Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan mengunjungi suku Kajang untuk menelisik lebih dalam adat istiadat, tradisi, serta kearifan lokal mereka. Di tengah pesatnya perkembangan zaman dan teknologi, suku Kajang masih konsisten menjaga eksistensinya. Masyarakat adat suku Kajang disebut tau Kajang yang artinya “orang Kajang”. Mereka tinggal di dalam satu kawasan hutan adat seluas 530 hektare bernama Tana Toa yang berarti “tanah paling tua”. Masyarakat adat suku Kajang meyakini bahwa tanah mereka adalah tanah tertua di dunia.
Suku Kajang terletak di Kabupaten Bulukumba. Letaknya sekitar 200 kilometer ke arah timur dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Ada hal menarik dari suku Kajang. Mereka menolak perkembangan peradaban, termasuk teknologi. Kawasan adat ini tidak dialiri listrik. Televisi, alat transportasi, dan jenis-jenis teknologi lainnya tidak dapat dijangkau di sana. Bahkan setiap orang yang memasuki kawasan adat ini diharuskan melepas alas kaki dan memakai pakaian serba hitam. Ini dilakukan sebagai bentuk representasi nilai filosofis bahwa kehidupan berawal dari kegelapan menuju keterangan.
Baca juga:
Pedoman Hidup
Saat berada di sana, saya dipertemukan langsung dengan pemimpin adat suku Kajang, yaitu Ammatoa. Berdasarkan apa yang saya dapatkan, masyarakat suku Kajang meyakini bahwa Ammatoa adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh Tuhan (Turie A’ra’na) melalui rangkaian ritual adat selama 38 hari. Tidak sembarang orang berhak dan layak menjadi Ammatoa. Untuk dapat menjadi Ammatoa, selain harus merupakan keturunan, juga harus memiliki kecerdasan dan paham akan perjalanan historis masyarakat adat suku Kajang itu sendiri.
Pedoman hidup masyarakat adat suku Kajang yang dinamakan Pasang Ri Kajang telah diwariskan turun temurun. Pedoman ini sudah dijalankan selama ratusan bahkan ribuan tahun. Nilai dan norma yang terkandung di dalam Pasang Ri Kajang ini dianggap sakral, apabila tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat adat. Terdapat satu prinsip kehidupan dalam Pasang Ri Kajang yang berorientasi untuk menjaga kelestarian hutan adat, yakni tallasa kamase-mase. Prinsip ini mengajarkan suku Kajang untuk berperilaku dan menjalankan hidup sederhana, termasuk dalam mengambil hasil hutan.
Pentingnya Hutan bagi Masyarakat Adat
Masyarakat suku Kajang membagi kawasan hutan adat mereka menjadi dua bagian. Masing-masing memiliki fungsi berbeda. Kawasan pertama disebut borong karamaka yang berarti hutan keramat. Mereka meyakini bahwa kawasan hutan ini merupakan tempat tinggal para leluhur suku Kajang. Oleh kerena itu, di dalam hutan ini segala bentuk kegiatan tidak diperbolehkan, kecuali ritual dan upacara adat. Kedua, borong batasayya yang berarti hutan perbatasan. Di kawasan ini, berbagai kegiatan yang telah mendapat izin dan memenuhi syarat serta ketentuan dari Ammatoa diperbolehkan, termasuk penebangan pohon. Penebangan pohon hanya dapat dilakukan demi kepentingan masyarakat adat yang akan membangun rumah dan sarana umum. Artinya, pohon hanya boleh ditebang sesuai kebutuhan.
Baca juga:
Setiap masyarakat adat yang ingin mengambil satu pohon wajib menggantinya dengan dua pohon. Lokasi penanaman pohon pengganti ditentukan Ammatoa. Penebangan pohon baru boleh dilakukan ketika pohon pengganti yang ditanam sudah tumbuh subur. Selain itu, kayu yang telah ditebang pun hanya boleh dibawa dengan cara digotong atau dipanggul agar tidak merusak tumbuhan lain yang ada di sekitarnya.
Dalam hal ini, suku Kajang memberi gambaran dan pelajaran agar kita sadar akan pentingnya merawat dan melestarikan alam. Jauh sebelum hadirnya lembaga pemerintah, NGO, maupun komunitas yang peduli dan bergerak di isu lingkungan, masyarakat adat suku Kajang sudah jauh lebih dulu mendeklarasikan hal itu melalui prinsip tallasa kamase-mase. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kita merefleksikan apa yang telah kita pelajari dari suku Kajang sebagai bentuk manifestasi terwujudkan alam yang lestari.
Editor: Prihandini N
Tulisan menarik.
Suku Kajang ini mirip dengan Suku Baduy, ya.