Pembredelan tabloid DeTik oleh pemerintah Orde Baru menginspirasi AS Laksana untuk menulis buku tentang Gus Dur. Ia pernah mengutarakan niatnya menulis buku kepada Gus Dur di sebuah pertemuan. Tanggapan Gus Dur? “Buku kalau mau ditulis, ya, pasti tidak pernah selesai.” Gus Dur benar, naskah yang telah digarap oleh AS Laksana raib dicuri bersama laptopnya.
Buku Menghidupkan Gus Dur: Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf merupakan tindak lanjut dari niat AS Laksana yang sempat tertunda. Lain dari naskah awal yang raib, narasumber buku ini bukan lagi Gus Dur, tetapi Yahya Cholil Staquf yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Yahya adalah orang yang cukup lama membersamai Gus Dur dalam berbagai manuver politik dan humanismenya, sekaligus anak ideologisnya. Meskipun murni diikhtiarkan untuk membahas Gus Dur, buku yang terbit pertama kali pada bulan Desember 2021 ini sekaligus menjadi catatan perjalanan intelektual Yahya.
Yahya pertama kali berkenalan langsung dengan Gus Dur di hotel Sofyan, Tebet. Momen ini sekaligus menjadi titik peralihan ideologis Yahya dari kecenderungan fundamentalisme menuju humanitarian Islam. Di tengah kekalutan pikiran tentang kontradiksi Islam dan realitas modern, ia terpikat pada Gus Dur beserta teman-temannya di Yayasan Empati seperti Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rakhmat yang berjuang keras mencari jalan baru, serta pembaruan wacana dan aksi sebagai upaya aktualisasi Islam. Sebelum itu, ketertarikan Yahya sudah mulai terbangun dari membaca esai-esai Gus Dur yang terbit di Prisma dan Tempo (hlm. 61-66).
Pasca pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gus Dur menugaskan Yahya sebagai wakil sekjen. Kemudian, saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, Yahya ditunjuk menjadi juru bicaranya. “(Pada) posisi itu (juru bicara),” katanya, “saya dekat secara emosional dengan Gus Dur dan mendapatkan pengetahuan yang luar biasa banyak dari kedekatan itu.” (hlm. 69) Yahya menyaksikan langsung sikap dan kebijakan Gus Dur yang kerap menyulut ketegangan politik dan kontroversi di masyarakat. Sebagai salah satu orang terdekat Gus Dur, Yahya tidak memandang Gus Dur sebagai pribadi yang eksentrik dan irasional.
Memori tentang Gus Dur
Bagi Yahya, Gus Dur merupakan manusia yang tidak tanggung-tanggung melakukan apa yang menurutnya benar. Misalnya, ia tidak mau memberi fasilitas apa pun bagi wartawan yang meliput di istana; tidak ada tempat khusus, jatah makan, apalagi bayaran uang. Yahya melihat itu tidak tega, tetapi Gus Dur tetap pada pendiriannya. Alasannya sederhana, ia tidak mau mengurangi obyektivitas mereka dalam menulis berita soal istana (hlm. 37-38).
Tidak cuma itu, dengan kiai-kiai NU pun Gus Dur sering berseberangan. Misalnya, soal pencalonan Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum PKB. Banyak kiai yang tidak sepakat karena Matori terlibat Sidang Istimewa DPR sebagai perwakilan fraksi PKB dalam pelengseran Presiden RI ke-4, Gus Dur. Namun, Gus Dur ingin Matori tetap jadi ketua umum. Bahkan, ia bermaksud akan mendirikan partai lain dengan ketua Matori jika keinginannya itu tidak terwujud (hlm.67).
Sikap Gus Dur yang seperti itu akan banyak ditemukan di sepanjang buku ini. Yahya sendiri pernah berada di posisi oposisi saat Gus Dur hendak memberhentikan Saifullah Yusuf dari jabatan Sekjen PKB tanpa persetujuan para kiai. “…saya belum sanggup mencerna di balik tindakan itu,” kata Yahya (hlm. 69). Gus Dur sering kali sulit dipahami. Orang dekat Gus Dur seperti Yahya juga merasakan itu. Dari ketegangan ke ketegangan lainnya, ia berpindah tanpa jeda dan tidak kenal lelah. Totalitas, begitulah Gus Dur.
Baca juga: Mengintip Muktamar dari Luar: Catatan Rombongan Liar
Keengganan untuk tunduk pada suara mayoritas menunjukkan bahwa Gus Dur menginginkan perubahan. Kita tidak akan lupa, perubahan itu adalah humanisme—seperti yang telah ditulis dalam banyak buku-buku kegusduran: kerukunan, kesejahteraan, dan keadilan. Sepanjang hayatnya, Gus Dur memegang teguh dan menegakkan ketiga prinsip humanisme tersebut.
Baca juga:
Buku ini ditulis oleh AS Laksana dengan gaya yang renyah, tetapi tetap diupayakan untuk mempertahankan tuturan asli Yahya. Ketika membaca buku ini, pembaca seperti sedang mendengar cerita langsung dari penuturnya. Yahya tidak sekadar bercerita, tetapi juga ikut memberikan analisis kritis terhadap Gus Dur. Penuturan Yahya di buku ini memberikan kita penerangan tentang yang masih samar-samar, meskipun tidak sepenuhnya menjawab.
Lahirnya buku ini, sebagaimana judulnya, adalah usaha menghidupkan lagi Gus Dur dengan menularkan gagasan dan perjuangannya sehingga terlahir lebih banyak orang sepertinya. Saya yakin, lebih banyak “Gus Dur” akan membuat hidup kita lebih baik.
Editor: Emma Amelia