lini bisa melakukan itu.
Baca juga:
Karena teramat gamblang diperlihatkan, muncullah pemakluman ketika ada praktik kecurangan dan manipulasi aturan, seperti yang terjadi selama Pemilu 2024. Padahal, dari kacamata revolusi mental Presiden Jokowi, hal ini jelas salah.
Masyarakat yang kritis justru diserang oleh pendukung bebal yang mempertanyakan kenapa baru kali ini praktik curang dipermasalahkan, toh praktik seperti itu sudah ada dari dulu dan dilakukan setiap penguasa. Akhirnya, banyak masyarakat menjadi antipati. Ketika masyarakat sudah antipati, itu adalah alarm darurat bagi bangsa.
Inti revolusi mental sejatinya ada pada satu nilai yang dalam konsep Bung Karno disebut “hati putih”. Sementara dalam konsep Jokowi disebut “integritas”. Wujud paling mendasar dari nilai ini adalah “kejujuran”, nilai yang oleh Bung Hatta sulit diperbaiki jika sudah rusak.
Revolusi mental adalah gerakan yang sudah ada sejak republik ini berdiri dan relevan hingga kapan pun. Apalagi saat melihat situasi bangsa belakangan ini. Oleh karena itu, urgensinya semakin tinggi.
Misi ini memang sudah tenggelam pada masa pemerintah Joko Widodo. Namun, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu mengembalikannya. Mentalitas adalah kunci. Sebaik apa pun visi, misi, dan program kerja mereka, jika mental manusianya masih culas dan rusak, mimpi menjadi bangsa yang maju dan beradab tak akan pernah terwujud.
Editor: Prihandini N