Presiden Joko Widodo kembali menyeru rakyat untuk menanami tanah telantar. Tanah-tanah tersebut diarahkan untuk ditanami tanaman pangan. Imbauan presiden ini sejalan dengan ancaman krisis pangan global karena kenaikan harga pangan dan pembatasan ekspor pangan dari negara-negara sentra pangan dunia. Tren proteksionis dari berbagai negara atas pangan menjadi dorongan bagi kita untuk menata ulang sistem pangan nasional.
Baca juga:
Sedikitnya, ada tiga latar dari pernyataan Presiden tersebut yang patut dicermati. Pertama, Presiden mengakui ada banyak tanah yang tidak produktif di Indonesia. Tanah-tanah yang tersedia masih dikuasai oleh segelintir pihak dan belum bisa diakses oleh rakyat. Situasi ini adalah sumber utama dari konflik dan ketimpangan.
Kedua, reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria yang menjadi program prioritas pemerintah belum sungguh-sungguh dijalankan. Tanah yang telah diredistribusikan selama ini ternyata belum berdampak signifikan dalam peningkatan produksi pangan. Sebab, arus besar dari kebijakan hanya sekadar sertifikasi tanah semata, bukan merombak struktur ketidakadilan agraria.
Ketiga, secara tidak langsung, program peningkatan produksi pangan pemerintah belum memuaskan Presiden. Gerakan padi, jagung, kedelai (pajale) cenderung tidak berhasil. Food estate sebagai lumbung pangan nasional juga belum berkontribusi nyata. Justru, muncul masalah lanjutan dari segi keterlibatan petani, aspek lingkungan, ditariknya alat dan mesin pertanian, dan tidak tergarapnya tanah-tanah dalam kawasan food estate. Di samping itu, kinerja Badan Pangan Nasional (Bapanas) belum sesuai dengan ekspektasi dan mandat UU Pangan. Bapanas masih sekadar memastikan ketersediaan pangan cukup, tetapi belum bekerja untuk tujuan yang lebih besar, yakni memastikan produksi pangan berasal dari keluarga petani dalam negeri dan akses pangan yang terjangkau bagi konsumen.
Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria
Modal utama Presiden untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri ialah ketersediaan tanah bagi petani. Sejak tahun 2014, pemerintah menargetkan reforma agraria melalui redistribusi tanah seluas 9 juta hektare kepada petani dan rakyat tak bertanah (tunakisma). Presiden kemudian mengesahkan Peraturan Presiden 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Peraturan Presiden 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Kedua peraturan itu ditopang dengan berbagai kebijakan lanjutan berupa pencabutan, penundaan, dan evaluasi perizinan baik di tanah kehutanan maupun non hutan. Salah satu contohnya adalah moratorium sawit. Semangat dari peraturan teknis itu dimaksudkan untuk mengurai ketimpangan agraria yang terus berlangsung.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI (ATR/BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (LHK) mengakui pelaksanaan reforma agraria belum mencapai target. Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah masih terjadi.
Dalam pertemuan dengan organisasi petani dan gerakan reforma agraria akhir tahun 2020 lalu, Presiden memfokuskan sumber tanah objek reforma agraria (TORA) berasal dari hasil penyelesaian konflik agraria. Dalam hal ini, Presiden memerintahkan untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria, baik konflik yang melibatkan swasta maupun negara. Misalnya, konflik dengan PT Perkebunan Nusantara, Perum Perhutani, dan perusahaan atau instansi negara lainnya.
Menindaklanjuti pertemuan itu, dibentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria pada tahun 2021. Tim ini menjadi wadah kerja bersama antara pemerintah dan gerakan rakyat untuk menguatkan implementasi reforma agraria. Mereka menetapkan paling sedikit 137 lokasi prioritas reforma agraria yang berada di kawasan hutan dan non hutan.
Dalam menunaikan tugasnya, tim dibantu oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang berada di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, kendala administrasi dan birokrasi kembali jadi batu sandungan sehingga kerja penyelesaian konflik agraria lagi-lagi berjalan lamban. Masalah ini menjadi salah satu tugas khusus Presiden kepada Menteri ATR/BPN dan Wakil Menteri ATR/BPN baru yang dilantik tanggal 15 Juni 2022 lalu.
Kendati demikian, khusus penyelesaian konflik di kawasan hutan, Menteri LHK telah menindaklanjutinya melalui Surat Keputusan Nomor 698/MENLHK/SETJEN/PLA.2/9/2021 tentang Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH). Peta ini memuat beberapa lokasi prioritas reforma agraria dan menjadi jalan pembuka untuk memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani dan rakyat yang dirundung konflik agraria di kehutanan. Pada awal April 2022, Menteri LHK juga telah mengesahkan Surat Keputusan Nomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
KHDPK merupakan area yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bidang Kehutanan pada sebagian hutan negara yang berada dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. KHDPK menjadi peluang baru reforma agraria di hutan Jawa setelah sebelumnya menemui jalan buntu dan diterpa berbagai kerumitan. Walaupun ada kemajuan, Peta Indikatif PPTPKH dan KHDPK bukanlah tujuan akhir, melainkan baru separuh jalan dari reforma agraria itu sendiri.
Syarat Kedaulatan Pangan
Tanah telantar dan tanah konflik agraria sangat potensial untuk meningkatkan produksi pangan. Sebagian besar tanah-tanah konflik agraria sebetulnya telah ditanami oleh petani dan menjadi sandaran perekonomian rakyat. Hal ini mesti didukung dengan pemberian kepastian hak atas tanah kepada petani melalui reforma agraria. Tak bisa tidak, reforma agraria adalah syarat utama untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan menempatkan petani, nelayan, masyarakat adat, dan produsen pangan skala kecil lainnya sebagai subjek, alih-alih objek dari kebijakan. Hal ini berbeda dengan food estate yang mengesampingkan peran keluarga petani dalam produksi pangan. Dengan begitu, aspirasi dan kebutuhan dari para subjek—selaku produsen pangan yang utama di Indonesia—akan lebih diprioritaskan, bukan lagi produksi yang didasarkan pada tuntutan pasar. Pendapat ini pun tercantum dalam visi dan misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 dan tahun 2020-2024.
Baca juga:
Sekarang adalah momentum yang tepat untuk menyegerakan reforma agraria guna mewujudkan kedaulatan pangan. Di tingkat internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Perdesaan (UNDROP) pada tahun 2018 lalu. Kemudian, FAO, organisasi pangan dunia, juga telah menetapkan Dekade Pertanian Keluarga pada tahun 2019-2028. Kita pun punya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mengatur kewajiban dari pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan jaminan luasan lahan pertanian seluas dua hektar kepada petani yang sudah bertani selama lima tahun berturut-turut.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Bukannya Kami Enggan Menggarap Tanah Telantar, tapi…”