Di tahun-tahun politik, perdebatan panas selalu terjadi sebelum dan setelah pemilihan umum berlangsung. Sekarang pun, publikasi koran, televisi, radio, artikel ilmiah, hingga video YouTube sudah mulai banyak membicarakan pertarungan politik.
Pemilihan umum mestinya menjadi bukti nyata bahwa demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik. Idealnya, masyarakat yang sudah memenuhi kriteria bisa menjadi pemilih yang aktif dan kritis; yang memilih berdasarkan visi-misi dari para calon, bukan karena hadiah ataupun sogokan.
Namun, fakta di lapangan sangat berbeda. Masih banyak pemilih yang apatis dan dimanfaatkan suaranya oleh politisi. Terkhusus, orang-orang yang tergolong kaum miskin. Kemiskinan mereka dimanfaatkan oleh para politisi sebagai alat untuk memperoleh suara.
Kebanyakan politisi kita tergabung dalam segelintir kelompok yang mampu menguasai jalannya politik. Fenomena ini disebut sebagai politik oligarki. Tujuan utama dari politik oligarki adalah mempertahankan kekayaan yang terkonsentrasi. Tujuan ini membuat para oligark memandang demokrasi sebagai ancaman.
Selanjutnya, rakyat juga dipandang sebagai ancaman. Para oligark menghendaki rakyat menjadi pihak yang pasif. Publik diarahkan untuk menerima hasil kebijakan yang dibuat oleh para penguasa, baik itu politisi ataupun pebisnis yang tergabung dalam oligarki.
Masyarakat sipil, terutama yang tergolong miskin, selalu menjadi korban politik pasif para politisi dan kroco-kroconya. Kelemahan ekonomi golongan miskin dijadikan celah untuk para politisi ini mendapat suara ketika pemilu.
Tak heran, politik uang, juga dikenal dengan “serangan fajar”, yang merupakan penyimpangan politik kerap terjadi di Indonesia. Para politisi ataupun partai politik membagi-bagikan uang dan materi lainnya untuk memengaruhi perolehan suara mereka dalam pemilu.
Setidaknya, terdapat empat faktor penyebab terjadinya politik uang, yakni:
1. Keterbatasan ekonomi
Keterbatasan ekonomi membuka peluang terjadinya politik uang di masyarakat. Kemiskinan membuat masyarakat kurang berpikir secara rasional untuk memperoleh imbalan atas pengorbanan yang ia lakukan. Dalam hal ini, ia merelakan hak suaranya dipakai untuk bantu memenangkan politisi yang membayarnya.
2. Pendidikan rendah
Rendahnya pendidikan tidak terlepas dari keterbatasan ekonomi. Akibat ekonomi yang terpuruk, seseorang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Padahal, akses pendidikan turut memengaruhi pola pikir dan tingkah laku seseorang. Dengan pola pikir yang buruk, politik uang yang sudah jelas salah akan dianggap benar karena orang yang disasar cenderung apatis.
3. Lemahnya pengawasan
Lemahnya pengawasan menitikberatkan pada kurangnya komitmen individu terhadap peraturan yang mengawasi praktik politik uang. Rendahnya pendidikan membuat sebagian orang belum mampu memahami peraturan terkait pengawasan dan pencegahan terjadinya politik uang.
4, Kebiasaan
Masyarakat yang tidak tahu dan cenderung apatis membuat praktek politik uang semakin langgeng di Indonesia. Beragam modus politik uang seakan tak pernah gagal membuat masyarakat tergiur untuk menjual suara mereka.
Baca juga:
Dengan mengolah keempat faktor tersebut, para politisi dan partai pengusungnya meramu berbagai cara untuk melakukan politik uang. Yang paling lumrah sehingga muncul istilah “serangan fajar” adalah politik uang dalam amplop yang dibagi-bagikan pada subuh atau pagi hari pemilihan umum.
Selain itu, marak pula politik uang dalam bentuk bagi-bagi sembako. Cara ini tak kalah menggiurkannya mengingat banyak masyarakat dengan pendapatan di bawah upah minimum rata-rata yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya.
Sayangnya, politik uang terlihat belum akan berhenti menodai demokrasi kita dalam waktu dekat. Selama masyarakat Indonesia masih belum sejahtera, kaum miskin akan terus tertindas dan menjadi korban politik pasif para politisi.
Yah, semoga baliho “HAK PILIHMU LEBIH MURAH DARI SEBUTIR TELUR PUYUH” yang viral belakangan bisa menjadi pengingat yang lekat sampai urusan kita di bilik suara rampung.
Editor: Emma Amelia