“Hari ini saya ikut kegiatan kampanye di luar kota, Dok. Lumayan, dapat dua ratus ribu, dapat makan dan transport gratis.”
Cerita dari seorang pasien itu mengingatkan saya bahwa kampanye sudah di depan mata. Saya pun tersadar bahwa bersamaan dengan itu, di bulan Agustus ini negeri tercinta merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-78. Kata-kata pasien tadi membuat saya memikirkan bagaimana strategi kampanye memengaruhi perekonomian dan kemerdekaan berpolitik.
Pasien saya itu jelas bukan satu-satunya orang yang menerima uang dari kegiatan kampanye. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik berkampanye dengan membagikan uang dan sembako ke masyarakat atau money politics marak terjadi menjelang pemilihan umum.
Money politics jelas bukan hal yang dapat dibenarkan. Akan tetapi, sebagian orang justru menantikannya karena mendatangkan rezeki nomplok. Bentuknya bisa macam-macam, mulai dari uang yang diperoleh dengan menjual jasa penyebaran brosur, stiker, dan kaos hingga uang transport dengan nominal beragam. Selain itu, ada pula distribusi sumbangan berupa barang dan uang kepada para kader partai maupun warga biasa. Cara ini dikenal dengan istilah “serangan fajar” dan banyak dilakukan mendekati penyelenggaraan pemilihan umum.
Kemudian, money politics juga hadir dalam bentuk pork barrel project, yaitu proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah tertentu. Kegiatan tersebut ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik. Harapannya, publik akan memberikan dukungan politik untuk kandidat yang mejeng di proyek itu.
Contoh-contoh di atas hanyalah secuplik praktik bagaimana kampanye menggerakkan perekonomian. Menurut Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya, Pemilu 2024 akan memberikan kontribusi sekitar 1,5%-2% terhadap produk domestik bruto (PDB) melalui money injection dari peserta pemilihan umum. Bersamaan dengan itu, pemerintah pusat telah menggelontorkan 76 triliun rupiah untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 melalui APBN.
Pesta demokrasi menggerakkan perekonomian daerah melalui UMKM yang menjual jasa percetakan, pembuatan merchandise, serta logistik pemilihan umum. Kemudian, sembako dan “dana segar” yang dibagi-bagikan pada kegiatan kampanye akan mendorong daya beli masyarakat.
Namun, alangkah baiknya bila para politikus bisa lebih selektif dalam mengeluarkan biaya kampanye dengan memprioritaskan usulan masyarakat yang sifatnya produktif. Dana kampanye itu dapat dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur jalan atau pemberian bantuan alat produksi dan teknologi tepat guna yang bermanfaat sebagai investasi jangka panjang, alih-alih pemberian gratifikasi instan.
“Terima uangnya, jangan coblos calonnya.” Itulah jargon yang dikampanyekan oleh koalisi LSM Peduli Pemilu Bersih. Ada yang berpendapat bahwa jargon itu membahayakan karena membiarkan masyarakat melestarikan budaya korupsi. Aspek koruptif dalam money politics merusak demokrasi dan membodohi masyarakat.
Sudah banyak orang yang sadar bahwa politik uang nyata-nyata merendahkan martabat rakyat. Suara rakyat dinilai dengan materi yang nilainya tidak sebanding dengan apa yang akan mereka dapat selama 5 tahun ke depan ketika para politikus akhirnya berhasil menduduki jabatan yang diincarnya. Ini merupakan pembodohan—rakyat dikelabui dengan cara-cara yang mengeksploitasi kepentingan sesaat mereka.
Setelah politikus yang melakukan politik uang itu terpilih, ia akan sibuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya selama kampanye. Kondisinya akan lebih parah jika, misalnya, si calon meminta bantuan konglomerat untuk menyediakan dana kampanye yang dipakainya untuk menjalankan politik uang. Bisa dipastikan, selama 5 tahun menjabat, si politikus akan melayani kepentingan dan kemauan sang konglomerat yang menjadi donatur kampanyenya.
Baca juga:
Pendidikan politik bagi masyarakat penting untuk melawan politik uang. Pendidikan politik membuat seseorang mampu memahami, menilai, dan mengambil keputusan yang tepat dan rasional ketika dihadapkan dengan permasalahan politik.
Sosialisasi anti politik uang mesti dilakukan oleh Bawaslu yang bekerjasama dengan pamong pemerintah di daerah. Sementara itu, langkah kecil yang bisa dilakukan oleh rakyat adalah menyadari bahwa politik uang tidak pernah berbuah baik.
Pada akhirnya, semua pihak di negara yang katanya demokrasi ini bertanggung jawab untuk menyebarkan pesan bahwa pemilih yang bijak adalah pemilih yang menolak politik uang apa pun bentuknya. Semoga perayaan 17 Agustus tahun ini dapat menjadi momen refleksi bersama tentang pentingnya pendidikan politik bagi kemerdekaan berpolitik kita.
Editor: Emma Amelia