Lahir dan dibesarkan di Manggarai Timur, Flores.

Pembangunan yang Menyengsarakan

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila

3 min read

Di Flores, pembangunan yang disokong negara kerap abai dalam menganalisis masalah sosial-kultural di masyarakat. Negara kurang menyorot aspek fundamental dari kemiskinan di Flores, misalnya ketimpangan kepemilikan tanah. Persoalan ini telah memicu banyak kemiskinan. Sayangnya ini tidak menjadi fokus perhatian negara sebelum pembangunan dihadirkan di Flores.

Buat saya, absennya pertimbangan masalah ekonomi-politik masyarakat di Flores, seperti ketimpangan kepemilikan tanah, serta pembelokan pembangunan yang awalnya diinisiasi untuk menyejahterakan masyarakat menjadi upaya politisasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, akan sangat merugikan masyarakat, terlebih lagi masyarakat miskin dan rentan.

Perampasan Hak Hidup

Dalam banyak bentuk, kapitalisme merampas hak hidup warga. Perampasan itu dilakukan dengan berbagai cara, seperti pengaturan hukum maupun lewat praktik wacana kesejahteraan.

Dalam konteks pengaturan hukum, negara memfasilitasi proyek pembangunan dan investasi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan sejenisnya. Melalui kerangka hukum inilah proyek pembangunan dan investasi bisa didirikan.

Sementara itu, praktik wacana kesejahteraan biasanya dimainkan oleh konsultan kebijakan maupun intelektual. Mereka membangun semacam konsepsi umum di ruang publik, bahwa melalui pembangunan dan investasi, kemiskinan di masyarakat bisa teratasi. Biasanya, hal yang cenderung dimunculkan ke publik adalah narasi pembangunan yang menyejahterakan dan bernilai ekonomi bagi kehidupan masyarakat.

Baca juga:

Namun faktanya, proyek pembangunan dan investasi tidak selamanya membawa kesejahteraan. Proyek pembangunan dan investasi kerap mengandung serta membawa kerusakan ekologi, sosial, dan kultural. Ironisnya, dampak-dampak semacam ini kerap kurang dimunculkan di ruang publik. Negara, korporasi, dan konsultan kebijakan pembangunan seolah meletakkan problem kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di masyarakat sebagai akibat dari kurangnya infrastruktur dan kemalasan individu.

Sebagaimana dikutip oleh Tania Murray Li (2021), James Ferguson menyebut hal ini sebagai ‘mesin antipolitik’, di mana para ahli bersikeras menerjemahkan berbagai persoalan politis mengenai lahan, sumber daya, lapangan kerja, maupun upah sebagai sekadar masalah teknis yang bisa diperbaiki melalui intervensi pembangunan.

Padahal kalau kita cermati, misalnya di Flores, proyek pembangunan negara kerap tidak menyelesaikan dan mengangkat kehidupan masyarakat. Sebaliknya, pembangunan yang ada justru mengandung benih kemiskinan, penderitaan, dan membuat sebagian warga kehilangan sumber produksinya.

Salah satu contoh yang bisa kita rujuk adalah gagalnya proyek pembangunan geotermal di Mataloko, Kabupaten Ngada. Proyek tersebut tidak membawa kehidupan layak bagi masyarakat. Sebaliknya, proyek pembangunan itu justru menghancurkan perkebunan, mengganggu kesehatan warga, dan menghilangkan sumber produksi masyarakat yang mayoritas petani.

Di tempat lain, tidak heran apabila warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Flores, sampai hari ini tetap menolak keras proyek pembangunan geotermal di atas tanah dan ruang hidup mereka. Penolakan ini didasari oleh pengamatan langsung mereka di Mataloko, bagaimana suatu proyek pembangunan justru merusak kehidupan masyarakat alih-alih meningkatkan taraf hidup mereka.

Semangat Masih Ada

Selain itu, motivasi dasar penolakan warga Poco Leok atas proyek pembangunan geotermal adalah semangat untuk mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka sebagai petani. Menurut warga, justru lewat pertanianlah kehidupan mereka bisa sejahtera dan anak-anak mereka bisa sekolah.

Fakta di lapangan justru mempertegas bagaimana pembangunan dan investasi yang kerap digadang-gadang sebagai ‘penyelamat’ dari kemiskinan dan ketimpangan ekonomi terkesan hanya wacana. Meskipun negara dan korporasi punya niat baik untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang miskin lewat pembangunan dan investasi, belum tentu niat baik itu ditopang sepenuhnya oleh keprihatinan mereka atas kemiskinan.

Sebagaimana dicatat oleh Pujo Semedi dalam pengantar terjemahan buku The Will To Improve karya Tania Murray Li (2021), program pemakmuran tidak pernah bebas nilai, kaum yang hendak dibangun bukan ruang kosong tanpa nilai, tanpa kehendak, tanpa gerak yang bisa diisi apa saja. Dan kelompok yang hendak membangun, entah itu pemerintah, organisasi keagamaan, dan LSM, juga tidak bebas dari kepentingan kelompoknya.

Baca juga:

Artinya, selalu ada persinggungan antara niat baik untuk memakmurkan masyarakat miskin dengan kepentingan model apa yang mau diambil dari program pembangunan. Buat saya, ini menunjukkan bagaimana sebetulnya pembangunan dan investasi itu tidak pernah bebas dari kepentingan kapital yang berorientasi pada profit.

Pada titik ini, tidak heran jika demonstrasi dan suara-suara penolakan masyarakat di Flores atas rencana proyek pembangunan, misalnya eksplorasi geotermal di Poco Leok Kabupaten Manggarai, pembangunan waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, proyek pertambangan di Lengko Lolok Kabupaten Manggarai Timur, dan beberapa tempat lain terus terjadi.

Menurut saya, penolakan tersebut lahir dari keadaan di mana pembangunan tidak dimotori demi perbaikan nasib warga. Sebaliknya, pembangunan itu mengekor dengan kepentingan kapitalisme.

Solidaritas dan Warga yang Kritis

Saya mengakui bahwa solusi ini sama sekali tidak mutlak untuk menyelesaikan masalah pembangunan di Flores. Namun, saya optimis, solidaritas dan warga yang kritis merupakan bagian dari upaya menolak berbagai tipu daya kapitalisme yang membawa kehancuran.

Solidaritas dan warga yang kritis, buat saya, menjadi pemantik dalam melawan kuasa kapitalisme yang disokong negara lewat pembangunan dan investasi di Flores.

Perlu dicatat, saya sama sekali tidak menolak berbagai pembangunan dan investasi di Flores. Saya mendukung pembangunan dan investasi apabila itu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga di Flores. Yang kita persoalkan adalah, bilamana pembangunan dan investasi itu merusak ekologi, sosial, kultural, dan ruang hidup kami orang Flores. Di titik itulah pembangunan dan investasi harus ditolak.

Pada akhirnya, kuasa kapitalisme dalam berbagai dimensinya cenderung menggeser kehidupan warga di atas tanah dan ruang hidup mereka. Kuasa kapitalisme semacam inilah yang harus kita lawan melalui solidaritas dan warga yang kritis. Oleh karena itu, perlu partisipasi berbagai elemen warga, misalnya, LSM, akademisi, mahasiswa, media/pers lokal, gereja, dan kelompok civil society yang lain.

 

Editor: Prihandini N

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila
Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila Lahir dan dibesarkan di Manggarai Timur, Flores.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email