Sebagai generasi Z, saya ingin memberikan catatan dan mengulas kekhawatiran yang dilontarkan kolom Editorial Omong-Omong berjudul Is Indonesia Running in Circle? Kecemasan itu bernada “Kita mungkin akan merasakan apa yang terjadi jika cara Soeharto dan cara Jokowi digabungkan dalam satu rezim.”
Jokowisme
Jokowisme adalah sebuah upaya PSI untuk mendefinisikan paham dan corak kepemimpinan ala Jokowi. Ini meliputi ideologi, pandangan, wawasan, cara, dan sikap kepemimpinan Jokowi. Kata Andy Budiman, Jokowisme tidak bisa dipenjara dalam definisi Ideologi, entah sosialisme, sentrisme, atau kapitalisme. Jokowisme bergerak melampaui sekat-sekat ideologi, luwes menyesuaikan diri sesuai keadaan. Sebuah paparan deskriptif yang jika disederhanakan kemungkinan berbunyi: oportunis. Semoga penyimpulan saya salah, tapi mari kita bedah.
Baca juga:
Jokowisme juga disebut Andy Budiman sebagai pandangan yang selaras dengan maksud Amartya Sen tentang kemajuan, bahwa negara harus berinvestasi lebih dalam bidang infrastruktur sosial untuk meningkatkan produktivitas rakyat untuk menciptakan pertumbuhan. Madzhab ini percaya kemampuan manusia akan berkembang maksimal jika negara turun tangan membantu mereka melalui program sosial, pendidikan, dan kesehatan yang pada akhirnya akan menjadi sumber pertumbuhan berkesinambungan.
Apa benar Jokowisme adalah demokratisasi akses, sebuah langgam yang coba memberi ruang bahwa siapa pun bisa menjadi apa pun? Tukang kayu bisa menjadi presiden asalkan punya etos kerja dan mental petarung. Apa benar Jokowisme adalah tentang bagaimana meninggalkan warisan politik yang mampu jadi fondasi membangum arah bangsa? Nilainya mampu menyelamatkan Indonesia dari konstelasi politik dunia yang serba krisis. Apa benar Jokowisme adalah usaha untuk membentuk peta arah kemajuan bangsa yang sering kita dengar dengan nada Indonesia Emas 2045?
Semua yang telah Anda baca memang ada benarnya, terutama jika kalian berada dalam “geng Mawar”. Namun, ada satu pola dan metode untuk memahami Jokowisme yang sesungguhnya. Pola itu adalah dengarkan apa yang dia bicarakan, lalu percaya sebaliknya. Jika Jokowi bilang hilirisasi itu baik untuk penyerapan tenaga kerja, maka percayai hal sebaliknya. Jika Jokowi bilang akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, percayai sebaliknya. Jokowisme adalah wawasan tentang pertentangan atau kontradiktif. Apa betul?
Anda perlu tahu, Di ITB, mahasiswa yang tak mampu membayar uang kuliah, terpaksa melakukan pinjaman online. Itu semua adalah simulakra yang dirawat oleh negara untuk melepas tanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kerusakan lingkungan terjadi di berbagai daerah akibat nafsu ekonomi. Jerit penderitaan masyarakat adat, nyaring tembakan aparat, dan riuh mesin hilirisasi mencemari mata air warga sekitar. Anda perlu tahu kehampaan panjang Bu Sumarsih dan kawan-kawan Aksi Kamisan yang berdiri di depan Istana Negara untuk menuntut penyelesaian kasus HAM berat. Jika hati kita tak bergetar melihat itu semua, kita mesti mendefinisikan ulang makna kemanusiaan.
Sekali lagi saya tegaskan, Jokowisme adalah gagasan yang definisinya tak mampu dipenjara oleh ideologi apa pun, ia bergerak lincah, progresif, luwes, dan adaptif dengan peluang dan kepentingan, alias oportunis. Jokowisme adalah uraian yang selalu bertentangan dengan kenyataan. Jika Jokowi teriak dia tidak haus kekuasaan, percaya sebaliknya. Ia akan berakrobat dengan galah populisme semu untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Gagal tiga periode dengan modal angka kepuasan publik yang tinggi, Jokowi tak akan tinggal diam. Ia melenting lewat galah darah dagingnya meski melanggar nilai keadaban bangsa sekali pun.
Soehartoisme
Sebagai generasi Z, saya tentu tak pernah mencicipi tangan besi Presiden Soeharto. Orde Baru yang generasi saya pahami adalah Orba versi buku, video, podcast, dan obrolan warung kopi. Saya pernah mendengar keluhan kakek tua berusia sekitar 70 tahun. Kami berdua baru saja menandaskan semangkok soto sapi dan teh hangat tawar sebagai menu sarapan. Bibirnya yang tak lagi muda dan penuh minyak itu berkeluh tentang harga beras yang melonjak naik. “Enak zamannya Soeharto, apa-apa murah, bahan pokok mudah dijangkau, kondisi sosial tenang. Asalkan tidak berbicara soal politik saja, sih,” pungkasnya.
Ya, memang Presiden yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia ini punya banyak sekali warisan. Ia dikenal dengan periode kepresidenan yang panjang, rakyat merasa aman, petani sejahtera, harga pangan murah, dan politik cenderung stabil tanpa gejolak. Namun, Soeharto juga dikenal sebagai sosok yang menakutkan, jahat, dan bengis. Orde Baru jadi periode kepemimpinan diktator yang mencekam, ketenangan sosial yang ada tak lahir dari kedamaian antarsesama, melainkan lahir dari kondisi yang mencekam. Begitu kira-kira pergulatan Soeharto dalam benak generasi Z.
Tidak menghargai HAM adalah ciri Soehartoisme. Soehartoisme yang saya pahami sepertinya sangat gelap. Logika pembangunan yang menyatakan bahwa kestabilan menjadi kunci kemajuan telah membutakan nurani para kroni Soeharto. Mereka membuang nilai kemanusiaan ke dalam tong sampah. Penembakan Misterius (Petrus) menjadi agenda yang melahirkan banyak kematian mendadak tanpa proses hukum yang jelas, jenazahnya ditelantarkan di pertigaan kampung. Rocky Gerung, dalam buku Obat Dungu Resep Akal Sehat menyebutnya sebagai “penggetar psikologis”.
Koncoisme adalah ciri Soehartoisme selanjutnya. Kondisi ini adalah ketika kekuasaan ditentukan, dipimpin, dan dikelola oleh segelintir orang. Menurut Iqrak Sulhin, sistem ini dibentuk berdasarkan hubungan perkawinan dan penguasaan kelompok-kelompok kepentingan bisnis yang paling menentukan. George Aditjondro membeberkan dengan lebih rinci, bahwa para pihak yang menjalin relasi tersebut tercakup di tiga lokus, yaitu Istana (presiden dan keluarganya), tangsi (penguasa militer dan polisi), serta partai politik penguasa (Golongan Karya). Dalam koncoisme Soeharto, kekuasaan akan berjalan tanpa pengawasan dan laku amoral (KKN) jadi budaya normal.
Baca juga:
Realitas kejahatan dan parade kebengisan yang ada selama era Soeharto adalah fenomena yang diorkestrasi oleh segelintir elite. Rezim ini menjadikan hukum sebagai alat tendang dan tukang hantam. Apa saja yang tak senada dengan suara negara adalah tindakan yang harus dibungkam. Kejahatan dan banalitas dianggap sebagai konsekuensi rasional untuk mencapai kemajuan pembangunan. Dalam kondisi semacam ini, hal bermoral semacam kedaulatan rakyat tak akan pernah ada, golongan menengah ke bawah akan kalah dengan relasi kuasa-modal antara penguasa dan segelintir pengusaha. Itu Soehartoisme yang saya pahami.
Dalam Satu Rezim.
“Kita mungkin akan merasakan apa yang terjadi jika cara Soeharto dan cara Jokowi digabungkan dalam satu rezim.”
Prabowo-Gibran adalah pasangan pemenang yang paling dekat dengan kedua paham yang telah dijabarkan. Prabowo pernah menjadi menantu Soeharto dan Gibran adalah anak Jokowi. Kalangan menengah terdidik (akademisi, pakar, guru besar) harap-harap cemas dengan kemenangan koalisi ini. Mereka takut Indonesia akan jatuh pada otoritarianisme, demokrasi kehilangan taji, dan budaya koruptif berlanjut. Bayangan buruk ini juga sedang menghantui para pendukung pro perubahan.
Namun, sepertinya dan semoga, Indonesia tak akan jatuh pada bayangan buruk era kegelapan. Pranata demokrasi kita masih menawarkan harapan meski terseok-seok, demokrasi akan bangkit dengan gagahnya.
Editor: Prihandini N