Mandeknya konsolidasi demokrasi pasca Reformasi 1998 dilatari banyak faktor, salah satunya masalah korupsi. Di berbagai instansi pemerintahan, masalah korupsi tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja, tetapi memobilisasi berbagai pihak untuk turut serta mengorupsi hak-hak rakyat. Ini yang belakangan disebut sebagai korupsi berjamaah, yang di dalamnya melibatkan berbagai pihak di instansi dan birokrasi negara.
Berbagai kajian tentang korupsi sudah banyak dilakukan, baik dengan pendekatan institusional, kebudayaan, perilaku, dan berbagai pendekatan lain. Di sini, saya menawarkan perspektif struktural untuk menjelaskan masalah korupsi dengan melihat pada aspek ketimpangan, pembusukan demokrasi, serta peran dan keterlibatan masyarakat sipil.
Korupsi dan Problem Struktural
Pasca lengsernya Soeharto karena krisis moneter dan demonstrasi populer yang menuntut pengunduran dirinya, lanskap politik Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Lembaga swadaya masyarakat bermunculan di mana-mana, pers kembali tumbuh, dan parpol-parpol juga ikut terbentuk dari berbagai elemen politik. Kebebasan berserikat, berpendapat, dan berkumpul memberikan corak khas bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Namun, berbagai perubahan ini hanya berada pada tataran institusional. Pada tataran yang lebih kompleks, terutama dari aspek strukturalnya, konsolidasi demokrasi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan sebagaimana yang dituntut dalam Reformasi 1998. Terkhusus pemberantasan korupsi, meskipun lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk sejak tahun 2002, tetapi kini masalah korupsi semakin tidak terkendal. Korupsi merajalela sampai ke tingkat pemerintahan provinsi, kabupaten/kota, dan desa.
Mengapa kasus korupsi semakin menggejala di Indonesia? Menurut Vedi R. Hadiz, demokrasi Indonesia sejak awal tidak terkonsolidasi secara kuat karena elit-elit yang dibesarkan di bawah rengkuhan Soeharto berhasil mereposisi diri dalam lingkungan ekonomi-politik pasca Reformasi. Meskipun perubahan lanskap politik demokrasi terjadi, tetapi menurut Vedi hal ini tidak banyak membawa perubahan pada tataran strukturalnya.
Meskipun demokratisasi di Indonesia tampak berjalan normal dengan adanya pemilu, pilkada, pers yang bebas, serta kebebasan berorganisasi, berpendapat, dan berkumpul, proses yang fundamental dalam corak politik otokrasi di Indonesia justru semakin dilanggengkan di tengah situasi demokrasi yang tampak normal tadi. Alhasil, praktik korupsi semakin menggejala di berbagai instansi negara, lalu melemahkan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Di tengah problem struktural yang tidak dibongkar inilah, korupsi terus dipertontonkan oleh elit-elit yang rakus. Kasus korupsi proyek pengadaan base transceiver station (BTS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika yang melibatkan para petinggi seperti mantan Menkominfo Jhony G. Plate menunjukkan bahwa korupsi berjalan dalam struktur yang melibatkan berbagai elemen politik dan pengusaha.
Kasus korupsi BTS di Kominfo tentu saja bukan hanya soal kesalahan dalam manajemen organisasi Kominfo. Ia juga bukan hanya soal tata kelola anggaran yang tidak transparan maupun kurangnya pengawasan hukum dan perangkat aturan lainnya. Masalah-masalah itu hanyalah kulit luar saja yang justru kurang berpengaruh jika aspek strukturalnya bisa dicegah.
Kasus korupsi BTS melibatkan bekerjanya langgam ekonomi-politik dari berbagai aktor. Para aktor ini berusaha mencari rente (rent seeking) untuk tujuan memperkaya diri sembari menggembosi hak-hak publik di daerah terdepan, terpencil, tertinggal (3T) untuk menikmati kesejahteraan internet dari negara.
Dalam praktik itu, aturan dibelokkan dan penegakan hukum digembosi untuk melicinkan praktik korupsi. Kecenderungannya juga tampak dalam berbagai implementasi kebijakan yang tidak tepat sasaran dan pembangunan yang mangkrak.
Yang menanggung kerugian korupsi struktural ialah rakyat miskin. Hak-hak mereka untuk memperoleh kesejahteraan dari negara melalui bantuan sosial dan sejenisnya ditelan oleh elit korup yang rakus. Pemiskinan struktural sebagai dampak praktik korupsi di berbagai instansi negara inilah salah satu akar ketimpangan sosial-ekonomi dalam negara “demokrasi”.
Baca juga:
Peran Masyarakat Sipil
Ketika korupsi telah membudaya di berbagai instansi pemerintahan, kekuatan politik masyarakat sipil penting untuk mengawasi kinerja instansi pemerintahan. Lebih luas, masyarakat sipil juga memegang peran kunci dalam mengawasi, membongkar, dan mengevaluasi proses demokratisasi yang berjalan di instansi negara.
Masalah struktural yang memungkinkan korupsi berjamaah di lingkaran kekuasaan mestinya bisa dicegah lewat mobilisasi masyarakat sipil yang kuat, mandiri, dan terorganisir. Dalam gerakan sosial itu, kita dapat menuntut perubahan mendasar pada aspek kesejahteraan rakyat sehari-hari yang baik-buruknya berkaitan erat dengan keberhasilan pencegahan korupsi yang selama ini telah mengakar kuat di lingkungan pemerintahan.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Korupsi 25 Tahun Pasca Reformasi”