Kesepian Tak Bernama dan Puisi Lainnya

Sul Ikhsan

1 min read

kesepian tak bernama

sepanjang jalan, kota telah dibanjiri
kesepian-kesepian yang tak bernama
—menggenang di kepalamu
yang menimbun jalan, yang menahan
laju waktu bergerak seperti biasanya

dan betapa menderitanya engkau
ketika malam mengunjungi tanpa
persiapan apa-apa untuk menghiburmu

kau dihukum; dirajam atas kesalahan rindumu
yang tak pernah tersusun oleh bahasa mana pun
—di kepalamu

sungguh, kesepian tak pernah punya nama
dan kau tak pernah punya waktu untuk
bertanya mengapa, dan siapa yang
menciptakannya

hari ke hari adalah kemarau
yang menyelinap ke tempat
kalimat menyembunyikan
maksudnya.

(Serang, 2023)

wan, aku mencintaimu

wan, aku menyaksikan tiap detik
tubuhmu tumbuh di ketabahan tubuh ini
berdaun dan berbuah rimbun
berangsur-angsur mempunyai kehidupannya
sendiri

wan, aku memerhatikan kau bersemayam
di kedalaman ingatan ini
dilahirkan dan kelak mati sebagai bahasa
yang menulis namanya sendiri
berandai-andai menjadi sesuatu

wan, kau tak pernah merasa takut dan ingin pergi
bahkan pada kematian yang mengulang-ulang
suaranya di dekat telinga kita

wan, oleh sebab itulah
aku kerap kali tak punya alasan apa-apa
untuk tidak mencintaimu

(Serang, 2023)

apa yang telah kau lakukan pada usiaku yang pendek ini?

oleh suaramu itu
hidup disihir menjadi gugusan waktu
dibentang seluas-luasnya

ingatan-ingatan lama yang telah dihabisi belatung
pulang menemui rumah yang lapuk
menjadi ruang tunggu

seperti seorang pembaca puisi
kau membunyikan bait di wajahku
yang gagal menyadari usia

dan aku diam. sejuta bahasa beku.
nada-nada mengamuk.
kata-kata berhenti taat pada keteraturan.

seperti seorang penyanyi
kau melengking di susunan malam
yang tabah menunggu kematiannya tiba

dan siapa kau?
apa yang telah kau lakukan pada
usiaku yang pendek ini?

(Serang, 2023)

riwayat cinta kita yang semakin mengecil ini

di simpang tiga yang keruh itu. di sekitar kemiskinan yang kita rayakan. di antara anak-anak yang melindungi kepalanya dengan koran. rumah kita berdiri sempoyongan. menjadi makanan angin malam yang sering kalang kabut.

pastilah kau tahu. di dekat usia kita. waktu bergerak seperti kura-kura. cinta kita tak dapat tumbuh meski dirawat oleh ketabahan ayah. disiangi oleh kelembutan ibu.

kita sesungguhnya telah berusaha. membumbui hidup dengan rayuan yang disusun seperti puisi. tetapi cinta kita tetap mengecil. sekecil ranjang tidur kita. sependek lantai ke atap rumah kita. lambat tumbuh seperti rezeki dari tuhan.

di tiap-tiap kekhawatiran. cinta malah semakin menyusut. menyelinap ke perut kita yang telah terbiasa patuh pada kelaparan. meringkuk di tengah-tengah kegelisahan kita. mengubah sepasang mata kita menjadi telaga yang dalam.

kita sejujurnya telah merencanakan berkali-kali. mengasingkan cinta kita ke pelataran masjid di depan sana. berharap ia dirawat orang-orang. mengajarkan kepadanya keikhlasan yang paling megah.

tetapi begitulah watak cinta kita itu. ia selalu kembali. beribadah di tubuh kita yang telah bertahun-tahun kehilangan percaya. kepada doa kita yang mungkin tak pernah sampai ke langit.

(Serang, 2023)

ingatan tentang rahasia

barangkali setelah doa ini
aku mengingat: masa depan yang rahasia,
nasib yang dijahit di sajadah, usia yang
melambai-lambai

seperti katamu
ibadah adalah upaya kita
mengingat sesuatu
yang entah apa

dan kita nyaris tak punya
ingatan tentang apa-apa
setelah dilahirkan

melainkan hanya sedikit
ketika telah mengetahui nama-nama
dan bahasa
yang juga sedikit

seperti katamu
kita ada di tempat ini untuk
menjawab satu per satu
rahasia yang tak teratur
—tak punya ciri-ciri

tiap hari
kita adalah orang yang baru
dilahirkan oleh riwayat
yang disusun sebelum itu

dan seperti katamu
kita tak pernah berhasil
mengingat rahasia apa
yang menghuni tubuh kita
—kemarin

(Serang, 2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Sul Ikhsan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email