Menanam: Bahasa Perlawanan Kaum Tani

Faris Fauzan Abdi

2 min read

Sudut pandang dan konteks peristiwa sangat memengaruhi makna sebuah kata-kata. Misalkan saja, pada kata “menanam”. Dengan menggunakan perspektif umum dan tanpa konteks peristiwa, menanam tak lebih dari sebuah aktivitas menyemai bibit supaya kelak dapat tumbuh menjadi tanaman. Namun, kata sederhana ini akan jauh berbeda jika diartikan oleh petani di zona konflik seperti Trisno Widodo. Bagi Trisno, menanam berarti keteguhan dalam memelihara kehidupan serta menghindarkannya dari ancaman pengrusakan yang dimotori penguasa yang didukung kekuatan modal.

Hal itu ditulis Trisno secara eksplisit dalam buku Menanam adalah Melawan (2011). Lewat salah satu catatannya yang berjudul sama, Trisno mula-mula mengisahkan kegigihan petani pesisir Kulon Progo dalam mengubah tanah pesisir menjadi lahan produktif secara berkala. Dari membangun sistem pertanian lahan pasir, melakukan perawatan, membuat metode pengairan, sampai menyiasati masalah pascapanen, semuanya dilakukan secara mandiri dan tak kenal kata menyerah oleh para petani. Sampai pada akhirnya, tanah pesisir yang tandus dapat ditanami aneka komoditas pertanian yang menggerakkan perekonomian petani pesisir Kulon Progo.

Bersamaan dengan itu, ikatan antara petani dan lahan pantai pesisir Kulon Progo mulai terjalin. Bahkan, ikatan itu bermetamorfosis menjadi kesadaran untuk menjaga kelangsungan perekonomian yang dirintis dan dikembangkan secara mandiri oleh para petani pesisir. Oleh karena itu, saat muncul rencana pembukaan tambang pasir oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta bersama PT Jogja Magasa Iron, para petani menolaknya dengan tegas dan tanpa kompromi.

“Kami akan buktikan, bahwa tidak selamanya petani bodoh dan miskin. Dengan keteguhan dan keyakinan akan kehidupan yang lebih baik dan mensejahterakan. Kami tetap akan bergerak dan melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Maka bagi kami para petani, menanam pada dasarnya adalah melawan segala penindasan atas kehidupan kami!” (Hlm. 40)

Trisno Widodo dan kawan-kawan sadar bahwa perjuangan yang mereka tempuh akan panjang dan terjal. Sebab, yang mereka hadapi adalah penguasa yang disponsori oleh kekuatan modal. Untuk mengimbanginya, mereka mulai memusatkan kekuatan dengan menghimpun diri dalam paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PLP-KP). Paguyuban PLP-KP merupakan organisasi taktis yang menaungi kegiatan para petani lokal, termasuk di dalamnya advokasi sosial melawan rencana pembukaan bisnis tambang pasir di pesisir Kulon Progo.

Perlawanan para petani yang terhimpun dalam paguyuban PLP-KP dilakukan dengan berjejaring bersama berbagai komunitas dan organisasi. Salah satunya dengan komunitas pemuda Sea Child Community yang melahirkan inisiatif rumah bersama untuk perpustakaan, rumah baca, dan warung. Selain itu, paguyuban PLP-KP juga bersolidaritas dengan sesama petani atas dasar kesamaan nasib, salah satunya dengan Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS). Dari upaya itu, lahir gagasan membentuk paguyuban yang menaungi petani korban ketidakadilan negara dan pemodal yang diberi nama Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Kemudian, untuk meraup solidaritas yang lebih luas, para petani paguyuban PLP-KP memanfaatkan website yang dikelola secara mandiri.

“Bumi adalah untuk dirawat, dimuliakan, dan dipelihara, bukan untuk dirusak. Bukan hanya untuk mengikuti nafsu rakus para penambang dan kaki tangannya. Anak cucu masih membutuhkan kehidupan. Mereka butuh bahan makanan, bukan bahan tambang. Kami petani pesisir Kulon Progo berseru, mari bersatu bergandeng-tangan dan satu tujuan: selamatkan kehidupan anak cucu kita.” (Hlm. 64)

Dalam perjuangannya, para petani PLP-KP masih mengambil metode yang sangat dekat dengan petani, yaitu menanam. Namun, di titik ini, menanam bukan lagi semata aktivitas mempertahankan kehidupan yang sepenuhnya biologis, melainkan sudah dimetaforakan menjadi kegiatan politis. Dari satu titik ke titik lainnya, paguyuban PLP-KP berupaya menanamkan kesadaran tentang arti penting berjejaring dan bersolidaritas, terutama dalam mempertahankan hak penghidupan petani yang dilanggar negara bersama kekuatan modal.

Baca juga:

Buku Menanam adalah Melawan ini juga bisa dianggap sebagai salah satu ikhtiar untuk menanamkan kesadaran serupa. Buku ini terdiri dari catatan yang merekam beberapa peristiwa mencekam, kampanye sosial yang dilakukan paguyuban PLP-KP, hingga seruan solidaritas yang membersamai perjuangan para petani. Seluruhnya ditulis dalam bentuk cerita yang mengalir, didukung dokumentasi berupa foto maupun dokumen tertulis yang disematkan di bagian lampiran buku.

Membaca buku terbitan Pustaka Sebelas ini menimbulkan perasaan tegang sekaligus takjub, terutama saat konflik fisik meletus dan bagaimana para petani menyiasatinya dengan aksi politis demi memperkuat solidaritas horizontal. Menariknya, semua ditulis dari sudut pandang Trisno Widodo selaku petani dan penggerak paguyuban PLP-KP yang tahu betul mengenai gambaran konflik di lapangan.

Pada 9 Maret 2022 lalu, Trisno Widodo, atau akrab dipanggil Mas Wid, dinyatakan tutup usia akibat penyakit yang dideritanya. Banyak pihak merasakan duka mendalam seolah baru saja kehilangan teman yang begitu berharga. Sepeninggal Mas Wid, buku Menanam adalah Melawan menjadi warisan mahapenting dan satu-satunya bagi siapapun yang hendak mendalami dinamika konflik agraria yang terjadi di pesisir Kulon Progo, Yogyakarta. Aktivis pejuang agraria, akademisi, para petani yang hingga kini masih bertahan di zona konflik, maupun kalangan umum perlu membaca buku ini.

 

Editor: Emma Amelia

Faris Fauzan Abdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email