Di Balik Penunjukan 271 Kepala Daerah

Durohim Amnan

3 min read

Konsekuensi hukum kebijakan penyelenggaraan pilkada serentak 2024 secara nasional menyisakan berbagai macam persoalan. Salah satunya kekosongan jabatan kepala daerah di 271 wilayah Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebagai dasar yuridis memberikan wewenang kepada pemerintah untuk “mengangkat/menunjuk” penjabat kepala daerah dari kalangan ASN. Presiden bertugas memilih penjabat gubernur, sedangkan menteri dalam negeri memilih penjabat bupati/walikota.

Pemerintah beralasan hal itu agar pembangunan tingkat lokal dan pembangunan nasional bisa berjalan beriringan. Dalam sebuah negara hukum, dalih pembangunan tidak semestinya bisa menggugurkan norma hukum yang memiliki dasar konstitusional. 

Baca juga:

Kemunduran Demokrasi

Azyumardi Azra menilai pengangkatan penjabat gubernur dan walikota/bupati sebagai kemunduran demokrasi Indonesia. Pasalnya, pengangkatan itu menyalahi asas otonomi daerah, bahkan mencederai prinsip-prinsip negara hukum yang tertanam dalam konstitusi.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya berdasarkan undang-undang dasar. Norma tersebut diakomodasi dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyebut, “Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Diksi terakhir yang mempertegas pemilihan secara demokratis tidak tampak dalam “penunjukan/pengangkatan” penjabat kepala daerah oleh presiden dan mendagri.

Ketiadaan pejabat daerah di 271 wilayah (24 gubernur, 191 bupati, dan 56 walikota) membuat persoalan ini semakin serius. Penunjukan/pengangkatan penjabat kepala daerah oleh pemerintah pusat rentan menjadi praktik penyelewengan wewenang.

Model pilkada serentak 2024 menganulir patron pilkada bertahap yang mestinya berlangsung di tahun 2022 (101 daerah), 2023 (170 daerah), dan 2025 (270 daerah). Materi muatan pelaksana (peraturan pemerintah) yang mengatur pokok-pokok serta prosedur/tata cara pengisian PJ kepala daerah diharapkan mengakomodasi nilai-nilai keterbukaan dan partisipatif. Sialnya, aturan teknis tersebut hingga saat ini masih belum juga diterbitkan. Padahal, sampai 25 November 2022, sudah ada 88 pengangkatan PJ kepala daerah yang dilakukan baik oleh presiden maupun mendagri.

Munir Fuady dalam bukunya, Teori Negara Hukum Modern, menjelaskan karakteristik negara hukum yang mencakup kepastian waktu penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tata kelola pemerintahan yang baik wajib memuat elemen-elemen pokok seperti keterbukaan, akuntabilitas publik, pemerintahan yang bersih, dan partisipasi masyarakat. Ciri-ciri di atas belum terlihat, khususnya dalam pengangkatan PJ kepala daerah secara sepihak oleh lembaga eksekutif.

Bayangkan, 271 kepala daerah (nyaris setengah wilayah Indonesia) tidak dipilih atas prinsip kedaulatan rakyat. Ketiadaan ruang bagi masyarakat membuat partisipasi bermakna sulit diperoleh. Dalam konteks itu, pengangkatan PJ kepala daerah belum memenuhi aspek legal-formal (tidak adanya peraturan pelaksana), apalagi aspek legitimasi (sebagian besar masyarakat menolak).

Dalih pemerintah, MK hanya menganjurkan agar proses penunjukan PJ kepala daerah memperhatikan aspek partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, yang kemudian hanya diterjemahkan melalui tata cara pelaksanaan. Sungguh konyol, penunjukan kepala daerah sebanyak 271 wilayah se-Indonesia hanya diatur melalui “prosedur pengangkatan” alias prosedur teknis.

Prosedur pengangkatan ibarat peraturan pelaksana yang secara hierarkis berada di tingkat paling bawah dan sebatas “prosedur teknis”. Pemerintah sudah sewajibnya menerbitkan peraturan pemerintah (PP) untuk merumuskan secara rigid bagaimana pokok-pokok pengangkatan PJ kepala daerah. Dengan begitu, ketiadaan peraturan pelaksana jelas menyalahi mandat konstitusi, UU pilkada, dan putusan MK.

Baca juga:

Jangan lupa, Ombudsman pernah mengeluarkan rekomendasi yang isinya menyatakan pengangkatan PJ kepala daerah sebagai malaadministrasi (kebijakan melawan hukum). Pengangkatan PJ kepala daerah bahkan dilakukan secara sepihak oleh eksekutif tanpa andil legislatif yang memperlihatkan hilangnya prinsip checks and balances dalam tata kelola pemerintahan.

Poin-poin penyimpangan pengangkatan PJ kepala daerah yang ditunjukkan oleh Ombudsman meliputi pemilihan prajurit aktif TNI/Polri, pengabaian atas putusan MK nomor 67/PUU-XIX/2021, serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas informasi soal tahapan pengangkatan PJ kepala daerah. Penunjukan dua prajurit aktif TNI dan Polri membuat praktik dwifungsi ABRI Orde Baru kembali terulang. 

Pengangkatan prajurit TNI aktif sebagai penjabat kepala daerah bertentangan dengan Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan, “prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.” Dengan begitu, pengangkatan itu bukan hanya menyalahi undang-undang saja, melainkan juga mengingkari prinsip bernegara yang termuat dalam konstitusi.

Ketentuan perihal pengangkatan penjabat kepala daerah diatur dalam Permendagri 74/2016 juncto Permendagri 1/2018 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi gubernur, bupati, dan walikota. Aturan tersebut hanya memuat rumusan tentang pelaksana tugas (PLT) untuk mengisi kekosongan karena kampanye pemilihan dan cuti di luar tanggungan negara.

Jabatan itu pun diberikan tidak lebih dari setengah tahun (6 bulan) sampai gubernur kembali bekerja. Situasi yang terjadi saat ini sungguh berbeda, kekosongan masa jabatan akan berlangsung selama 2022-2024 atau sekurangnya dua tahun.

Gustika Fardani Jusuf, peneliti Imparsial, bersama Perludem dan WALHI Jakarta melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pokok permasalahan yang dilayangkan ialah pengangkatan PJ kepala daerah tanpa peraturan pelaksana yang mengatur merupakan perbuatan melawan hukum oleh pejabat pemerintah. Penerbitan aturan pelaksana merupakan kewajiban pemerintah yang mengemban amanat pasal 201 dan 205 UU Pilkada, serta putusan MK nomor 67/PUU-XIX/2021 dan nomor 15/PUU-XX/2022.

Melangkahi Batas Kewenangan                                                                  

Tindakan PJ Gubernur DKI Jakarta membatalkan agenda kerja strategis yang sudah maupun belum diselenggarakan oleh gubernur definitif sebelumnya menuai protes. Hal ini dinilai melanggar peraturan tentang batas kewenangan PJ gubernur.

Pembatasan kewenangan penjabat kepala daerah tertuang dalam PP No. 44/2008 tentang pemilihan, pengesahan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di situ dijelaskan bahwa PJ gubernur dilarang membatalkan perizinan yang sudah dikeluarkan pejabat sebelumnya atau mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan pejabat sebelumnya, serta dilarang membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.

Tulisan lain oleh Durohim Amnan:

Banyak orang beranggapan bahwa penunjukan/pengangkatan penjabat kepala daerah adalah desain politik berupa pengendalian birokrasi untuk memenangkan calon tertentu pada pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah 2024. Kita lihat saja, apakah benar nanti mayoritas pemenang pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah 2024 adalah orang-orang yang saat ini sedang berkuasa. 

 

Editor: Emma Amelia

Durohim Amnan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email