Film Empu-Sugar on The Weaver’s Chair mengisahkan tiga tokoh perempuan dengan latar belakang yang berbeda, tetapi memiliki semangat perlawanan yang sama. Sesuai dengan judulnya, sugar yang artinya gula secara garis besar mengisahkan sosok Sutringah (Annisa Hertami), istri petani gula nira dari Banyumas. Weavings dalam bahasa Indonesia yang berarti tenun, mengisahkan seorang janda Maria (Putry Moruk) dari desa Kefa, Nusa Tenggara Timur. Dan Chair yang bermakna kursi, berkisah tentang Yati (Arianggi Tiara), perempuan difabel yang bekerja untuk usaha tenun lurik milik keluarganya di Klaten, Jawa Tengah.
Mari kita kupas perjalanan tiga tokoh perempuan dalam film ini! Yang pertama, kita akan membicarakan sosok Sutringah. Ia dan keluarganya kerap mengalami kesulitan ekonomi. Hal tersebut membuat Sutringah setiap bulan meminjam uang dari ibunya. Perdebatan Sutringah dengan ibunya menjadi pukulan telak. Sang Ibu mencela rumah tangga anaknya yang serba kekurangan, tetapi Sutringah tetap memiliki semangat. Ini adalah bentuk dari perlawanan, bahwa seorang perempuan berhak memiliki harapan besar.
“Bu, walaupun saya ini cuma hidup dari gula, tapi saya yakin suatu saat nanti hidup saya pasti akan manis seperti gula yang setiap hari kami buat. Hidup kami tidak akan selamanya susah, Bu!” Kata Sutringah.
Kehidupan Sutringah yang sulit, bertambah sulit ketika suaminya lumpuh total akibat kecelakaan saat menderes nira (bahan pembuatan gula). Utangnya menumpuk, setiap minggu rentenir datang menagihnya. Narasi laki-laki harus menjadi pemimpin rumah tangga adalah salah satu penyebab keadaan Sutringah menjadi rumit. Berumah tangga adalah pekerjaan seumur hidup, oleh sebab itu perlu kesalingan. Pemahaman bahwa pemimpin harus laki-laki itu tidak mutlak. Perempuan juga bisa menjadi pemimpin. Ketika Sutringah ikut bekerja, ia justru dianggap telah melukai martabat suaminya.
“Aku masih sanggup menghidupi kalian!” Teriak suami Sutringah. Pada bagian ini, Harvan Agustriansyah sang sutradara menggambarkan bahwa patriarki tidak hanya berdampak bagi perempuan, tetapi juga laki-laki. Sosok suami dituntut harus menjadi pemimpin dalam situasi apa pun. Maskulinitas juga sebetulnya membuat laki-laki rapuh.
Sutringah mencari pekerjaan demi keluarga, tetapi hal tersebut dibatasi oleh stigma masyarakat. Peran istri hanya di ranah domestik. Perempuan yang melakukan pekerjaan publik (dalam film ini adalah pekerjaan menderas nera) tidak diperbolehkan, karena pada umumnya menderas hanya dilakukan oleh laki-laki. Tidak ada pilihan lain, jika laki-laki tidak bisa mencari nafkah, bukan berarti semuanya harus berhenti. Perlawanan Sutringah dalam menerobos stigma masyarakat ia lakukan dengan sangat lembut. “Aku yang manjat kamu yang ngaduk gula, ya.” Ujarnya. Ia meminta suaminya untuk tidak mendengarkan kata orang lain sebab apa yang dilakukan oleh Sutringah adalah hal yang seharusnya wajar dalam rumah tangga.
Annisa Hertami memerankan tokoh Sutringah dengan sangat luwes. Namun sayangnya sosok Sutringah jadi tampak sangat heroik. Tidak ada adegan menangis atau meratapi nasib barang sebentar. Mengapa hal tersebut menjadi begitu penting? Sebab menangis atau meratap adalah hal manusiawi yang boleh dilakukan oleh siapapun.
Tokoh kedua adalah Maria. Ia bersama janda-janda rumah Biboki (rumah tenun) yang dibangun oleh mereka, dihadapkan dengan persoalan tanah sengketa dan pengadilan yang tidak memihak rakyat. Hal yang menarik dari science Maria adalah sutradara menghadirkan adegan ngopi. Adegan ngopi atau diskusi dalam film kerap menghadirkan tokoh laki-laki, namun sutradara justru menghadirkan perkumpulan janda dalam science tersebut. Mereka membahas strategi perlawanan untuk memenangkan sidang sekaligus melestarikan tenun kepada anak-anak muda. Maria dan kawan-kawanannya tidak hanya sebatas diskusi strategi, namun mereka juga melibatkan spiritual.
“Semoga Tuhan menyertai usaha kita.” Kata Maria.
Perlawanan Maria dan kawan-kawannya untuk mempertahankan rumah Biboki dan tradisi tenun menembus dunia pendidikan. Film ini begitu cerdas mengkritik kurikulum pendidikan pada waktu itu yang berpaku pada teks dan menjauh dari realita kehidupan. Karakter Maria yang janda sama sekali berbeda dengan narasi seksis janda-janda di sosial media. Janda-janda rumah Biboki mengangkat realitas kebanyakan janda yang struggle dalam kehidupannya.
Tidak sampai di situ, film yang berhasil memenangkan AICEF Prize di Amerika Serikat ini juga mengangkat Yati sebagai sosok perempuan muda yang tangguh. Tokoh perempuan difabel ini membuktikan kepada penonton bahwa perempuan berhak memiliki mimpi yang besar. Yati yang sempat mengalami penolakan ide oleh orangtuanya, memilih mencoba peruntungan lain dengan bekerja di pabrik garmen. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016, peran perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Yati melamar menjadi fashion designer, namun ia justru dijerat oleh kapitalisme. Keahliannya hanya dianggap sebelah mata dan hanya sebagai formalitas. Realita kesengsaraan buruh dihadirkan dalam film, pada science Sutringah juga demikian. Suaminya tidak mau mengemis kerja dengan pabrik sebab banyak terjadi kesenjangan. Mulai dari upah sampai hak-hak pekerja lainnya.
“Saya, sih, ingin memiliki teman banyak, pengalaman banyak, dan saya mau berkarya di sini.” Kata Yati kepada salah satu kawannya di pabrik.
Dengan harapan tersebut, Yati tidak tinggal diam. Ia berani melawan dan mempertanyakan hak-haknya sebagai buruh kepada atasan.
“Bapak anggap saya boneka di sini? Pelengkap karyawan difabel? Saya bisa, saya hanya perlu kesempatan.” Ujar yati yang disaksikan oleh seluruh karyawan pabrik garmen. Perempuan muda ini memilih keluar dari perusahaan dan kembali bekerja untuk usaha lurik keluarganya dengan menjadi fashion designer.
Kesetaraan gender berupa hak dan kesempatan bagi mereka yang termarjinalkan secara garis besar sudah diwakili oleh ketiga tokoh utama dalam film ini. Ketiganya mencari titik temu “perlawanan” sebagai jalan keluar. Kata perlawanan barangkali terkesan bawel. Tapi jika tokoh-tokoh dalam film ini tidak melawan, Sutringah dan keluarganya tidak akan makan, rumah Biboki akan digusur dan tradisi tenun akan terancam punah, Yati sebagai buruh perempuan sekaligus penyandang disabilitas selamanya tidak akan mendapat kesempatan yang adil. Ketiga tokoh tersebut sama-sama melawan stigma sosial, marjinalisasi, subordinasi, dan beban ganda terhadap perempuan.
Baca juga:
Fandom K-pop dan Suara Kebebasan Perempuan Indonesia
Merangkul Kesetaraan dan Jalan Panjang Perjuangan Perempuan
Mengabaikan Pekerja Rumah Tangga, Melanggengkan Perbudakan
Film yang disutradarai oleh Harvan Agustriansyah ini amat penting untuk dibahas lebih lanjut. Pemilihan judulnya juga sudah sangat tepat. “Empu” yang bermakna gelar kehormatan, orang yang sangat ahli, juga tuan. Jadi, perempuan bisa disebut juga tuan bagi dirinya sendiri. Kisah-kisah perempuan yang ditampilkan pada scence dengan durasi 60 menit ini mengajak perempuan untuk melawan, dalam arti tidak langsung mengundurkan diri dari peran yang melemahkan posisinya. Selain itu juga mengajak penonton melihat prinsip kesalingan. Bahwa kesetaraan gender bukan berarti menggusur laki-laki, atau menyaingi laki-laki, tapi membuang jauh penindasan. Kesetaraan gender justru menjadi kolaborasi apik antara perempuan dan laki-laki dalam memecahkan permasalahan kehidupan.
***
Editor: Ghufroni An’ars
One Reply to “Film Empu: Ketika Perempuan Menjadi Tuan Atas Dirinya Sendiri”