Sebuah cuitan di Twitter beberapa bulan lalu hangat dibicarakan karena membandingkan gaji pegawai negeri sipil yang relatif terhadap harga emas. Dalam cuitannya, pengunggah membandingkan gaji ASN golongan Ia, IIa, IIIa dan IVa dari tahun 1977 hingga 2023 dan memperhitungkan keseluruhan gaji pokok yang diterima seluruh golongan ASN tersebut dengan pembelian harga satu gram emas.
Dari tabel yang diunggah, gaji ASN golongan Ia pada tahun 1977 sebesar Rp12.000,00 bisa membeli emas sebanyak 6 gram dengan harga emas per satu gram senilai Rp2.150,00. Sementara gaji golongan Ia pada tahun 2023 sebesar Rp1.560.000,00; hanya dapat membeli satu gram emas senilai Rp1.054.000,00 per gram.
Pun demikian, dengan gaji golongan IVa pada tahun 1977 sebesar Rp42.200,00, dapat terbeli emas 20 gram. Sementara itu, gaji golongan yang sama pada tahun 2023 sebesar Rp3.044.000,00; hanya mampu membeli 3 gram emas.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2019, gaji ASN dibedakan berdasarkan golongan dan masa kerja. Gaji terkecil untuk golongan Ia dengan masa kerja 0 tahun sebesar Rp1.560.800,00 sampai gaji terbesar untuk golongan IVe dengan masa kerja 32 tahun sebesar Rp5.901.200,00. Selain gaji, ASN juga menerima berbagai tunjangan. Tunjangan tersebut merupakan hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang di antaranya meliputi tunjangan kinerja, tunjangan suami atau istri, tunjangan anak, dan tunjangan jabatan.
Baca juga:
Dari masa ke masa, gaji ASN mengalami peningkatan. Baik itu karena alasan mengimbangi inflasi ataupun alasan meningkatkan daya beli. Selain itu, kondisi APBN yang membaik juga dianggap sebagai pendorong kenaikan gaji. Namun, hampir empat tahun terakhir, gaji ASN tidak pernah naik—terakhir naik 5% pada tahun 2019.
Setelah empat tahun menunggu, gembar-gembor kenaikan gaji ASN itu tampaknya akan menjadi kenyataan. Presiden Jokowi disebut-sebut bakal mengumumkan kenaikan gaji ASN tahun 2024 pada tanggal 16 Agustus 2023. Wacana itu ditanggapi secara beragam oleh berbagai kalangan, baik yang pro maupun kontra. Komentar datang dari para ahli maupun para ASN sendiri, sampai dibahas juga oleh para politisi. Dari pembahasan periuk nasi sampai dampak yang ditimbulkan terhadap inflasi.
Pada satu sisi, kenaikan tersebut sebenarnya dianggap tidak signifikan dan tidak berdampak apa pun terhadap ASN. Jika berkaca pada kenaikan 5% pada tahun 2019, maka golongan Ia dengan masa kerja 0 tahun hanya mengalami kenaikan gaji sebesar Rp78.040,00. Kemudian, gaji tertinggi golongan IVe dengan masa kerja 31 tahun hanya naik sebesar Rp295.060,00.
Lebih jauh, wacana ini menjadi sorotan karena dianggap berpotensi dipolitisasi mengingat kenaikan tersebut terjadi menjelang Pemilu 2024. Sebagai gambaran, gaji ASN naik setiap satu tahun sekali hanya pada masa kepemimpinan SBY. Namun, jika dibandingkan dengan kepemimpinan pemerintahan presiden sebelumnya, masa pemerintahan Gus Dur merupakan masa kenaikan gaji ASN tertinggi, yaitu sebanyak 270%.
Urgensi Reformasi Birokrasi
Alih-alih hanya menaikkan gaji dan merebut simpati, energi politik sebenarnya lebih bermanfaat jika digunakan untuk mereformasi sistem penggajian ASN secara menyeluruh untuk memenuhi aspek adil dan menyejahterakan. Sistem gaji yang layak seharusnya perlu jadi sasaran pembenahan dalam reformasi birokrasi.
Sistem penggajian harus menjadi urgensi reformasi birokrasi. Gaji ASN tak boleh lebih rendah daripada gaji pegawai swasta untuk kualifikasi yang setara.
Reformasi birokrasi yang telah jalan selama dua dekade terasa belum optimal. Ketimpangan penghasilan ASN antar kementerian juga menjadi bagian isu yang terabaikan dalam reformasi birokrasi. Isu tersebut bahkan di akar rumput menggelinding menjadi narasi kekecewaan di antara ASN sampai-sampai membuahkan kelakar “sultan vs jelata”.
Padahal, rencana desain baru sistem penghasilan ASN telah lama digulirkan sejak tahun 2015. Rencana tersebut telah menjadi bagian implementasi pelaksanaan UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Rencana desain tersebut akan mengubah sistem penggajian selama ini dengan menggunakan pola single salary, yakni ASN hanya akan menerima satu jenis penghasilan yang merupakan gabungan berbagai komponen penghasilan.
Reformasi sistem penggajian yang mengedepankan konsep “pay as entitlement” menjadi “pay for performance” berdasarkan indikator kinerja pada akhirnya akan mendukung meritokrasi (sistem prestasi) dalam birokrasi sehingga birokrasi berjalan secara optimal. Harapannya, potensi politisasi kenaikan gaji ASN akan berkurang mengingat kenaikan tersebut sejalan dengan upaya peningkatan profesionalisme birokrasi.
Relasi Politik dan Birokrasi
Potensi politisasi birokrasi pada tahun politik mengingatkan pada rezim Orde Baru. Kala itu, ASN kerap dipandang sebagai ladang suara politisi. Walaupun dilarang mendukung partai politik, ASN wajib memberikan suaranya ke Golkar melalui Korpri.
Saat ini, potensi politisasi kenaikan gaji ASN saat tahun politik juga dapat memengaruhi netralitas ASN dalam pemilu. Fenomena pelanggaran netralitas ASN faktanya selalu hadir dalam setiap pemilu dan pilkada. Bawaslu bahkan mencatat terdapat 1.194 kasus dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada Pilkada 2020.
Politisasi birokrasi lekat dengan sejarah Indonesia. Setelah merdeka, politisasi birokrasi setidaknya telah terjadi pada periode Demokrasi Parlementer (1950-1959). Saat itu, jelas terlihat Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertanian dikuasai oleh basis pendukung PNI, lalu Kementerian Agama dikuasai NU atau Masyumi. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno menempatkan tokoh organisasi satelit PKI untuk memimpin sebuah kementerian walaupun keterlibatan mereka dalam kabinet ditentang oleh golongan nasionalis dan agama.
Lebih lanjut, campur aduk birokrasi negara dan birokrasi pemerintah membuat birokrasi di Indonesia tak pernah benar-benar netral. Pemerintah, yang notabene pejabat politik, memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap birokrasi, terutama dalam pola hubungan bawahan-atasan antara pemerintah dan birokrasi. Dalam kerangka sistem pemilu seperti sekarang ini, pola ini secara tidak langsung menciptakan juga pola-pola transaksional.
Baca juga:
Wacana transformasi menuju birokrasi kelas dunia selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah selama ini. Namun, sangat disayangkan, pemerintah agaknya masih enggan menyeriusi reformasi sistem penggajian ASN untuk mendorong profesionalisme sebagai hal urgen dalam wacana itu.
Kalau memang hendak mengembangkan birokrasi kelas dunia, pemerintah semestinya tidak perlu menunggu keluhan akar rumput seperti yang diungkapkan dalam cuitan tentang gaji ASN tadi. Pemerintah harus terus mengupayakan sistem penggajian yang lebih baik, bukan hanya menjadikan kenaikan gaji sebagai gula-gula di tahun politik.
Editor: Emma Amelia