Philosophy Student

Panduan Mengenal Tabiat Rezim Indonesia Emas 2024

Geza Bayu Santoso

3 min read

Pagi yang cerah bersama riuh ramah tamah warga Jogja. Saya berangkat menuju laundry self service guna melakoni kerja bersih diri, mesin cuci berputar begitu juga otak kecil ini, waktu luang menunggu automasi kerja mesin cuci itu saya gunakan untuk membaca opini Pak Haryatmoko yang menjelaskan lima pola hubungan etika-hukum menurut Jean Ladrière, filsuf Belgia, di kolom opini Kompas. Poin ketiga berbunyi, “etika dimengerti sebagai sesuatu yang transenden yang tak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik, etika sebagai nilai yang tak mungkin bisa sepenuhnya terwujud dalam hukum”. 

Baju telah kering, terlipat rapi, dan pagi berganti terik siang matahari. Alhamdulillah, Mahkamah Konstitusi akhirnya membacakan putusan sengketa pemilu. Pemilihan umum 2024 telah menemukan pemenang. Pendidikan politik akbar yang melibatkan nyaris seluruh elemen bangsa itu telah usai.

Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tentang perselisihan hasil pemilu kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Lebih dari 270 juta masyarakat Indonesia akan dipimpin oleh sosok baru. Foto Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan dicetak masif untuk menghiasi ruang kelas siswa-siswi di seluruh penjuru negeri.

Tuduhan yang selama ini disematkan kepada kubu Prabowo-Gibran—nepotisme, politisasi bansos, dan pelanggaran etika—tampaknya tak terbukti setelah perdebatan panjang di Mahkamah Konstitusi. Lima hakim menyatakan diri untuk menolak permohonan perselisihan hasil pemilu, lalu sejarah mencatat untuk pertama kalinya ada perbedaan pendapat  atau dissenting opinion dalam memutuskan sengketa hasil pemilu. Wakil Ketua MK Saldi Isra, serta Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat memberikan pernyataan berbeda yang mencerahkan demokrasi Indonesia.

Lalu, apakah keputusan ini bisa jadi legitimasi bagi sistem birokrasi Indonesia untuk menormalisasi sikap seenaknya sendiri, juga memanipulasi aturan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan tanpa mempedulikan nilai kepantasan publik? Biarlah waktu yang akan membuktikan sambil sesekali kita refleksikan dan perdebatkan. Namun, fakta bahwa pencalonan Gibran Rakabuming Raka telah melanggar kode etik dua ornamen penting negara, yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Mahkamah Konstitusi, adalah catatan krusial yang mesti kita ingat sampai kapan pun. Sebab, bisa jadi inilah titik awal runtuhnya nilai keadaban bangsa.

Tulisan ini tak lebih hanyalah lanjutan ringkas dari pandangan saya sebelumnya yang telah terbit dengan judul Jika Jokowisme dan Soehartoisme Digabungkan dalam Satu Rezim. Kini, khayalan itu telah jadi nyata karena kandidat pembawa ide Jokowisme dan Soehartoisme sudah ditetapkan secara resmi sebagai pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden.

Kemenangan Prabowo-Gibran adalah monumen kokoh untuk mengawali imajinasi buruk saya tentang bangkitnya cara Soehartoisme dan berlanjutnya pola kepemimpinan ala Jokowi. Harapan kita semua tentu sama, semoga distopia yang telah saya tulis berhenti menjadi khayalan naif, tak terjun dan menjadi nyata di realitas kehidupan masyarakat Indonesia.

Baca juga:

Indonesia telah menyepakati tujuan adiluhung saat 100 tahun merdeka nanti. Gaung itu sering kita dengar dengan istilah Indonesia Emas 2045. Banyak warga yang skeptis dengan mimpi besar ini, sebab perjalanan bangsa kita sama sekali tak menuju ke sana. Sebaliknya, Indonesia mundur atau berbalik arah menuju kegelapan. “Dark Age bukanlah suatu periode otoritarianisme politik an sich! Akan tetapi, situasi yang dalam Islam disebut sebagai Jahiliyah. Dark Age merupakan sebutan suatu periode waktu ketika nalar itu diremehkan!” Tulis Rafi Azzamy dalam Kita Butuh Gerakan Sosial yang Lebih Mutakhir guna mengurai kesalahkaprahan interpretasi dark age oleh beberapa aktivis.

Pelan namun santai, tulisan ini akan merangkum dengan sopan beberapa tabiat buruk para penguasa yang akan dinikmati 270 juta lebih rakyat Indonesia, setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Pertama, telinga penguasa akan terus bebal. Suara rakyat bukanlah prioritas utama. Gaung penolakan atau narasi ketidaksetujuan yang merugikan rakyat akan diakomodir, tetapi tak akan pernah serius ditangani karena pemerintah akan sibuk dengan hal besar guna meraih angka-angka semu yang kelak dapat dibanggakan di akhir periode kepemimpinan.

Kedua, KKN atau praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme akan berubah makna. Ia akan menjadi perilaku yang normal. Besar kemungkinan, kebanyakan orang akan permisif dengan laku amoral ini—bukan karena praktiknya yang berubah nilai jadi baik karena kemanfaatan praktis yang diberikan, tetapi kondisi masyarakat yang cenderung muak dan bosan dengan tangan sopan negara terhadap para koruptor. Budaya ini akan terus mengakar kuat dalam sistem birokrasi jika tak ada tangan besi yang menghantam tiga dosa besar kehidupan sosial politik ini. Tak apa, tetaplah menyiasati akhir bulan dengan kuah indomie, terkhusus jika Anda mahasiswa.

Ketiga, pola pembangunan yang antroposentris akan terus berlangsung. Negara akan terus acuh dengan alam. Bersiaplah untuk menonton lebih banyak represivitas aparat dan jerit tangis masyarakat. Persiapkan diri anda sebaik mungkin untuk menonton sajian orkestrasi musik yang keji dan tak manusiawi. Suara bising akan persisten merusak ekologi entah sampai kapan—mungkin sampai alam marah dan manusia tak punya kuasa untuk menunda amarahnya.

Keempat, pemerintah akan terus menginjak akal sehat, merendahkan kepakaran, dan tak peduli dengan suara oposisi. Partisipasi publik akan diterima agar demokrasi tampak terjaga, seakan-akan tampak sehat biarpun aslinya terbaring sakit tak berdaya.

Kelima, kekuasaan akan membunuh oposisi dengan cara yang lebih elegan. Mereka memanfaatkan otomasi media sosial untuk membunuh karakter anak muda yang banyak bicara. Tak membunuh dengan menembak memang, tetapi perusakan karakter akan jadi alat terbaik penguasa untuk mengais suara pro kekuasaan dengan terus mengampanyekan bahwa sikap berbeda wajib diperangi.

Keenam, moralitas, etika, dan nilai kepantasan publik tak akan jadi indikator penting dalam membangun sebuah kehidupan sosial. Sepanjang aksi pemerintah membawa capaian kuantitatif yang baik, keadaban bangsa hanyalah gaung moral kuno yang tak layak ada di zaman ini.

Dari uraian tabiat penguasa ini, saya tetap yakin Indonesia Emas 2045 akan jadi nyata. Kejayaan itu tak ditandai dengan kembalinya kedaulatan kepada tangan rakyat—cuih, apa itu kedaulatan rakyat? Indikator Indonesia Emas 2045 adalah angka-angka semu, indeks-indeks kuantitatif buatan negara, kebahagiaan palsu yang kesemuanya bakal ramai dikampanyekan negara lewat influencer bayaran dan buzzer budiman. Tahun 2045 nanti, mayoritas masyarakat akan menonton kejayaan Indonesia di dunia maya sambil memegang perut yang keroncongan karena tak bisa makan.

 

Editor: Emma Amelia

Geza Bayu Santoso
Geza Bayu Santoso Philosophy Student

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email