Bagi umat Islam dan penganut agama lain, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah sosok yang sangat fenomenal. Mereka sangat menghormati Gus Dur, meskipun tak sedikit pula yang menolak dan bahkan menganggapnya sesat karena pikiran-pikiran briliannya yang kadang-kadang sukar dikunyah akal sehat. Hingga sekarang, warisan Gus Dur baik karya maupun laku hidup sehari-hari banyak dijadikan teladan, dikaji, dan dituliskan oleh banyak kalangan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kendatipun Gus Dur telah lama berpulang ke pangkuan Sang Ilahi, sosoknya seolah masih hidup dalam sanubari masyarakat Indonesia. Pemikiran-pemikiran Gus Dur terus diwariskan ke generasi penerusnya. Saat ini ramai digelar peringatan Haul Gus Dur ke-13 yang diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat dari beragam keyakinan.
Di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama (NU), sosok Gus Dur tak hanya dikenal sebagai kiai, tokoh pembaru Islam, cendekiawan, dan pejuang kemanusiaan. Ia juga dikenal dan diyakini bukanlah manusia biasa.
Ia adalah wali Allah (waliyullah) sebagaimana kakek dan ayahnya, KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim. Bahkan status kewalian Gus Dur itu sudah sangat masyhur. Tak heran jika Gus Yahya (KH Yahya Cholil Staquf) menyebut Gus Dur sebagai wali ke-10 setelah Wali Songo.
Pertanyaannya, mengapa Gus Dur disebut dan diyakini sebagai seorang wali Allah? Bukankah status kewalian seseorang itu tak mudah diprediksi dan diketahui? Memang mengetahui status kewalian seseorang tidaklah mudah, apalagi bagi orang bisa (bukan wali). Selain karena dirahasiakan Allah, mereka adalah makhluk seperti kita. Sebagaimana yang dinyatakan Syekh Abul Abbas Al-Mursi, mursyid kedua dari tarekat Syadziliyah setelah Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili:
مَعْرِفَةُ الْوَلِي أَصْعَبُ مِنْ مَعْرِفَةِ اللَّهِ فَاِنَّ اللَّهَ مَعْرُوْفٌ بِكَمَالِهِ وَجَمَالِهِ وَحَتَّى وَمَتَى تَعْرِفُ مَخْلُوْقًا مِثْلَكَ يَأْكُلُ كَمَا تَأْكُلُ وَيَشْرَبُ كَمَا تَشْرَبُ
“Mengetahui wali lebih sulit daripada mengetahui Allah. Sebab Allah bisa diketahui melalui sifat kesempurnaan dan keindahan-Nya. Tetapi, bagaimana kamu dapat mengenali wali-walinya Allah dari makhluk sepertimu. Yaitu dia makan sebagaimana kamu makan, dia minum sebagaimana kamu minum.” (Syekh Ibnu Abbad, Syarah al-Hikam, jilid II, hlm. 2).
Kendati tidak mudah, setidaknya kewalian seseorang dapat diketahui melalui keistimewaan atau karamah yang diberikan langsung oleh Allah. Meski tak semua wali Allah difasilitasi karamah, bukan berarti mereka bukan wali Allah. Karamah sendiri merupakan suatu kejadian di luar logika atau kebiasaan manusia. Terkadang karamah bisa berbentuk ijabah doa, mengetahui sesuatu yang tak diketahui orang lain, keselamatan dari intaian musuh, dan peristiwa di luar kebiasaan sehari-hari lainnya.
Karamah Gusdur
Lantas bagaimana dengan Gus Dur? Perihal kewalian Gus Dur, sekurang-kurangnya dapat dibaca dan dilihat dari dua aspek: karamah dan perilakunya. Dari aspek karamah, kewalian Gus Dur tak terbantahkan bagi orang yang percaya akan adanya karamah. Ada banyak kalangan yang menceritakannya, dari kiai, ulama, habib, hingga masyarakat biasa. Habib Abdurrahman Bilfaqih misalnya, dalam satu majelis pengajiannya menyatakan bahwa Gus Dur adalah seorang “wali majdub”.
Baca juga:
Menurut Habib Abdurrahman, Gus Dur memiliki tirakat cukup unik, yakni senang membangun makam atau kuburan. Ini sama seperti Habib Lufti. Berdasarkan cerita yang didengar dari gurunya, beliau yakin bahwa Gus Dur adalah wali Allah. Alkisah, suatu waktu guru Habib Abdurrahman bersama Gus Dur naik mobil ke Madura. Peristiwa ini terjadi sebelum ada jembatan gantung Suramadu. Mereka harus naik kapal laut untuk sampai ke sana kemudian dijemput pakai mobil. Hal aneh terjadi di sini. Setelah mereka berada di dalam mobil, tiba-tiba di pertengahan jalan Gus Dur meminta agar mobil diberhentikan sebab ia mencium bau wangi-wangian. Kemudian Gus Dur berkata, “ini pasti ada makam waliyullah.” Setelah turun dari mobil dan mencari apa yang diyakini Gus Dur itu, ternyata benar ada makam seorang wali Allah.
“Bagaimana saya tidak yakin kalau Gus Dur itu wali Allah. Terserah orang mau percaya atau tidak, yang pasti saya yakin Gus Dur wali. Walau begitu, pemikiran Gus Dur perlu untuk dipertimbangkan. Jika bertentangan dengan syariat maka tak perlu diikuti. Jika sebaliknya, harus diikuti,” tegas Habib Abdurrahman Bilfaqih.
Di lain kesempatan, KH Said Aqil Siroj Mustasyar, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmat 2022-2026, menceritakan pengalamannya sendiri yang berhubungan dengan kewalian Gus Dur. Peristiwa itu terjadi ketika Gus Dur sedang melaksanakan ibadah umrah bersama beliau, Kiai Nur Muhammad, beserta kiai-kiai lainnya. Pada saat berada di kota Madinah, selepas shalat isya Gus Dur mengajak para rombongan kiai tersebut jalan-jalan untuk mencari seorang ulama yang menurut Gus Dur hebat.
Terlihat seorang ulama yang jenggotnya panjang, pakai gamis dan memakai sorban yang besar. Di depannya terdapat tumpukan kitab dan muridnya sangat banyak. Lalu Kiai Said bertanya:
“Yang ini, Gus?” menanyakan ulama yang dicari Gus Dur.
“Mboten-mboten,” jawab Gus Dur.
Rombongan itu kemudian melanjutkan perjalanan mencari ulama yang dimaksud Gus Dur. Ketika melintasi ulama yang mengajar di berbagai tempat di Madinah, Gus Dur selalu menjawab “bukan” tatkala ditanya apakah ulama itu yang dicarinya. Hingga akhirnya, di tengah pencarian mereka bertemu orang Mesir duduk memakai sejadah seorang diri. Ia memakai sorban yang tak terlalu besar, tak ada murid yang mengaji padanya dan ia tampak terlihat biasa saja.
Sontak Gus Dur berhenti di depan orang tersebut. Ia meminta Kiai Said untuk berbicara kepadanya. Walaupun sebenarnya Gus Dur juga bisa berbahasa Arab, ia meminta Kiai Said memulai percakapan tersebut.
“Assalamualaikum,” salam sapa Kiai Said.
“Ini ketua Jamiyah Islam terbesar di Indonesia, Jamiyah Nahdlatul Ulama, namanya Abdurrahman Wahid,” Kiai Said mengenalkan Gus Dur.
“Beliau meminta doa,” lanjut Kiai Said.
“Doa apa?” jawab orang Mesir tadi.
“Doa apa Gus?” Kiai Said bertanya pada Gus Dur.
“Ya doa minta selamat dunia akhirat,” jawab Gus Dur.
Lalu orang tersebut mendoakan sesuai permintaan Gus Dur. Doanya cukup lama dan panjang, sekitar lima menit. Akan tetapi, setelah mendoakan Gus Dur, orang Mesir tersebut pergi berlari dengan menyeret sejadahnya sembari berkata dalam bahasa Arab, “Yaa Rabb, ma dzambi hatta tuarrifaniyyah” (apa dosaku sehingga Engkau membuka rahasiaku kepada orang ini), sambil menunjuk Gus Dur.
Rupanya orang Mesir tersebut adalah wali Allah yang sedang bersembunyi dan ketahuan Gus Dur. Orang lain tidak akan tahu dia wali, tetapi Gus Dur mengetahuinya, tegas Kiai Said Aqil pada waktu mengisi acara peringatan Haul Gus Dur tahun 2019 lalu.
Gusdur dan Kebijaksanaannya
Abu Abdullah al-Salimi, seorang tokoh sufi pada awal abad ke-10 mengemukakan definisi wali, yakni mereka yang dapat diketahui karena tutur katanya yang baik, tingkah laku yang sopan dan merendahkan diri, murah hati, tidak suka berselisih, selalu menerima maaf dari siapa saja, dan halus budinya terhadap segala ciptaan, baik yang jelek maupun bagus.
Dari aspek perilaku, Gus Dur dapat dikategorikan sebagai wali Allah. Dari hal-hal yang disebutkan di atas, Gus Dur telah memenuhinya. Seperti diketahui bersama, semasa hidup Gus Dur adalah sosok yang sangat kuat memegang ajaran Al-Qur’an dan hadis. Bahkan laku hidupnya tak pernah lepas dari nilai-nilai luhur ajaran Islam.
Saking kuatnya, sikap, perilaku, maupun ucapan Gus Dur tak jarang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Misalnya ketika pengikut Ahmadiyah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Begitu pula ketika gereja-gereja dilempari bati, Gus Dur berteriak dengan lantang “jangan”.
Pembelaan Gus Dur itu tentu saja didasarkan atas ajaran Islam, di mana Islam sebagai agama sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dengan memberikan status sosial yang sama. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya di sisi Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat;
يَاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثَى وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ اَتْقَكُمْ اِنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Dalam buku Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur, Husein Muhammad menyatakan, bagi Gus Dur, lafaz “li ta’arafu” (saling mengenal) tak hanya bermakna mengetahui nama, alamat rumah, nomor telepon, atau mengenal dan mengetahui wajah serta bagian-bagian tubuh lain. Akan tetapi, “saling mengenal” adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, dan hasrat-hasrat yang tidak sama. Bahkan lebih dari itu, “li ta’arafu” berarti “agar kalian saling menjadi arif terhadap satu sama lain, menjadi bijaksana, dan rendah hati”.
Atas dasar itulah Gus Dur selalu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan nyaris seluruh hidupnya terkuras demi menegakkan keadilan dan kesejahteraan umat manusia, terutama kelompok minoritas dan termarginalkan yang hak-haknya dipasung. Bagi Gus Dur, nilai-nilai kemanusiaan adalah sesuatu yang wajib dijaga, dirawat, dan diperjuangkan demi melahirkan keharmonisan di antara umat manusia dan umat beragama. Jika keharmonisan tersebut rusak, akan sangat sulit untuk dipulihkan kembali.
Editor: Prihandini N