Perempuan dalam Undang-Undang Kesehatan

Sandra Frans

2 min read

Terdapat lima kata ‘perempuan’ dan dua kata ‘wanita’ dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang saat ini berjumlah 243 halaman (versi Februari 2023). Enam dari tujuh kata tersebut merujuk pada kesehatan reproduksi dan pemenuhan gizi, sedangkan satunya lagi dipakai ketika menyebutkan bahwa di rumah sakit jiwa butuh disediakan ruangan khusus untuk wanita. Jumlah ini tidak berbeda jauh dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam kebijakan tersebut, kata perempuan diulang enam kali untuk bagian yang sama seputar kesehatan reproduksi.

Padahal, pada kenyataannya kesehatan perempuan tidak hanya berkisar pada organ reproduksi. Penyebab kematian perempuan tertinggi di dunia maupun di Indonesia justru jatuh pada penyakit tidak menular, yaitu penyakit jantung. Penelitian menunjukkan bahwa ada banyak perempuan yang mengalami keterlambatan atau salah diagnosis penyakit jantung, sebab gejala penyakit ini pada perempuan bukanlah gejala klasik seperti yang dialami pada laki-laki.

Baca juga:

Contoh lain kondisi kesehatan yang rentan terjadi pada perempuan adalah obesitas. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia pada tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi perempuan Indonesia yang obesitas dua kali lebih banyak (29%) dibanding laki-laki (14%). Tidak hanya itu, untuk hipertensi atau tekanan darah tinggi, riset yang sama membuktikan bahwa prevalensi hipertensi lebih banyak terjadi pada perempuan (11%) dibanding pada laki-laki (6%). Kenyataan ini berbeda dengan asumsi awam bahwa laki-laki lebih mudah mengalami kenaikan tekanan darah.

Kebijakan Kesehatan yang Belum Ramah Perempuan

Pentingnya perhatian atas kesehatan perempuan belum tercermin dalam kebijakan kesehatan, termasuk dalam RUU Kesehatan ini. Walaupun dalam naskah akademik RUU Kesehatan telah menyebutkan asas nondiskriminatif, asas ini diterjemahkan sebagai pemberian perlakuan yang sama kepada perempuan dan laki-laki. Kebijakan kesehatan ini menyamakan perempuan dan laki-laki dalam hal edukasi kesehatan, pencegahan penyakit, maupun pengobatan. Padahal pada kenyataannya, ada banyak perbedaan antara perempuan dan laki-laki, baik dari unsur jenis kelaminnya hingga peran gender dalam struktur sosial.

Selama ini, perhatian pada perempuan masih sebatas pada kesehatan reproduksi. Perhatian mengenai kesehatan reproduksi perempuan memanglah penting, apalagi harus diakui bahwa untuk memenuhi hak-hak mendasar mereka saja, kebijakan kesehatan kita masih banyak kecolongan. Namun, dalam perkembangan hidup seorang perempuan, dia tidak hanya akan berurusan dengan urusan reproduksi. Jika pendekatan sebuah kebijakan digeneralisasi untuk semua lapisan individu tanpa memperhatikan elemen lain seperti gender, akan ada kelompok yang terkesampingkan.

Penuh Bias

Negara seperti Amerika Serikat mengategorikan kesehatan perempuan sebagai masalah kesehatan yang tidak hanya unik bagi perempuan, tetapi juga kondisi yang memengaruhi laki-laki dan perempuan, serta dapat memengaruhi perempuan secara berbeda. Hal ini menyusul sejak National Institutes of Health (NIH), lembaga utama di AS yang bertanggung jawab pada penelitian kedokteran, menerbitkan kebijakan inklusif untuk mengikutkan perempuan dan minoritas dalam semua penelitian klinis. Walaupun sampai beberapa tahun terakhir ini, perempuan masih tidak terwakilkan dalam banyak penelitian.

Bias dalam penelitian kedokteran sejak dulu memengaruhi persepsi tenaga medis sampai ke pembuat kebijakan saat ini. Padahal perempuan bisa memiliki gejala klinis dari suatu penyakit secara berbeda. Selain itu, respons terhadap pengobatan juga berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Baca juga:

Kurangnya keterlibatan perempuan dalam riset kedokteran mengakibatkan pengajaran ilmu kedokteran tidak banyak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap kesehatan perempuan dan laki-laki. Jangankan untuk materi klinis, dalam pengajaran ilmu kesehatan masyarakat pun, hal-hal untuk menilai kesehatan perempuan juga jarang dibahas (setidaknya ketika saya kuliah). Seingat saya, ketika belajar kedokteran belasan tahun lalu, konsep gender sebagai determinan sosial utama terhadap kesehatan hampir tidak pernah disentuh. Padahal persimpangan antara jenis kelamin, gender, sosial ekonomi, kelas, dan lainnya akan berdampak pada outcome kesehatan seseorang.

Hal ini kemudian menjadi faktor mengapa pembahasan terkait kesehatan perempuan sering kali hanya berkutat di seputar kesehatan reproduksi. Sedangkan perjalanan penyakit—yang walau bisa terjadi pada siapa saja—bisa punya efek yang berbeda pada perempuan. Hal ini yang sering kali disamaratakan dalam pendekatan program kesehatan.

Berpijak pada fakta pentingnya ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat untuk lebih sensitif terhadap isu kesehatan perempuan, serta masih rendahnya kesadaran mengenai hal itu, sudah seharusnya RUU Kesehatan mulai memberi ruang terhadap isu ini. Kesehatan perempuan haruslah menjadi substansi tersendiri dalam RUU Kesehatan yang tengah dibahas oleh pemerintah.

Definisi kesehatan perempuan haruslah jelas dalam UU Kesehatan, agar turunan regulasi selanjutnya dapat mengikuti. Kebijakan kesehatan harus bisa memastikan bahwa layanan kesehatan mulai dari promosi, pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi ramah kepada kebutuhan perempuan dan juga kelompok minoritas lain.

Mengabaikan kesehatan perempuan artinya mengabaikan kesehatan setengah penduduk Indonesia. Bagaimana mungkin kita dapat mengejar kesetaraan dan pemberdayaan untuk semua perempuan, jika hak mendasar terkait kesehatan masih belum diperhatikan secara menyeluruh?

 

Editor: Prihandini N

Sandra Frans

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email