Jangan senang dulu jika bisa membeli alat KB yang murah, bahkan gratis. Sebab ternyata kualitasnya tidak sebanding dengan KB yang mahal. Keresahan ini muncul setelah saya mengadakan riset dengan bertanya langsung kepada beberapa wanita yang sudah berpengalaman menggunakan KB spiral atau IUD. Ternyata kasta kualitas IUD dan penanganannya ditentukan oleh harga.
Masyarakat gelisah, takut, waswas, dan maju mundur untuk menentukan alat kontrasepsi. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 mengungkap tren penggunaan alat kontrasepsi atau cara KB didominasi oleh KB suntik (32%), disusul pil (14%), IUD (4%), dan Implan (3%). Menurut American Congress of Obstetric and Gynecologists (ACOG), tingkat kegagalan IUD mencegah kehamilan kurang dari 1% di tahun pertama penggunaan.
Dari dr. Ifrinda Giantari, Sp.OG., saya mendapat informasi bahwa pemasangan alat kontrasepsi IUD tidak membuat badan menggemuk, tidak berpengaruh pada flek dan jerawat di kulit wajah. Selain itu, jadwal haid lancar dan IUD tidak geser meski rajin berolahraga. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan dari para pengguna IUD yang saya jumpai.
Baca juga:
Kelebihan IUD yang tidak didapat pada alat kontrasepsi lain ini kian dilirik dan diminati banyak wanita. Namun, bagi yang tidak mampu dan tidak memiliki keberanian, mereka terpaksa memakai alat kontrasepsi lain, akibatnya potensi kebobolan jadi lebih besar dan harus menerima takdir badan menggemuk meski sudah mengontrol makan, wajah berjerawat, dan timbul flek membandel akibat hormon yang terkandung di alat kontrasepsi selain IUD.
Pemerintah dan kita semua harus sadar bahwa keadaan ekonomi ternyata berpengaruh pada nasib kependudukan di Indonesia. Jika semua lapisan masyarakat bisa mengakses KB dengan kualitas yang sama baiknya, kisah pilu menggunakan alat kontrasepsi tidak akan menjamur.
IUD Puskesmas vs IUD di dokter Spesialis
IUD gratis bisa didapatkan di Puskesmas. Di bidan, kisaran biaya IUD adalah Rp275.000-Rp500.000. Berbeda lagi di dokter Sp.OG, biaya pasang dan pelayanan bisa mencapai jutaan rupiah.
Perbedaan bukan hanya pada biaya pasangnya, melainkan juga bergantung pada jenis dan merek IUD yang dipakai. Semakin mahal, tentu semakin bagus.
Meski gratis, sebagian besar dari mereka enggan pasang IUD di puskesmas, alasannya lebih karena tersugesti dengan horornya kejudesan para petugas. Lebih baik menjauh daripada tersakiti, begitu kira-kira. Apalagi pemasangan IUD ada di bagian paling intim wanita, mereka enggan menanggung risiko. Namun, saat membaca di laman online, saya menemukan testimoni beberapa wanita yang pasang IUD di puskesmas dan mengatakan aman-aman saja.
Di bidan, teman saya pernah menjajal pemasangan IUD. Ia bilang penanganannya sakit sekali dari alat bernama cocor bebek yang digunakan untuk membuka vagina. Bahkan ada yang sampai trauma dengan IUD setelah pasang di bidan karena rasa sakitnya itu. Namun, dengan harga yang masih terjangkau, beberapa wanita menjatuhkan pilihan pasang IUD di bidan dan tak ada keluhan berarti.
Mambahas kasta tertinggi dalam pemasangan IUD, sebagian besar wanita memberi rating bintang lima untuk pelayanan di dokter Sp.OG. Hasil review beberapa dokter Sp.OG yang ada di sekitar saya, banyak pengguna IUD yang memilih dokter wanita dengan alasan rasa malu jika ditangani dokter laki-laki. Di antara beberapa dokter wanita, mengerucut menjadi klinik mana yang memberi fasilitas terbaik dan dokter paling asik diajak konsultasi. Tingkat keramahan dokter juga masuk perhitungan untuk memilih layanan IUD terbaik.
Setelah mendapatkan satu rekomendasi dokter Sp.OG terbaik di sekitar tempat tinggal, saya menjajalnya sendiri. Sesuai ekspektasi, pemasangan berjalan lancar dalam waktu sekitar lima belas menit, tidak sakit sama sekali. Membayar sekitar Rp800.000,- untuk IUD merek Nova T, administrasi, pemeriksaan dokter, dan USG transvaginal, pada tahun 2016.
Namun dengan dokter dan jenis IUD yang sama, teman saya mengalami kebobolan diduga karena terjadi perununan fungsi IUD di akhir periodenya meski selama pemakaian tidak ada keluhan. Jangka waktu pemakaian IUD selama lima tahun. Teman saya hamil pada sebulan sebelum jadwal ganti.
Berkaca dari hal itu, maka saya mengganti IUD dalam waktu empat tahun agar tidak mengalami hal sama. Pada tahun 2022, di klinik yang sama, saya melakukan lepas pasang IUD. Total biaya Rp1.300.000,-
Baca juga:
Saat tensi dan pendataan, admin memberi opsi ganti IUD dengan jenis yang sama dengan sebelumnya (dulu merek Nova T, sekarang merek Andalan) atau pilih IUD dari BKKBN. Dari BKKBN, IUD-nya gratis, hanya bayar biaya penanganan. Setelah memastikan jenis dan kualitasnya berbeda antara IUD BKKBN dan IUD Andalan, saya milih IUD Andalan saja. Sudah cocok dan enggan coba-coba yang lain; enggan mencoba yang gratisan.
Masuk ke ruang dokter langsung rebahan, dicek dengan USG transvaginal, IUD lama masih bagus di tempatnya. Anteng. Cek rahim kanan kiri, bersih tidak ada miom maupun kista. USG transvaginal ini menjadi salah satu fasilitas idaman bagi para wanita memilih IUD di dokter spesialis meski harganya tinggi. Mereka bisa tahu pasti posisi IUD dan mendapatkan ketenangan.
KB dan Isu Kelas
Secara umum, kenyamanan dalam pemakaian IUD bisa didapat dari dokter Sp.OG dengan biaya mencapai jutaan rupiah. Masyarakat prasejahtera yang tidak mampu, akhirnya hanya bisa memilih IUD dengan harga terjangkau bahkan gratis. Mereka mengesampingkan kenyamanan dan ketidakpastian letak IUD di rahim yang bisa dilihat dari USG transvaginal. Penanganan, biaya, dan pengalaman IUD di tempat lain sangat bisa berbeda, tergantung jenis IUD apa yang dipakai, klinik mana, dan oleh dokter siapa.
Jika bermimpi Indonesia mampu menekan laju pertambahan jumlah penduduk, tentu butuh kerjasama dari beberapa pihak. Tidak hanya para ibu yang memastikan KB terbaik bagi diri mereka, pemerintah dan petugas layanan kesehatan juga harus berani bertekad menyediakan alat kontrasepsi yang berkualitas di semua lapisan masyarakat. Ketimpangan jangan dibiasakan.
Editor: Prihandini N
Saya mendadak ingat dengan pengalaman puluhan tahun yang lalu saat pertama kali pasang IUD. Memilih di RS dengan dokter genekolog karena di tempat inilah pemasangan IUD dicover oleh asuransi kantor. Di puskesmas malah gak bisa hahahaha. Jadi keputusan penentuan DIMANA ini lebih pada fasilitas dari asuransi bukan kualitas IUD nya atau pelayanan dan sakit atau tidaknya.