Kebijakan jam masuk sekolah pukul 05.30 pagi yang diinisiasi Gubernur Viktor Laiskodat menandakan bahwa ia tidak memahami masalah struktural dalam pendidikan di NTT. Kebijakan ini tidak membentuk kedisiplinan. Ini hanyalah cara Viktor cuci tangan dalam menangani sistem pendidikan di NTT yang penuh ketimpangan.
Kebijakan Tanpa Data
Viktor beralasan kebijakan maka mampu meningkatkan pengetahuan peserta didik. Menurutnya, kebijakan ini juga akan memberikan prospek bagi siswa di NTT untuk masuk ke universitas negeri seperti UI dan UGM, serta kampus top dunia seperti Universitas Harvard.
Kebijakan ini menuai banyak protes dari masyarakat di NTT dan bahkan menjadi isu nasional. Muncul berbagai argumen penolakan, orang-orang mempersoalkan kesehatan siswa yang bisa menurun sehingga berdampak terhadap proses belajar.
Selain itu, banyak pihak juga menilai kebijakan tersebut tidak berangkat dari data dan hasil riset. Padahal, secara teoritis, kebijakan publik harus berangkat dari data dan hasil riset sebagai bahan rujukan dan perbandingan. Hal ini akan memberikan pemahaman bagi perumus kebijakan dalam menimbang segala risiko yang muncul.
Baca juga:
Sayangnya, kebijakan jam masuk sekolah pukul 05.30 tersebut justru ditetapkan melalui kebijakan yang terkesan memaksa.
Dalam menyikapi protes dan kritik masyarakat, Viktor justru terkesan otoriter. Ini bisa dibuktikan dari respons Viktor saat diwawancara oleh awak media. Ia tidak memberikan ‘kepastian’ terkait kebijakan tersebut.
Kepastian di sini maksudnya, apakah kebijakan tersebut hanya untuk meningkatkan pengetahuan siswa sehingga mereka bisa masuk universitas top dalam dan luar negeri semata? Jika ini dasarnya, mengapa tidak memberdayakan, memajukan, dan meningkatkan kualitas kampus dan sekolah di NTT?
Problem Struktural
Di Facebook dan WhatsApp, saya melihat ada begitu banyak argumen penolakan kebijakan ini. Argumennya bermacam-macam. Tetapi, sejauh yang saya baca, belum ada yang menyorot masalah pendidikan dari perspektif struktural. Oleh karena itu, tulisan ini mengambil rute yang berbeda dalam menganalisis masalah pendidikan di NTT dan memberikan alasan mengapa kebijakan Gubernur Viktor harus ditolak.
Sekurang-kurangnya ada dua argumen saya dalam tulisan ini.
Pertama, masalah pendidikan di NTT, menurut saya, tidak pernah lahir dari faktor-faktor yang diyakini Viktor, yaitu kurangnya kedisiplinan siswa. Masalah utamanya justru terletak pada ketiadaan modal yang dimiliki dan dipergunakan masyarakat NTT untuk menyekolahkan anak-anaknya ke kampus dan sekolah-sekolah yang bermutu. Bahkan, ketiadaan modal ini turut memengaruhi kualitas literasi siswa di NTT.
Perlu dicatat, masalah ketiadaan modal tidak pernah lahir secara alami. Ia dibentuk dan lahir dari proses politik yang timpang, yang hadir dalam bentuk pencaplokan sumber daya alam (tanah dan beserta ruang hidupnya). Pencaplokan atau pengusiran masyarakat dari alat produksi (tanah) menciptakan situasi sehingga mereka tidak mampu mengakses modal bagi proses penghidupan mereka dan anak-anak mereka.
Baca juga:
Misalnya, konflik terkait lahan di Besipae antara masyarakat adat Pubabu dengan Pemprov NTT yang masih terjadi sampai hari ini. Pemprov NTT membongkar rumah-rumah masyarakat dan mengusir mereka dari tanah tempat mereka memperoleh sumber penghidupan. Pengusiran dan pencaplokan tanah masyarakat tentu akan berdampak terhadap kemampuan mereka memperoleh modal untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Artinya, bila ditarik dari perspektif ini, menurut saya tidak mungkin masyarakat di Besipae bisa memperoleh modal untuk menyekolahkan anak-anak mereka jika tanah sebagai sumber penghidupan saja diambil alih oleh Pemprov NTT.
Di titik ini, menurut saya, mempersoalkan pendidikan di NTT semata karena rendahnya kedisiplinan siswa adalah bentuk cuci tangan Gubernur Viktor terkait masalah pendidikan di NTT yang sebenarnya berkelindan dengan problem struktural, yakni perampasan tanah.
Kedua, ketiadaan modal akibat perampasan tanah masyarakat akan melahirkan dan memicu ketimpangan pendidikan di NTT dan Indonesia. Ketimpangan ini bersumber dari ketiadaan akses bagi masyarakat miskin untuk mengakses sekolah dan ruang pendidikan yang berkualitas, layak, dan adil.
Tidak heran apabila ketimpangan kualitas sekolah-sekolah di NTT kelihatan sekali. Tidak semua masyarakat mampu mengakses sekolah yang bermutu, lagi-lagi karena terkendala modal.
Baca juga:
Ketimpangan inilah yang memicu lahirnya kemiskinan di NTT. Jika kita melihat data tingkat kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, Provinsi NTT berada di peringkat 3 provinsi termiskin di Indonesia dengan presentase 20,05 persen.
Jika dianalisis, data ini justru menunjukkan banyak hal yang selama ini luput dari analisis Viktor, salah satunya adanya perampasan tanah masyarakat. Perampasan tanah masyarakat merupakan bentuk pemiskinan sistemik, yang pada gilirannya menciptakan kemiskinan.
Oleh karena itu, kebijakan jam masuk sekolah pukul 05.30 pagi yang diinisiasi oleh Gubernur NTT, menurut saya merupakan bentuk lain dari ketidakmampuan menganalisis sumber masalah pendidikan di sana.
Viktor Laiskodat tidak mengenali masalah pendidikan tersebut sebagai problem struktural. Yang patut disayangkan juga, ia justru mengajukan analisis dan kebijakan yang tidak hanya menambah masalah, tetapi juga memicu beban bagi pendidikan di NTT di kemudian hari.
Bijak Membuat Keputusan
Gubernur NTT harus bijak dalam mengambil keputusan, apalagi yang menyangkut kehidupan publik. Bijak mengambil keputusan berarti bertindak atas data dan hasil riset sebelum mengambil keputusan, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Di samping itu, bijak juga berarti mau mendengarkan protes dan kritik masyarakat, sembari membuka keran dialog sebagai upaya bersama mencari solusi.
Jika kebijakan hanya didasarkan pada pikiran pemimpin semata, kebijakan itu tidak akan didukung oleh masyarakat. Bahkan kebijakan itu akan ditolak oleh masyarakat. Oleh karena itu, penting membaca data, hasil riset, dan mengenali sumber masalah, sehingga kebijakan yang dirumuskan bisa menjawab masalah.
Editor: Prihandini N