Presiden Jokowi, yang dulu dilabeli harapan baru oleh majalah Time, terus bergerak mengubah diksi “hope” menjadi “hopeless”. Citra bahwa dia adalah orang biasa, tukang kayu, dan warga sipil yang membawa harapan cerah untuk masa depan Indonesia semakin terlihat seperti omong kosong. Presiden Jokowi lepas landas dengan baik, bahkan nyaris sempurna. Tak ada suara sumbang yang meragukan sosoknya. Namun sayang, goda kekuasaan membawa dirinya jatuh ke dalam jurang. Dia mengakhiri masa kepresidenan dengan catatan hitam.
Saya cinta kepada beliau. Sejak saya di madrasah, saya menikmati keputusannya sebagai kepala negara. Dulu, saat Presiden Jokowi kunjungan kerja ke Madiun, Jawa Timur, saya dan sahabat saya, Syaiful, berlari kencang mengejar mobil rombongan presiden. Kami ingin melihat raut wajah dan senyum lebar orang nomor satu di Indonesia. Sial, kami gagal. Saya dan Syaiful hanya bisa mendengar suara beliau dari rimbun rumput hutan. Nyaring suara Presiden Jokowi membaca Pancasila kami dengar bersama warga desa yang nampak terbata-bata melafalkan ideologi negara.
Namun, beginilah konsep harapan, ia sepaket dengan kekecewaan. Penulis tekun Goenawan Mohamad menangis di depan kamera, ia meneteskan air mata untuk orang yang dulu ia dukung. Penyesalan nampak jelas dari nada bicara pendiri Tempo yang kini tak lagi muda itu. Mas Goen bukanlah satu-satunya orang yang kecewa dengan langkah politik Presiden Jokowi. Ada banyak manusia Indonesia yang tak setuju dengan akrobat politisnya. Namun itulah goda besar kekuasaan, kehilangan akal sehat sedikit saja, laku amoral jadi hal normal.
Baca juga:
Kekecewaan kepada Pak Jokowi makin ramai diperbincangkan setelah Tempo merilis satu padanan kata yang menyebut Gibran sebagai anak haram konstitusi. Pencalonan anak Presiden Jokowi sebagai calon wakil presiden memang penuh dengan tendensi politis. Sangat nampak dipaksakan untuk mempertahankan kekuasaan. Kini warga yang kecewa menyebutnya dengan dinasti politik, praktik culas yang selama ini ditolak alam demokrasi. Tapi inilah hebatnya Jokowi, ia membunuh demokrasi dengan cara yang seolah-olah demokratis. Sosoknya tetap dicintai mayoritas masyarakat Indonesia meski telah menyeleweng dari garis.
Catatan Hitam Jokowi
Saya coba mendokumentasikan, mengkritisi, merenungkan kembali akrobat mahaguru politik bernama Jokowi, sebab kritik adalah bentuk cinta paling paripurna, begitu kata para pujangga. Beberapa paragraf akan memuat catatan hitam langkah politik Jokowi. Selain itu, izinkan saya menyebut beliau dengan nama Jokowi, tanpa embel-embel “Pak” ataupun “Presiden”. Mari kita resapi betapa gemilangnya siasat politik mahasiswa fakultas kehutanan ini, tak semua akan ditulis dengan baik berdasarkan data, beberapa hanya curahan hati melihat konflik horizontal yang dibiarkan begitu saja oleh negara.
Mari kita mulai dari aksi besar Reformasi Dikorupsi (2019) yang digadang-gadang mejadi demonstrasi terbesar pasca Gerakan Mahasiswa tahun 1998. Aksi ini merupakan gelombang kemarahan rakyat, mahasiswa, aktivis, intelektual, serta buruh atas kesewenang-wenangan para penguasa. Ribuan masyarakat dari berbagai elemen tumpah ruah menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR yang dinilai tidak transparan dan acuh terhadap suara rakyat. Dan waktu memang membuktikan bahwa telinga penguasa bebal. Suara rakyat bukan prioritas utama. Jokowi menjadi bagian dari penguasa yang abai dan bebal.
Musuh negara ini bukan ideologi kiri atau pikiran yang radikal. Sejak kolonialisme bercokol hingga harum kebebasan reformasi, musuh terbesar bangsa Indonesia adalah perilaku koruptif (KKN). Sikap individualis yang manipulatif, menyelewengkan uang negara untuk kepentingan golongan. Lalu sejarah mencatat bahwa pemerintahan Jokowi adalah pelaku pelemahan KPK. Anak kandung reformasi yang disegani para koruptor itu dipukul hingga lemah tak berdaya. Hingga puncaknya, ketua KPK menjadi tersangka dengan pasal berlapis berupa pemerasan dan penerimaan gratifikasi. Dan jangan lupakan parade korupsi para menteri pada era Jokowi.
Tentu kita masih ingat dengan paket UU Minerba dan UU Cipta Kerja, aturan yang menonjok pipi kanan masyarakat sambil mengelus pipi kiri investor (oligark). Kini, waktu membuktikan bahwa undang-undang ini memang perlu dikaji ulang. Puluhan bahkan ratusan konflik lingkungan terjadi. Tangis masyarakat bersama tembakan aparat, disusul jerit ketakutan bersama darah yang berceceran, sungguh orkestrasi musik yang keji dan tak manusiawi. Inilah nasib pemerintah yang antroposentris dalam membangun negara, suara bising investasi nyata merusak ekologi. Lalu apa yang terjadi? Ya, penguasa bungkam dengan alasan proyek strategis nasional.
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia pernah menganugerahi Jokowi sebagai “The King of Lip Service”. Mesti disadari bahwa ada banyak pernyataan Jokowi yang tidak berbanding lurus dengan kebijakan yang diimplementasikan. Jokowi sering memberikan pernyataan yang segar di awal tetapi berujung memuakkan. Ia berkata bahwa anaknya tidak tertarik untuk masuk politik, eh ternyata tak tertarik masuk jika tidak gerombolan. Keluarga Jokowi meneruskan budaya dinasti politik Indonesia. Tidak masalah memang, tapi sejarah membuktikan bahwa praktik dinasti mutlak menegasikan meritokrasi.
Seperempat abad reformasi tampaknya tak membebaskan publik dari pemimpin seperti Jokowi. Reformasi 1998 hanya melahirkan tokoh dan menyuburkan kultus individu, tetapi melupakan pendidikan politik, mekanisme yang dapat menjaga akal sehat dan kritisisme orang ramai (majalah Tempo). Jokowi tahu betul bahwa dia bisa bersembunyi di balik populisme semu. Kamera adalah senjata handalnya untuk mengobrak-abrik demokrasi. Ia paham bahwa modal politik terbaik adalah kebodohan, mendidik rakyat adalah bunuh diri politik. Pendidikan makin mahal dan kampus makin eksklusif. Universitas mendadak jadi perusahaan rintisan yang jahat dan eksploitatif kepada mahasiswa.
Rusaknya demokrasi adalah efek dari tabiat pemerintahan dan kekuasaan negara yang buruk. Partai politik tak lebih dari badut prosedural untuk menggendong kepentingan penguasa. Mereka tak lagi memegang nilai publik dalam menjalankan tugas. Mereka oportunis sejati, bergelantungan dari satu kesempatan menuju kesempatan lain, tentu sambil terus memikirkan bagaimana cara berlindung di balik ketek penguasa. Partai politik di Indonesia ibarat startup, setelah cukup sumber daya dan memiliki basis massa, ia dijual kepada investor yang penuh dengan kepentingan. Politik balas budi tak terhindarkan dalam pola relasi transaksional semacam ini, kepentingan rakyat tersingkirkan, mereka terus menuhankan para pemodal.
Baca juga:
Jokowi memang bukan Soeharto. Ia tak menculik, menangkap, menembak, dan sebagainya. Tapi rezim Jokowi membunuh dengan cara yang elegan, ia mengorek kesalahan masa lalu, membunuh karakter oposisi, menuduh mereka terlibat dengan gerakan antinegara. Gielbran, Presiden Mahasiswa UGM, adalah contoh nyata. Ia dan BEM UGM menghadiahi Jokowi sebagai alumni paling memalukan. Lalu, apa yang dilakukan negara terhadap suara kritis ini? Gielbran dibunuh karakternya, difitnah kiri-kanan dengan tuduhan yang tak berdasar. Sosial media adalah alat propaganda negara untuk membungkam suara kritis, seakan-akan sikap berbeda adalah salah dan wajib diperangi.
Terakhir, yang paling jahat, rezim saat ini sangat tendensius merendahkan kepakaran. Saat guru besar, akademisi, dan intelektual turun gunung meneriakkan suara moral atas perilaku penguasa yang tuna adab, dengan gamblang rezim ini melabeli mereka sebagai golongan yang sedang diorkestrasi untuk kepentingan elektoral. Padahal, apa susahnya menghargai suara mereka dengan merefleksikan ulang substansi yang disampaikan? Namun inilah cara penguasa merusak demokrasi. Mereka merendahkan kepakaran, merawat kebodohan, dan menormalisasi perilaku amoral.
Film Dirty Vote kembali menyadarkan kita bahwa hasrat dan perilaku kekuasaan memang bengis, bebal, jahat, manipulatif, kejam dan zalim. Mari kita tutup catatan sederhana ini dengan rasa optimis Bung Hatta:
“Demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun demokrasi di Indonesia yang lancar jalannya. Tetapi bahwa dia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.”
Editor: Prihandini N