Pemilu sistem proporsional terbuka berpotensi menjadi karpet merah degradasi perilaku politik. Pemilu bukan lagi menjadi sarana memilih wakil rakyat yang berkualitas, melainkan ajang meraup keuntungan dari berbagai transaksi yang menyertainya, baik bagi calon maupun rakyat banyak sebagai pemilih.
Politik uang mengakibatkan biaya besar dalam berpolitik. Belum lagi diikuti syarat popularitas yang dianggap absolut untuk menang. Kedua faktor ini dimanfaatkan oleh para pemodal dan banyak selebritis, meskipun bila bicara kapabilitas dan pemahaman ideologi, kemampuan mereka masih patut dipertanyakan. Ketenaran dan uang membungkam semua pertanyaan yang ada. Jadi, sesungguhnya perkara moral yang kita hadapi ini bukan hanya saja soal sistem politik, melainkan juga budaya politik. Berbahaya bukan?
Baca juga:
Tak dapat dipungkiri, rakyat banyak yang terorientasi penuh terhadap amplop uang atau berbagai barang. Ada begitu banyak praktik sogok-menyogok yang dilakukan oleh politisi dalam rangka membeli suara. Sesungguhnya kenyataan ini secara gamblang tersaji berkali-kali. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa modal yang dibutuhkan untuk duduk di satu kursi DPR RI itu sekitar 10 miliar rupiah. Sedangkan untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden, kocek yang harus disiapkan paling tidak sekitar 8 triliun rupiah. Angka yang fantastis dan sekaligus miris.
Praktik budaya politik semacam ini membuat pemilih menjadi ‘pengemis massal’, dan semakin marak politisi yang menyandang status ‘gelandangan politik’ atau kutu loncat. Tentu kerusakan tidak hanya terjadi satu arah dari calon ke pemilih, tetapi dua arah secara bersamaan. Pemilih tanpa tedeng aling-aling menagih uang, barang, dan jasa kepada para calon, tanpa mempedulikan darimana sumbernya. Atas dasar itu, calon sekuat tenaga memenuhi permintaan untuk kepentingan memperoleh suara.
Usaha Mengakhiri Politik Uang
Sungguh memilukan. Terlebih politik uang yang hadir di setiap pemilu tak pernah diungkap secara gamblang. Padahal praktik tersebut telah mencoreng nilai-nilai keagamaan dan moralitas Pancasila. Faktanya, fatwa haram serangan fajar atau politik uang dalam pemilu dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebetulnya sudah ada. Sayangnya fatwa tersebut tak gegap gempita disuarakan dan diterapkan.
Selain itu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) juga menerangkan bahwa setiap gratifikasi atau sogok menyogok dalam pemilu merupakan perbuatan yang anti terhadap Pancasila. Dengan begitu, kita bisa melabeli para calon dan pemilih yang memberikan dan menerima uang politik sebagai perbuatan haram dan anti Pancasila. Semoga saja pemikiran itu bukan hanya sekadar harapan belaka.
Jujur saja, muara dari semua hal yang berkaitan dengan moralitas politik sesungguhnya ialah pendidikan. Pendidikan politik yang semestinya terselenggara kian hari terhalang oleh pragmatisme. Partai politik bukan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan sebagai cara dalam meraih kekuasaan. Atas dasar itu, muncul pertanyaan kunci: adakah di antara partai sekarang ini yang menggelar pendidikan politik bertingkat dan konsisten setelah Pemilu 1955? Mungkin ada, namun secara intensitas dilakukan berdekatan dengan waktu menjelang pemilu.
Alhasil rakyat banyak hanya dijadikan objek para elite pada ajang pergantian kekuasaan. Sementara setelah pesta demokrasi berakhir, rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi di republik ini seolah ditinggalkan. Tak pelak angka golongan putih masih cukup tinggi. Partisipasi yang relatif rendah ini menunjukkan kejenuhan terhadap moralitas politik yang kian merosot. Meskipun demikian, sebagian dari kita telah tersadar untuk mendirikan partai politik sendiri demi melawan politik uang dan mengembalikan moralitas politik ke tempat yang sebagaimana mestinya.
Baca juga:
Kita semua merindukan suasana pemilu yang menghadirkan gagasan, bukan nominal uang. Di tengah situasi dan kondisi yang belum ideal ini, kita mesti sadar dan turut saling menyadarkan. Praktik politik uang yang terus bersemayam, dan moralitas politik yang terdegradasi, jangan sampai membuat bangsa ini apolitis atau bahkan menguatkan sikap anti-state. Harapan akan politik alternatif masih ada dan harus terjaga.
Kita yang tersadar harus bekerja untuk menguatkan negara dan mengemban amanat proklamasi kemerdekaan. Hal ini tentu tak semudah seperti apa yang dituliskan. Tapi paling tidak, kita perlu bersatu untuk memilih partai politik, calon presiden/wakil presiden, atau kepala daerah yang berani mengatakan: “Jangan pilih jika kami memberikan uang atau barang kepada pemilih”.
Editor: Prihandini N