Pribumisasi pendidikan Islam mengajarkan Islam yang toleran. Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, tetapi jika arah pemikiran dan pendidikannya tidak berjiwa demokrasi yang menghormati perbedaan, pastilah akan menimbulkan konflik keberagamaan yang pelik.
Sebelum membahas pribumisasi pendidikan Islam, kita perlu memahami konsep pribumisasi Islam yang diusung oleh Gus Dur sebagai cara menyikapi fenomena Islam di Indonesia. Pribumisasi Islam adalah perwujudan budaya dan agama tanpa meninggalkan nilai atau norma agama atau budaya yang ada.
Menurut Gus Dur, Islam dan budaya adalah dua hal yang berbeda, tetapi keduanya terhubung. Agama Islam yang bersumber dari wahyu Allah Swt (Al-Quran) memiliki aturan tersendiri, namun hal ini berbeda dengan budaya atau perilaku manusia yang sangat dinamis. Oleh karena itu, menurut Gus Dur, hal yang dipribumisasikan adalah manifestasi Islam, bukan ajaran yang berkaitan dengan akidah dan ibadah resmi lainnya. Misalnya mengubah bahasa Al-Quran dari bahasa Arab ke bahasa Jawa atau Sunda.
Memaknai Ulang Pendidikan
Pribumisasi Islam diproses melalui perluasan hukum adat dalam fikih dan pengadopsian Pancasila sebagai ideologi negara. Pribumisasi Islam dapat dimaknai sebagai upaya untuk menghidupkan kembali Islam yang diusung oleh Wali Songo di Indonesia, mengenalkan Islam kepada masyarakat melalui pendekatan sosial-budaya-keagamaan yang kemudian mengalami asimilasi serta akulturasi.
Lantas, haruskah pribumisasi Islam diterapkan dalam pendidikan Islam? Tentu saja perlu, sebab pada kenyataannya, sebagian besar umat Islam memahami Islam secara normatif tanpa mempertimbangkan tantangan modern.
Baca juga:
Ada dua arus utama dalam pemahaman Islam yang sedang berkembang:
Pertama, kecenderungan beragama dan memahami pendidikan Islam yang mengandalkan umat sebagai konsumen, sementara elite agama dijadikan sebagai penghasil sumber-sumber agama atau pendidikan Islam. Menurut Gus Dur, tipe pendidikan seperti ini bisa disebut pendidikan Islam alternatif dalam memahami agama. Ada kecenderungan islamisasi pendidikan dengan pendekatan fikih dan melihat segalanya dalam pandangan yang serba dikotomis, dualisme world view, seperti halal-haram, surga-neraka, salah benar, dan sebagainya.
Pola pemahaman dan pembelajaran pendidikan ini mungkin didasarkan pada ketakutan akan imperialisme Barat yang dipandang sebagai ancaman, dan pada akhirnya akan merampas masa depan agama. Di sisi lain, kelompok pendidikan seperti ini mengkhawatirkan fakta bahwa di lingkungan Islam sendiri, ada sekelompok umat Islam yang menjauhi ketentuan syariat Islam.
Kedua, pemahaman agama yang mengarah pada reformasi dan pendidikan agama Islam didasarkan pada keprihatinan atas keterbelakangan umat Islam dibandingkan dunia Barat. Keterlambatan umat Islam dalam memahami permasalahan pendidikan Islam disebabkan oleh terbelenggunya pemahaman dan ajaran agama Islam itu sendiri.
Saharusnya pendidikan kita sudah berani mendialogkan secara kritis fenomena kemajuan zaman terhadap budaya dan modernisasi sesuai dengan spirit Islam. Bagi kelompok pendidikan ini, hal yang dilakukan adalah mengambil nilai-nilai keislaman dan tidak berupaya mengislamkan apa yang belum Islam. Sederhananya begini, pendidikan menurut kelompok pertama, perlu diislamkan. Sedangkan menurut kelompok kedua, pemahaman beragama perlu didialogkan dengan apa yang ada dalam masyarakat saat ini.
Konstruksi pribumisasi pendidikan Islam adalah kritik terhadap cara pendidikan agama Islam yang awalnya kaku menjadi pengajaran dengan nilai-nilai Islam yang akan menjawab tantangan zaman, menjawab akar kekeringan pendidikan agama dan nilai-nilai agama itu sendiri.
Dehumanisasi Pendidikan
Proses yang digagas oleh Gus Dur ini disebut dengan dehumanisasi pendidikan Islam. Pendidikan harus berkembang dalam suasana dan nilai-nilai budaya masyarakat, bukan sekadar formalitas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, pendidikan menjadi bermakna.
Beragama adalah bagian dari kesadaran kemanusiaan. Meminjam istilah Freire, tokoh pendidikan yang berpengaruh di dunia, ada tiga kesadaran yang dimiliki oleh manusia, yaitu kesadaran magis, naif, dan kritis.
Umat beragama dengan dominan kesadaran magis, melihat segala hal sebagai ketentuan Tuhan, atau sederhananya adalah, agama dihayati sebagai perintah Tuhan untuk ditaati. Kesadaran semacam ini sangat menenangkan, misalnya sedang naik motor dengan laju kencang, selamat atau tidak berada di luar kendali kita. Kesadaran “pasrah” kepada Tuhan atas apa yang terjadi adalah hal yang menenangkan. Namun, kesadaran seperti ini justru sangat berbahaya jika dimaknai sebagai ketundukan mutlak kepada kepentingan sekelompok manusia yang dibalut sebagai kepentingan Tuhan. Tidak menuruti kepentingan sama dengan melawan Tuhan.
Baca juga:
Sedangkan kesadaran naif, manusia menghubungkan ajaran agama dengan kemaslahatan manusia sebatas individu. Agama adalah tuntunan Tuhan untuk berperilaku baik.
Terakhir, jika umat beragama memiliki kesadaran kritis, agama tidak hanya dipahami sebagai tutunan untuk berperilaku baik, tapi juga menjadi tameng dalam menindaklanjuti penghakiman-penghakiman. Agama berfungsi sebagai rahmat bagi semesta, memberi kebaikan kepada semesta, lintas negara, agama, manusia, dan alam.
Kesadaran dalam beriman kepada Tuhan mestinya memberi manfaat seluas-luasnya bagi kemanusiaan. Kata Gus Dur:
“Tuhan tidak perlu dibela. Yang perlu dibela adalah hamba-Nya yang diperlakukan tidak adil.”
Kalimat tersebut memberi makna bahwa kualitas keberagamaan manusia tidak hanya dinilai dari salat, puasa, atau ibadah lain, tetapi sejauh mana ibadah-ibadah kita memberi dampak positif bagi kehidupan yang beragam di muka bumi. Siapa diri kita selama di dunia bisa dilihat ketika manusia-manusia di sekitar kita bersaksi di atas makam kita nanti.
Gus Dur memberikan pandangan yang cukup signifikan dengan adanya pribumisasai pendidikan Islam yang berbasis pada nilai toleransi atar umat agama, budaya, bahkan keputusan setiap manusia.
Pribumisasi pendidikan Islam perlu diajarkan dengan tujuan agar anak-anak mampu memahami dan mempertahankan “kebenaran”, bahwa suatu hal memiliki nilai validitas tersendiri. Kemudian barulah kita bisa membangun pendidikan Islam yang kokoh spiritual.
Editor: Prihandini N