Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Diponegoro

Konsolidasi Menuju Otoritarianisme

Hamzah Jamaludin

3 min read

Wacana untuk menunda Pemilu 2024 dan amandemen Undang-Undang Dasar tentang pembatasan masa jabatan presiden merupakan ancaman nyata terhadap demokrasi. 

Baca Editorial: Jokowi for Life?

Ada kejanggalan dari usulan penundaan pemilu dan amandemen UUD ini. Selain posisi tawar menawar partai politik di pusat, ada agenda yang sistematis dalam mengamankan kepentingan dari poros partai yang mengusung agenda tersebut. Elite-elite akan mencoba melakukan konsolidasi di tingkat pusat untuk mengubah konstitusi demi kepentingan partai.

Di dalam konsitusi sudah sangat jelaskan pasal 7 UUD Tahun 1945 mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Selain itu, pasal 22E ayat 1 UUD secara eksplisit menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap 5 tahun sekali. Dengan aturan konstitusi yang sudah jelas seperti itu, semestinya elite dan pemimpin partai politik patuh dan menjalankan amanat konsitutusi, bukan malah menawarkan sesuatu yang jelas memiliki kejanggalan dan kecacatan berpikir dalam bernegara.

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan dengan salah satu elemen kunci di dalamnya berupa sistem politik untuk memilih dan mengganti pemerintahan melalui pemilihan umum bebas dan adil. Tumbangnya rezim Orde Baru dan tumbuhnya semangat reformasi dalam bernegara secara konstitusional menjaga negara ini kembali pada wujud rezim tiran dengan sikap pada kesewenang-wenangan.

Setelah 32 tahun hidup di bawah rezim otoriter, Indonesia butuh transisi demokrasi yang begitu panjang untuk bisa lepas dari elite korup dan para oligark yang mencengkeram sistem demokrasi. Namun, semangat Reformasi dengan produknya demokrasi liberal mengalami tantangan menuju regresi demokrasi oleh serangkaian agenda yang direncanakan secara masif oleh para elite yang tanpa sadar menciptakan demokrasi yang semu.

Pendidikan Politik yang Buruk

Kehadiran partai politik sudah seharusnya menjadi media pendidikan politik bagi masyarakat. Selain menciptakan kultur pendidikan yang baik demi demokrasi yang kian mapan, partai politik seharusnya bisa menciptakan kepekaan publik untuk terus memantau setiap kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah.

Wacana penundaan pemilu dan amandemen UUD memperlihatkan watak sesungguhnya bahwa politisi di Indonesia tidak menjadi teladan bagi masyarakat. Di tengah situasi yang serba sulit hari ini, mulai dari kesulitan ekonomi, masalah pandemi, hingga maraknya isu-isu sosial yang memecah belah bangsa, parpol seharusnya hadir dalam agenda-agenda pendidikan politik dan memperjuangkan hak masyarakat agar meminimalisir potensi lebih pelik terjadi.

Ada  agenda yang lebih penting ketimbang membangun satu orkestra penundaan pemilu. Partai politik gagal menciptakan suatu kultur dan menjaga marwah demokrasi di Indonesia tetap terjaga, para elite parpol terlihat begitu tenang dan membangun konsolidasi.

Pendidikan  politik yang buruk menumbuhkan keengganan masyarakat bersimpati terhadap partai politik. Alih-alih parpol membangun citra yang baik dan menjaga marwah demokrasi, para elite parpol berkonsolidasi merapalkan mantra menuju rezim otoritarianisme.

Baca juga: Koalisi Pembajak Demokrasi

Ancaman Demokrasi

Pada awalnya, wacana penundaan pemilu hadir dari tiga partai; PKB, PAN dan Golkar yang merupakan partai koalisi pengusung pemerintah yang melakukan inisiasi penundaan pemilu. Ketiga elite parpol tersebut sepakat untuk menunda pemilu di antaranya faktor krisis ekonomi, konstelasi keamanan geopolitik yang tidak stabil, serta hasil survei yang melihat antusias kepercayaan masyarakat yang puas dengan kinerja kepemimpinan presiden Jokowi. Belakangan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), menyatakan tak setuju penundaan pemilu, tapi mendukung amandemen UUD tentang batasan periode jabatan presiden. Dengan amandemen ini, Jokowi bisa dipilih kembali sebagai presiden.

Dampak penundaan pemilu akan otomatis memperpanjang masa kepemimpinan Jokowi menjadi beberapa periode ke depan, skenario ini menjadi hidangan yang menyenangkan bagi para anggota DPR, DPD dan DPRD. Konsekuensi tersebut secara langsung para pemegang kepentingan akan terus menikmati masa jabatan masing-masing hingga beberapa tahun mendatang.

Penundaan pemilu atau amandemen UUD menjadi ancaman besar bagi demokrasi, selain menghambat partisipasi masyarakat untuk ikut andil terlibat, kedaruratan ini menjadi alarm bahaya bahwa Indonesia bisa kembali berbalik negara yang kehilangan marwah demokrasinya.

Pelemahan aturan main demokrasi yang digagas para elite menjadi ancaman negeri ini. Setidaknya dalam buku How Democracies Die ( Levitsky & Ziblatt, 2018) menyebutkan bahwa penolakan atau komitmen yang lemah atas aturan main demokrasi merupakan satu faktor yang membunuh dan melemahkan demokrasi.

Selain itu, dalam jurnal Explaining Indonesia’s Democratic Regression: Structure, Agency and Popular Opinion yang ditulis dua Ilmuwan politik terkemuka Warburton & Aspinall, 2019. Mengatakan bahwa Salah satu karakteristik yang menentukan dari gelombang kemunduran demokrasi yang terjadi di seluruh dunia selama dekade terakhir sebagian besar kerusakan demokrasi disebabkan bukan oleh para jenderal dan tentara tetapi oleh pemerintah terpilih. Argumen ini membawa kita pada kondisi demokrasi yang terjadi di Indonesia pemerintahan yang terpilih dengan cara-cara yang picik sangat dengan mudah membajakan demokrasi dan mengakali aturan main demi mempertahankan masa jabatannya. Selain itu, keterlibatan elite parpol sangat agresif melakukan penggagasan penundaan pemilu jelas-jelas merupakan imajinasi yang keliru.

Penundaan pemilu merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang memiliki semangat pembatasan kekuasaan terhadap presiden. bertahannya pemerintahan dalam kurun waktu yang lama bisa bertransformasi menjadi rezim otoriter. Oleh karena itu, meminimalisir praktik otoritarianisme adalah hal yang perlu kita tegakkan karena pemimpin otoriter hadir dari situasi pemilu yang kacau dan manipulatif.

Pada akhirnya, masyarakat sipil bisa menarik pembelajaran dari wacana penundaan pemilu. Di tengah situasi serba sulit yang dialami saat ini, ada hal yang memang selayaknya perlu menjadi prioritas utama ketimbang penundaan pemilu yang tidak berdasar. Pijakan pikiran kritis dan sanksi sosial publik atas perilaku para politikus dan pejabat publiknya sangat diperlukan untuk menyelamatkan demokrasi kita.

 

Hamzah Jamaludin
Hamzah Jamaludin Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Diponegoro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email