Pada suatu waktu, di depan meja kerja, saya mengikuti sebuah akun twitter yang menarik. Namanya World War II History. Di deskripsi akun tertulis, “Amazing facts & photos regarding all that was World War II”. Sederhananya, akun ini menampilkan foto-foto bersejarah selama mega perang abad ke-19 berlangsung. Foto-foto semacam itu sebenarnya sudah sering saya lihat, baik melalui buku-buku pelajaran sejarah saat masih duduk di bangku SMP maupun SMA. Saya bahkan masih sedikit banyak mengingat permulaan perang yang diawali dari serangan Jerman atas Polandia sebagai akibat ketidakpuasan pada hasil perjanjian Versailles pasca perang dunia pertama dan rentetan serangan demi serangan.
Semua foto dibalut dalam nuansa hitam putih yang serba klasik. Mulai dari foto tentara yang sedang memegang senapan, foto serangan udara, bangunan porak-poranda, hingga foto korban yang berjatuhan di mana-mana. Foto yang terkesan “sangat biasa” dilihat, meskipun tentu memiliki nilai histori yang begitu kaya. Namun, pandangan saya terpatri pada dua buah foto yang disajikan akun tersebut. Pertama, foto selusinan tentara yang sedang tidur terlentang di bawah sebuah tank. Mereka tidur berhimpitan rapat di tepi jalan tanah yang bedebu. Mereka tampak nyenyak meski saat itu nampak terik. Dalam caption yang saya baca tertulis, “Troops of British King’s Shropshire Light Infantry regiment resting next to a Sherman tank of British 3rd Royal Tank Regiment, France, on August 15, 1944.”
Baca juga:
Foto kedua menampilan sorang tentara yang sedang duduk menekuk lututnya di sebuah kebun. Di depannya ada sebuah senapan dan tas yang berisi amunisi peluru di sebelah kiri. Dia terlihat sedang beristirahat sambil makan kudapan. Captionnya tertulis, “Lieutenant Ted Byrne of the 2/7th Commando Company (Australia) taking a break in the Ramu Valley during the New Guinea Campaign on October 20, 1943.” Pada dasarnya, dua foto ini menampilkan tantara yang sedang beristirahat melepas lelah. Sekilas, tidak ada yang menarik dari dua foto ini. Tampak biasa. Namun, jika dicermati lebih jauh, kedua foto ini mendeskripsikan banyak hal. Setidaknya menurut saya begitu. Betapa manusia yang gagah berani di medan perang, memanggul senjata, melepaskan granat, bahkan tidak segan membunuh dan menusuk, mereka tidak lebih dari makhluk lemah yang membutuhkan tidur, makan, minum, dan jeda sesaat.
Memperbincangkan manusia memang sering kali mengulur benang naif dan paradoks yang membuat nalar bepikir lebih dalam. Sulit dibayangkan, peperangan yang begitu mengerikan itu diciptakan oleh makhluk yang bahkan kehilangan hampir seluruh kesadaran saat sedang tidur, membutuhkan makan dan minum untuk bergerak, tidak bercakar, bertaring, bahkan telanjang saat muncul di dunia ini. Mereka adalah satu-satunya makhluk di bumi yang mampu menciptakan sebuah alat untuk membinasakan sesamanya. Menyakiti, menciptakan derita, dan memusnahkan harapan mereka. Dan sulit dibayangkan bahwa makhluk yang membutuhkan setidaknya dua tahun untuk berjalan tegak mampu merencanakan pembunuhan masal 140.000 nyawa manusia melalui sebuah bom di Hiroshima dan menghanguskan 70.000 orang di Nagasaki. Belum lagi jutaan manusia yang terbunuh di belahan bumi lainnya.
Ambisi dan Kekuasaan
Jika ada satu fragmen yang paling bertanggungjawab atas kerusakan yang dilakukan oleh manusia, dia adalah ambisi. Anak kandungnya adalah kekuasaan. Manusia—makhluk yang begitu tidak berdaya—mampu menciptakan berbagai keajaiban beserta kerusakannya. Mereka layaknya Tuhan yang mengatur kehidupan dunia. Ya, mereka memang diciptakan menjadi “Tuhan kecil” bagi makhluk-makhluk lainnya. Tapi, bukankah Tuhan tidak pernah berbuah kerusakan? Dua foto itu kembali mengusik saya melalui sebuah pertanyaan, “Mungkinkah mereka beristirahat setelah membunuh satu keluarga yang tidak berdaya?” Tentu saya tidak punya hak untuk mengiyakan pertanyaan asumtif semacam itu. Namun, setidaknya mereka tentu pernah melepaskan anak pelurunya untuk menembak manusia lain. Tentu kita tidak sedang memperbincangkan siapa lawan, siapa kawan. Yang jelas, seorang manusia hendak membinasakan manusia lainnya. Motif hanyalah rekaan yang bisa dibuat untuk mengaburkan esensi utama.
John Locke, salah satu filsuf Inggris yang mencetuskan konsep Trias Politica menyatakan bahwa kekuasaan harus dibagi menjadi tiga aspek: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Terlalu panjang dan tentu saja akan keluar dari konteks apabila kita menguraikan ketiga aspek itu. Satu hal yang perlu di-highligh adalah pertanyaan, “Atas dasar apa kekuasaan harus dibagi menjadi tiga?” Hakikatnya, nominal pembagian hanyalah turunan kuantitatif. Tidak masalah kita membaginya menjadi dua, tiga, empat, atau lima sekalipun.
Hal yang jauh lebih penting justru terletak pada term “pembagian” itu sendiri. Mengapa harus dibagi dan untuk tujuan apa. Demi mengurai hal tersebut, kita tentu harus memahami manusia dari dua sisi. Secara fisik, manusia adalah makhluk yang dibatasi oleh berbagai macam hal. Ruang, waktu, materi, dan ratusan batasan lainnya. Namun, ambisi—sesuatu nonmateri—tidak pernah terbatas. Tidak ada satu hal pun yang dapat membatasi ambisi dalam diri manusia. Tidak peduli apakah ambisi itu akan terealisasi atau tidak. Satu hal yang pasti, ambisi tidak terbatas dan melampaui segala dimensi.
Ambisi atas kekuasaan hakikatnya tidak terbatas. Menurut filosof Jerman, Friedrich Nietzsche, hasrat paling besar dalam diri manusia adalah ambisi untuk berkuasa (the will to power). Hakikatnya, hasrat ini bersifat netral. Manusia dapat menguasai dengan cara yang baik atau langkah yang paling buruk maupun keji sekalipun. Ambisi berkuasa memiliki konsekuensi adanya pihak yang dikuasai. Untuk dapat menguasai, tentu mereka harus dikalahkan. Atau minimal dikebiri daya dan kekuatannya sehingga berada pada satu dominasi penguasa. Ambisi inilah yang melahirkan berbagai macam dinamika berdarah dalam sejarah peradaban manusia.
Baca juga:
Demi menguasai sejengkal tanah, mereka merelakan ribuan manusia meregang nyawa. Isu apapun bisa diangkat. Klaim wilayah atas dasar kesamaan ras, tuduhan kepemilikan senjata pemusnah masal, hasrat menguasai sumber daya alam, hingga alasan yang direka-reka demi mendapatkan legitimasi bernama kekuasaan. Peperangan, dalam berbagai bentuk diciptakan demi memuaskan hal semacam ini. Tidak pernah ada kata cukup bagi ambisi atas kekuasaan.
Repetisi Historis
“Sejarah selalu berulang.” Begitulah ungkapan yang sering kita dengar. Pernyataan itu disampaikan oleh sosiolog Islam, Ibnu Khaldun dalam masterpiece-nya, Mukadimah. Pada dasarnya, peradaban manusia memang merupakan siklus yang berulang. Repetisi demi repetisi. Polanya sama, hanya aktor dan nuansanya saja yang sedikit berbeda. Tentu kita tidak akan membantah bahwa pergolakan berdarah mengatasnamakan kekuasaan telah menjadi siklus daur ulang yang senantiasa berlangsung dari satu era ke era lainnya. Tidak penting apa motifnya. Yang jelas, kehidupan manusia tidak terlepas dari berbagai pergolakan.
Pada satu titik yang memprihatinkan, saya sendiri sebagai manusia sering malu atas identitas kemanusiaan yang saya sandang. Sebagai manusia, kita adalah makhluk paling naif dan penuh dengan paradoks di luar nalar. Sebagai makhluk yang diberikan akal dan mampu berpikir logis, sering kali kita tidak mampu sekadar berkaca dari masa lalu. Ungkapan belajar dari masa lalu seakan menjadi jargon kosong para politisi menjelang pemilu.
Buktinya, dengan berbagai peristiwa berdarah di masa silam, manusia era modern tidak lantas menghentikan aktivitas yang mengarah pada pergolakan. Pernyataan bakal pecahnya perang dunia ketiga sudah bukan lagi wacana, ramalan, atau dongeng. Semua orang seiya sekata, mengamini bahwa perang dunia ketiga akan berlangsung. Bukankah ini bentuk paradoks paling naif dari seorang makhluk yang mengaku berakal? Alih-alih memastikan bakal terjadinya perang maha dahsyat ini, bukankah mereka bisa mencegah hal itu terjadi?
Sampai di titik ini, rasanya rasionalitas menjadi mati. Buntu. Omong kosong saja soal logika dan berbagai penalaran ilmiah. Di hadapan ambisi kekuasaan, rasionalitas tidak lebih dari kacung rendahan yang berjalan merangkak di hadapan tuannya. Semua tindakan manusia saat ini justru mengarah pada percepatan terjadinya perang gila ini. Kemajuan pemikiran nyatanya tidak bisa menyelamatkan manusia dari naluri paling primitif untuk saling membinasakan dan saling mendominasi.
Ilmu pengetahuan dengan segala hegemoninya akhirnya hanya menjadi parameter kemajuan peradaban yang bersifat sementara untuk kemudian menjadi jalan pengantar kehancuran peradaban itu sendiri. Mungkin pernyataan ini terkesan spekulatif dan tidak berdasar, tetapi kiranya kita bisa menengok sejenak peradaban masa lalu yang konon katanya (berdasarkan kajian para ilmuan) memiliki peradaban yang begitu maju: Peradaban Sumeria, Mesopotamia, Mesir Kuno, Suku Maya, Inca, Yunani Kuno, dan sederet perdaban lainnya. Kemajuan peradaban nyatanya tidak menyelamatkan mereka dari berbagai konflik dan kepentingan untuk saling menguasai, membinasakan. Pada akhirnya, peradaban megah mereka hanya tinggal nama. Kepentingan atas kekuasaan yang mereka perebutkan hanya meninggalkan puing-puing, sekaligus pelajaran bagi generasi berikutnya.
Mirisnya, meski pembelajaran itu telah begitu terang, pada akhirnya generasi saat ini sedang menuju era yang sama dengan kehancuran generasi terdahulu. Kita sedang melakukan pengulangan sejarah untuk kemudian menjadi binasa dan bukan apa-apa lagi.
Editor: Prihandini N