Pengalaman, kesalahan, dan masa lalu adalah guru terbaik. Namun, bagaimana bila guru terbaik itu tidak pernah kita dengarkan? Begitulah gambaran kebijakan calistung dalam transisi PAUD ke SD/MI/sederajat.
Ada tiga poin yang dikemukakan pada Merdeka Belajar episode ke-24. Pertama, menghilangkan tes calistung pada proses PPDB SD/MI/sederajat. Kedua, rentang waktu masa pengenalan peserta didik baru selama dua pekan. Ketiga, PAUD dan SD/MI/sederajat perlu menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak.
Kalau kita coba bangun pemahaman yang lebih komprehensif, pelarangan calistung dalam tiga poin di atas lebih mirip pemutaran lagu lama dengan penyanyi baru.
Pada 2010, dalam Peraturan Pemerintah No.17 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, aturan pelarangan calistung sebagai syarat masuk SD/MI/sederajat sudah diberlakukan. Lalu, aturan sejenis juga terdapat di Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Disebutkan di sana, “Seleksi calon peserta didik baru kelas 1 SD tidak boleh dilakukan berdasarkan tes membaca, menulis, dan/atau berhitung.”
Baca juga:
Lantas, mengapa masih saja terjadi miskonsepsi di masyarakat perihal praktik penetapan calistung? Pemerintah harus memahami masalah ini lebih lebar dan intim dari sebatas penebalan aturan.
Hasrat Strata Bermasyarakat
Tantangan aturan calistung bukan terletak pada konsep langgar-melanggar, patuh-mematuhi, dan jalan-tidaknya aturan. Keterlibatan faktor kondisi, pikiran, dan konsepsi masyarakat, khususnya orangtua, juga perlu dimasukkan kajian praktik.
Secara garis besar, sekolah memang telah berusaha tegas tidak mensyaratkan calistung. Asal cukup umur dan memenuhi persyaratan administrasi, calon peserta didik biasanya akan lolos. Namun, dari segi pikiran dan keinginan para orangtua agar anaknya bisa calistung, apakah bisa dikontrol hanya dengan aturan pelarangan calistung?
Selepas anak pulang sekolah pada tahap awal sekolah dasar, banyak orangtua berusaha mencari pelajaran dan keterampilan tambahan untuk anaknya. Bukan guru les minat dan bakat yang didatangi, tapi guru les calistung.
Dalam hal ini, para orangtua cenderung terdorong hasrat strata bermasyarakatnya ketimbang memahami tumbuh kembang anak secara psikologis. Hal ini lebih mudah dimengerti dalam konsep persaingan antar anak tetangga. Permasalahan ini sulit terurai seperti halnya pada paradigma yang terlanjur menjamur soal anak yang pintar adalah mereka yang jago matematika dan sains. Dari sinilah pangkal kurang optimalnya aturan calistung.
Jadi, tantangan terbesar persoalan calistung bukan pada penempelan aturan, pemberian metode ajar, modul, apalagi pengutak-atikan sistem pendidikan. Persoalan besarnya justru lebih kepada persepsi masyarakat.
Partisipasi Akar Rumput
Kita tidak boleh lupa, pemerintah, orangtua, dan masyarakat adalah tiga serangkai dalam pendidikan. Tidak bisa dilepas apalagi jalan masing-masing. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal.
Sama halnya dengan persoalan calistung, masyarakat perlu dilibatkan lebih mendalam. Pelibatan profesional, praktisi, guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan tenaga kependidikan lainnya saja tidak akan pernah cukup.
Mungkin, dalam konsep hierarki kelembagaan, para subjek hidup tersebut masih bisa dikontrol lewat sistem rantai komando. Atasan bilang A, bawahan melakukan A. Atasan menetapkan B, bawahan mematuhi B.
Hal tersebut tidak bisa dan tidak boleh diberlakukan pada tubuh masyarakat. Masyarakat adalah mitra yang posisi hak bernegaranya setara dengan pemerintah, bukan pada tataran hierarki struktur kelembagaan.
Masyarakat, dalam permasalahan ini, membutuhkan kehadiran langsung pemerintah ke ruang-ruang publik dekat pintu rumah mereka. Ajak dan jalin partisipasi yang membangun. Hanya dengan cara itu, pemerintah bisa maksimal mengubah suatu paradigma dan persepsi dalam masyarakat. Atas dasar itulah, partisipasi dan hubungan baik dengan masyarakat harus mulai diberdayakan secara serius.
Namun, selama ini, upaya pemerintah selalu terkesan menjauhkan diri dari masyarakat. Lihat saja bagaimana pelatihan dan penyuluhan mengenai kebijakan pendidikan yang telah dijalankan. Mulai dari dana BOS, Program Indonesia Pintar (PIP), hingga Kurikulum Merdeka selalu diadakan jauh dari jalanan kampung-kampung. Tidak pernah ada upaya menjelaskan maksud kebijakan tersebut di pintu-pintu rumah warga.
Warga tahunya apa yang diucapkan sekolah, apa yang tertulis pada dinding pengumuman sekolah. Saat itu terjadi, masyarakat telah terpinggirkan. Pemerintah gagal menjadikan masyarakat mitra kerja dalam menjalankan kebijakan pendidikan.
Tidak hanya pendidikan, hampir semua kebijakan pemerintah selalu dibicarakan di momen dan ruang yang asing. Semua menjadi berterima saat melihat orientasi pemerintah hanya sebatas pengumpulan massa (kuantitas), citra, dan formalitas, bukan partisipasi akar rumput.
Dari sanalah miskonsepsi terus terjadi, lalu perlahan menjelma menjadi paradigma umum yang mengendap dan mengental. Akibat lanjutannya, timbul rasa sangsi dan orientasi individual. Sebab, masyarakat merasa terlepas dari kepentingan kebijakan nasional, terutama pendidikan. Ada semacam tembok pemisah budaya antara ruang kelas, sekolah, dan program pemerintah dengan persepsi masyarakat.
Pemerintah sudah seharusnya berfokus pada aplikasi program berkelanjutan berbasis turun ke lapangan untuk menjelaskan betapa pentingnya fondasi dasar anak ketimbang calistung. Cobalah kemukakan kerangka kerja dan filosofis bagaimana seharusnya perlakuan pada fase golden age anak. Hal itu harus dilakukan dari hati ke hati, bukan dari gedung dan ruang rapat ber-AC. Semuanya harus berkelanjutan.
Tulisan lain oleh Alfian Bahri:
Aturan identik dengan penekanan, pemaksaan, dan pengetatan, serta ketertundukan. Hierarki semacam ini yang tidak boleh dilakukan dalam masyarakat demokrasi, terlebih dalam urusan pendidikan.
Sementara itu, dengan pendekatan yang mengakar rumput, titik temu persepsi antara pemerintah dan masyarakat bisa diolah, dipadukan, dan diakomodir. Sebab, penyadaran dengan dialektika lebih berpotensi berhasil ketimbang penyadaran berbasis aturan.
Editor: Emma Amelia