Benarkah psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia? Jika mengikuti definisi itu, maka harusnya psikologi menyentuh semua lapisan masyarakat baik dalam hal subyek risetnya ataupun dalam pemanfaatan keilmuannya.
Namun, kenyataannya masih jauh panggang dari api. Penelitian psikologi masih berkutat pada masyarakat menengah ke atas dan korporasi besar. Sebaliknya, masyarakat menengah ke bawah, komunitas kecil, dan pelaku ekonomi mikro masih menjadi kajian minor.
Baca juga:
Layanan kesehatan psikologis sebagai luaran perkembangan ilmu psikologi adalah contoh konkret begitu mahalnya ilmu psikologi hingga sulit dijangkau masyarakat miskin. Harga konsultasi psikolog yang per jamnya dibanderol ratusan ribu rupiah tentu sangat sulit diakses oleh masyarakat menengah ke bawah. Apalagi, sesi konsultasi tidak hanya berlangsung sekali sehingga biaya yang harus dibayar jadi berlipat-lipat.
Bagi masyarakat menengah ke atas, biaya bukan masalah yang berarti. Asalkan mendapatkan penanganan dari profesional dan hasilnya signifikan bagi perbaikan kesehatan mental, konsultasi rutin dengan biaya ratusan ribu per pertemuannya tetap akan mereka tempuh. Alhasil, mayoritas pengguna jasa psikolog adalah orang-orang dari kelas menengah ke atas.
Penelitian pada psikologi klinis banyak juga yang mengambil data pasien dari klinik psikolog tertentu sesuai persetujuan dari pasien untuk keperluan riset. Jika mayoritas pengguna layanan kesehatan mental adalah orang-orang kaya, maka hasil dari penelitian tersebut juga hanya merepresentasikan permasalahan kesehatan mental orang-orang kaya saja. Dengan begitu, hasil penelitian tersebut tidak bisa digeneralisasikan ke semua orang.
Psikologi Industri
Berkembangnya psikologi industri tidak jauh dari jasa riset psikologi untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi korporasi dalam menjalankan proses produksinya. Korporasi sangat ingin karyawannya merasa nyaman dan sejahtera. Sebab, dengan adanya merekalah proses produksi sehari-hari bisa berjalan lancar. Dalam konteks inilah penelitian psikologi industri sering dijalankan.
Masalahnya, apakah karyawan yang merasa bahagia di suatu korporasi itu benar-benar terpenuhi semua hak-haknya sesuai dengan tenaga, waktu, dan pikiran yang dicurahkannya setiap hari untuk perusahaan? Ini perlu dibuktikan dengan penelitian empiris.
Selain itu, tidak bisa dimungkiri bahwa korporasi yang culas juga bisa memanfaatkan riset-riset psikologi untuk meredam amarah pekerja ketika hak-hak mereka belum terpenuhi, membuat mereka tetap semangat bekerja walaupun digaji rendah, dan menakuti pekerja sehingga mereka enggan melakukan pemogokan untuk menuntut hak-haknya.
Korporasi membutuhkan kepercayaan publik untuk mengonsumsi barang yang mereka produksi. Dalam hal ini, korporasi menggunakan riset-riset psikologi konsumen yang meliputi bagaimana mereka memuaskan konsumen dengan mendesain produk, menentukan harga, dan dalam memasarkan barang.
Pentingnya mengiklankan suatu produk membuat korporasi rela mengeluarkan banyak uang untuk membiayai riset tentang bagaimana masyarakat bisa mengingat produk mereka dengan mudah. Riset-riset di bidang psikologi kognisi sangat membantu korporasi dalam menentukan media yang catchy untuk iklan. Semakin sesuai iklan dengan riset-riset tentang memori dan sistem kognitif manusia, maka produk yang diiklankan akan semakin menancap di benak masyarakat.
Mudah bagi korporasi untuk menjual produk-produk yang sudah dipercaya oleh masyarakat. Sebab, orang-orang yang sudah terpikat pada produk tertentu biasanya daya kritisnya berkurang. Mereka memilih produk berdasarkan dorongan emosi, bukan lagi pertimbangan yang logis.
Inilah celah yang harusnya diisi oleh akademisi psikologi. Konsumen juga perlu riset psikologi untuk melindungi mereka dari produk-produk yang harganya tidak sesuai dengan kualitas yang mereka dapatkan.
Masalahnya, ketika akademisi psikologi membuat penelitian yang sesuai kepentingan korporasi, kesempatan mereka untuk mendapat keuntungan ekonomi dari perusahaan tempat ia melakukan riset akan terbuka lebar. Sebaliknya, melakukan riset yang berpihak pada konsumen tidak akan membawa manfaat langsung bagi periset. Di sinilah kebijaksanaan seorang peneliti psikologi diuji.
Bias Penelitian
Kondisi bias dalam riset-riset psikologi modern sudah sejak lama menjadi perhatian dan kegelisahan para ilmuwan. Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian psikologi didominasi konteks Western, educated, industrialized, rich, dan democratic (WEIRD). Baik desain penelitian, peneliti, maupun partisipan penelitian kebanyakan dari negara Barat, masyarakat terdidik, tinggal di kawasan industrial, mempunyai pendapatan di atas rata-rata atau setidaknya menengah, dan dari negara-negara demokratis. Dari sini, bisa dipastikan bahwa penikmat hasil-hasil penelitian psikologi adalah orang-orang yang berada di lapisan masyarakat menengah ke atas.
Kita masih punya harapan seiring dengan berkembangnya penelitian di bidang psikologi sosial. Penelitian dari lingkup psikologi sosial diharapkan bisa menjadi penyeimbang ketimpangan penelitian psikologi yang lebih banyak dimanfaatkan kaum kaya.
Namun, tantangan dalam melakukan penelitian di bidang psikologi sosial juga sangat besar. Kepraktisan dalam mencari sampel biasanya membuat peneliti tidak mau ambil pusing untuk menjamin keteracakan sampel yang ia gunakan. Peneliti biasanya tergiur mengambil langkah mudah dengan menyebar angket dalam lingkar pertemanan sesama mahasiswa. Lagi-lagi, ini akan menghasilkan bias dalam penelitian psikologi karena partisipannya lebih banyak dari kalangan mahasiswa atau terpelajar.
Keengganan mahasiswa menulis karya tulis populer juga menjadikan hasil penelitian psikologi hanya tersedia di jurnal-jurnal yang dibaca oleh sesama akademisi saja. Universitas harus memberikan bekal soft skill pada mahasiswanya untuk dapat menulis karya populer. Tujuannya agar hasil-hasil studi mereka diakses dan dinikmati oleh lebih banyak kalangan tanpa mengurangi keilmiahannya.
Baca juga:
Sudah saatnya peneliti di bidang psikologi tidak tunduk terhadap logika pasar. Kampus harus mengembangkan kurikulum yang menunjang idealisme mahasiswa psikologi untuk menjadi peneliti yang berpihak kepada masyarakat yang lemah secara ekonomi maupun politik.
Isu tentang kesehatan mental global yang didengungkan WHO akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk menggapai layanan kesehatan psikologi. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk memiliki kesehatan mental yang bagus. Saatnya paradigma akademik psikologi berpihak pada masyarakat banyak, bukan menyerah pada segelintir penguasa dan pemilik modal.
Editor: Emma Amelia
“Baik desain penelitian, peneliti, maupun partisipan penelitian kebanyakan dari negara Barat, masyarakat terdidik, tinggal di kawasan industrial, mempunyai pendapatan di atas rata-rata atau setidaknya menengah, dan dari negara-negara demokratis. Dari sini, bisa dipastikan bahwa penikmat hasil-hasil penelitian psikologi adalah orang-orang yang berada di lapisan masyarakat menengah ke atas.”
Ini mewakili pandangan saya banget mengenai psikologi, implikasinya bahkan bukan cuman ke akses saja tapi juga dari saran/solusi yang dianjurkan. Psikologi, padahal apabila dinilai secara terisolasi merupakan bidang yang penting, tetapi sudah sangat dipengaruhi oleh hyperindividualism. Ketika sharing masalah, saran yg dianjurkan seringkali terfokus pada individu. Journaling, minum obat, meditasi, dll. Sangat individualis dan idealis. Seakan ide, gagasan, impian, atau imajinasi kita semata lah yang dapat merubah keadaan. Padahal kenyataannya, keadaan material yg dibentuk secara kolektif lah yang mempengaruhi opsi-opsi tindakan yg bisa kita ambil, dan kemudian berdasarkan keadaan tersebut dibantu dengan ide, gagasan, impian, dan imajinasi kita dapat merubah keadaan. Sangat butuh untuk diperbanyak lulusan psikologi yang sadar akan masalah ini, dan sadar akan kelas.