kesepian tak bernama
sepanjang jalan, kota telah dibanjiri
kesepian-kesepian yang tak bernama
—menggenang di kepalamu
yang menimbun jalan, yang menahan
laju waktu bergerak seperti biasanya
dan betapa menderitanya engkau
ketika malam mengunjungi tanpa
persiapan apa-apa untuk menghiburmu
kau dihukum; dirajam atas kesalahan rindumu
yang tak pernah tersusun oleh bahasa mana pun
—di kepalamu
sungguh, kesepian tak pernah punya nama
dan kau tak pernah punya waktu untuk
bertanya mengapa, dan siapa yang
menciptakannya
hari ke hari adalah kemarau
yang menyelinap ke tempat
kalimat menyembunyikan
maksudnya.
(Serang, 2023)
–
wan, aku mencintaimu
wan, aku menyaksikan tiap detik
tubuhmu tumbuh di ketabahan tubuh ini
berdaun dan berbuah rimbun
berangsur-angsur mempunyai kehidupannya
sendiri
wan, aku memerhatikan kau bersemayam
di kedalaman ingatan ini
dilahirkan dan kelak mati sebagai bahasa
yang menulis namanya sendiri
berandai-andai menjadi sesuatu
wan, kau tak pernah merasa takut dan ingin pergi
bahkan pada kematian yang mengulang-ulang
suaranya di dekat telinga kita
wan, oleh sebab itulah
aku kerap kali tak punya alasan apa-apa
untuk tidak mencintaimu
(Serang, 2023)
–
apa yang telah kau lakukan pada usiaku yang pendek ini?
oleh suaramu itu
hidup disihir menjadi gugusan waktu
dibentang seluas-luasnya
ingatan-ingatan lama yang telah dihabisi belatung
pulang menemui rumah yang lapuk
menjadi ruang tunggu
seperti seorang pembaca puisi
kau membunyikan bait di wajahku
yang gagal menyadari usia
dan aku diam. sejuta bahasa beku.
nada-nada mengamuk.
kata-kata berhenti taat pada keteraturan.
seperti seorang penyanyi
kau melengking di susunan malam
yang tabah menunggu kematiannya tiba
dan siapa kau?
apa yang telah kau lakukan pada
usiaku yang pendek ini?
(Serang, 2023)
–
riwayat cinta kita yang semakin mengecil ini
di simpang tiga yang keruh itu. di sekitar kemiskinan yang kita rayakan. di antara anak-anak yang melindungi kepalanya dengan koran. rumah kita berdiri sempoyongan. menjadi makanan angin malam yang sering kalang kabut.
pastilah kau tahu. di dekat usia kita. waktu bergerak seperti kura-kura. cinta kita tak dapat tumbuh meski dirawat oleh ketabahan ayah. disiangi oleh kelembutan ibu.
kita sesungguhnya telah berusaha. membumbui hidup dengan rayuan yang disusun seperti puisi. tetapi cinta kita tetap mengecil. sekecil ranjang tidur kita. sependek lantai ke atap rumah kita. lambat tumbuh seperti rezeki dari tuhan.
di tiap-tiap kekhawatiran. cinta malah semakin menyusut. menyelinap ke perut kita yang telah terbiasa patuh pada kelaparan. meringkuk di tengah-tengah kegelisahan kita. mengubah sepasang mata kita menjadi telaga yang dalam.
kita sejujurnya telah merencanakan berkali-kali. mengasingkan cinta kita ke pelataran masjid di depan sana. berharap ia dirawat orang-orang. mengajarkan kepadanya keikhlasan yang paling megah.
tetapi begitulah watak cinta kita itu. ia selalu kembali. beribadah di tubuh kita yang telah bertahun-tahun kehilangan percaya. kepada doa kita yang mungkin tak pernah sampai ke langit.
(Serang, 2023)
–
ingatan tentang rahasia
barangkali setelah doa ini
aku mengingat: masa depan yang rahasia,
nasib yang dijahit di sajadah, usia yang
melambai-lambai
seperti katamu
ibadah adalah upaya kita
mengingat sesuatu
yang entah apa
dan kita nyaris tak punya
ingatan tentang apa-apa
setelah dilahirkan
melainkan hanya sedikit
ketika telah mengetahui nama-nama
dan bahasa
yang juga sedikit
seperti katamu
kita ada di tempat ini untuk
menjawab satu per satu
rahasia yang tak teratur
—tak punya ciri-ciri
tiap hari
kita adalah orang yang baru
dilahirkan oleh riwayat
yang disusun sebelum itu
dan seperti katamu
kita tak pernah berhasil
mengingat rahasia apa
yang menghuni tubuh kita
—kemarin
(Serang, 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA