Gadis mungil kelahiran Kuala Lumpur yang suka berpuisi. Kadang-kadang jatuh cinta dengan Bahasa Indonesia ♡

Membicarakan Pernikahan dan Disabilitas

Aysha Ariana

3 min read

Akankah pernikahan selamanya menjadi sebuah fantasi, atau dapatkah ia berakhir bahagia selamanya bagi penyandang disabilitas?

Berbicara mengenai pernikahan, nyatanya ada banyak keresahan yang muncul di kepala. Bagi penyandang disabilitas, kata ‘pernikahan’ sendiri terdengar cukup menakutkan. Ada tembok yang harus dipecahkan, pikiran tentang masa depan yang menjadi pertimbangan, sehingga tak sedikit yang memilih meredam angan-angan untuk menikah. Sama seperti teman-teman lain pada umumnya, penyandang disabilitas juga memiliki nafsu serta perasaan. Namun demikian, masyarakat sekitar sering melemparkan stigma serta menyangkal kemampuan mereka dalam menempuh bahtera rumah tangga.

Sebagai gadis remaja yang juga seorang penyandang disabilitas tunadaksa, tentu saja saya tak luput dari perihal cinta-cintaan. Banyak cerita tentang pernikahan yang pernah saya dengar, dari yang indah serta menyentuh hati, sampai serba-serbi konflik yang timbul tatkala menjalani pernikahan. Dari kisah-kisah tersebut, hanya satu yang dapat saya simpulkan: pernikahan tak hanya soal menyatukan dua hati, tetapi juga membutuhkan persiapan dari segi mental, finansial, serta prinsip-prinsip yang akan diterapkan dalam upaya menuju kebahagiaan bersama.

Ketika Memutuskan Menikah dengan Penyandang Disabilitas

Ada berbagai hal yang perlu diperhatikan ketika memutuskan untuk menikah dengan penyandang disabilitas. Sangat penting bagi kita untuk benar-benar mengetahui secara mendalam terkait kondisi pasangan. Dalam artian, kita harus memahami serta sigap dengan segala konsekuensi yang ada.

Misalnya, hal apa yang bisa mereka lakukan, seperti apa keterbatasan yang mereka alami dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kira-kira bisa atau tidak seandainya harus menjalani hidup dengan kemungkinan tidak bisa melakukan hal-hal yang dulu dilakukan sebelum menikah.

Baca juga:

Sebagai contoh, kamu punya hobi mendaki gunung dan memiliki angan-angan untuk pergi mendaki bersama pasangan, yang mana hal tersebut ternyata mustahil untuk dilakukan oleh pasanganmu. Lantas, bagaimana sebaiknya kamu menyikapi hal tersebut? Terlebih jika kamu adalah seorang pria dan pasangan penyandang disabilitasmu perempuan. Tentu setidaknya mereka membutuhkan bantuanmu untuk melakukan pekerjaan rumah. Tanyakan baik-baik pada dirimu, apakah kelak kamu akan merasa keberatan jika harus bantu-bantu?

Salah satu hal lain yang paling krusial adalah, bagaimana penerimaan keluarga terhadap pasanganmu? Mampukah mereka berlapang dada? Kalau jawabannya iya, puji syukur. Belum lagi jika disindir oleh tetangga serta orang-orang di sekitar. Sekali lagi, tanyakan baik-baik pada dirimu, bagaimana jika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan sensitif seperti:

“Memangnya, penyandang disabilitas itu bisa hamil? Apa tidak merepotkan?”

“Bisakah pasanganmu melaksanakan tanggung jawabnya sebagai suami/istri, sedangkan dirinya sendiri saja tidak utuh?”

“Kenapa harus dia? kan yang lebih baik dan cantik itu banyak?”

Apakah kamu sudah cukup kuat untuk menutup telinga dari segala omongan mereka yang negatif dan menyakitkan?

Satu hal yang juga harus dipertimbangkan adalah reproduksi dan kehamilan. Masih banyak yang menganggap bahwa penyandang disabilitas tidak memiliki hasrat seksual. Padahal, kondisi disabilitas yang dialami oleh seseorang sama sekali tidak memengaruhi kinerja hormon.

Jika kamu menikah dengan perempuan penyandang disabilitas, dan kemudian ia hamil, pertanyaannya adalah, bisa atau tidak kamu menanganinya baik secara fisik maupun mental? Nyatanya, setiap penyandang disabilitas di dunia ini akan merasa sangat-sangat bersyukur kiranya mereka dapat menemukan seseorang yang bisa selalu ada untuk mereka, terutama dalam situasi seperti ini.

Saya menulis ini sebetulnya bukan untuk menakuti-nakuti siapa pun dalam menjalin hubungan. Bukan pula ingin memberi gambaran seolah-olah menikah dengan penyandang disabilitas merupakan suatu hal yang menyeramkan. Tetapi, jika benar bahwa yang diinginkan adalah sebuah pernikahan, ini adalah kenyataan yang harus dipikirkan dalam-dalam.

Sejujurnya, sebagai perempuan penyandang disabilitas, terkadang muncul pikiran-pikiran intrusif yang sedikit sebanyak memicu ‘ketakutan’ saya terhadap pernikahan. Misalnya tatkala harus benar-benar terbuka dengan pasangan terkait apa saja yang mampu saya lakukan dan apa yang tidak dalam kehidupan sehari-hari. Saya akui, ini tak mudah dan membutuhkan keberanian. Kadang saya merasa seolah-olah sedang ‘merobek’ kulit di tubuh sendiri.

“Kemungkinan sewaktu-waktu pasangan saya menemukan seseorang yang lebih baik, dapatkah ia mempertahankan cintanya terhadap saya?”

“Bisakah keluarga pasangan menerima saya apa adanya?” Sebab, saat menikah, kita tidak hanya ‘menikahi’ pasangan, tetapi juga anggota keluarganya.

Bersikap Terbuka dalam Menjalani Hubungan

Seandainya pasangan kita seorang penyandang disabilitas, bagaimana cara mendiskusikan hal ini kepada orang tua serta keluarga? Saya percaya, kejujuran adalah kunci terpenting ketika ingin mendapatkan kepercayaan. Maka dari itu, jalan terbaiknya adalah menjelaskan secara jujur dan saksama tentang situasi tersebut. Tidak perlu tutup-menutupi.

Dalam hal ini, penerimaan serta restu orang tua sangat berperan penting. Berikan orang tuamu waktu untuk benar-benar memahami serta mencerna segala informasi yang baru saja mereka terima, sebab pernikahan merupakan ibadah yang akan kita jalani seumur hidup bersama pasangan. Andai hanya didasari perasaan cinta semata, lalu sejauh apa rasa itu akan bertahan? Siapkah kita melewati segala ujian dan terpaan badai dalam pernikahan?

Baca juga:

Meninjau dari perspektif pasangan nondisabilitas, saya cukup sadar bahwa menjalani hubungan dengan penyandang disabilitas bukanlah suatu hal yang mudah. Menyadari bahwa saya juga bukan Cinderella yang bisa dengan mudah menemukan belahan jiwa lewat sepasang sepatu kaca, apakah mungkin cinta serta ketulusan akan menjadi pemenangnya? Sudah siap untuk tetap berjuang bersama-sama?

Disabilitas Bukanlah Aib

Setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan kesempatan yang setara seperti orang nondisabilitas. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, penyandang disabilitas masih harus giat memperjuangkan dan menyuarakan hak mereka. Tak hanya dalam isu pernikahan, kenyataannya di dunia kerja dan pendidikan, penyandang disabilitas masih mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat sekitar.

Sejatinya, terlahir dengan disabilitas itu bukanlah sebuah pilihan. Semua adalah suratan Tuhan. Sering kali tangan manusia tak mampu melawan, dan sebaik-baiknya hal yang bisa dilakukan adalah menerima. Saya sangat percaya, setiap penyandang disabilitas juga sebisa mungkin enggan membebani pasangan mereka. Di balik keterbatasan, tentu saja kami ingin memberikan yang terbaik sesuai kemampuan, apalagi untuk insan tersayang. Sebagai penyandang disabilitas, kami juga memiliki hasrat untuk mencintai, serta berhak untuk dicinta.

Harapan saya, teruntuk teman-teman penyandang disabilitas di luar sana, semoga keterbatasanmu tidak akan menjadi penghalang dalam menjalin sebuah hubungan. Semoga dalam pencarian, kelak kamu akan dipertemukan oleh seseorang yang mampu menerima dirimu apa adanya, tanpa harus menjadi orang lain. Nyatanya kau sudah cukup berharga.

 

Editor: Prihandini N

Aysha Ariana
Aysha Ariana Gadis mungil kelahiran Kuala Lumpur yang suka berpuisi. Kadang-kadang jatuh cinta dengan Bahasa Indonesia ♡

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email