Seusai mengikuti kelas Sejarah Pemikiran Islam bersama dosen saya, Mujamil Qomar, yang membahas neo-sufisme (tasawuf baru), tersisa pertanyaan yang cukup menggelitik benak saya, seberapa besar pengaruh corak baru tasawuf yang berkembang pesat saat ini terhadap nilai kehidupan umat Islam?
Mujamil Qomar menjelaskan bahwa neo-sufisme nyatanya menjadi jalan alternatif penyembuhan kegersangan spiritual manusia modern. Namun, banyak masyarakat menganggap ajaran spiritual dalam tasawuf sangat susah dijalankan. Mungkin memang segelintir orang saja yang bisa mencapainya.
Tasawuf sendiri merupakan ajaran spiritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt dan membersihkan diri dari dosa. Melihat sejarahnya, ajaran tasawuf telah ada sejak abad kedua dan ketiga hijriah. Para ahli tasawuf (sufi) mempraktikkan tasawuf dalam rangka semata menyucikan diri dari dunia sehingga dapat menemukan jalan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Baca juga:
Adapun ajaran tasawuf dapat dicapai melalui maqamat atau tingkatan. Meskipun ada banyak versi yang digagas oleh para ulama, beberapa ulama seperti Imam al-Ghazali, Abu Nasr al-Sarraj, dan Muhammad al-Kalabazy menyepakati bahwa tingkatan tawasuf antara lain taubat, zuhud, wara’, faqr, sabar, tawakkal, dan ridha.
Sebelum beranjak lebih jauh, kiranya kita perlu memahami esensi makna dari maqamat versi beberapa ulama di atas.
Pertama, taubat. Taubat menjadi maqom pertama yang harus dilewati, yakni dengan sikap sadar dan menyesali dosa serta berniat memperbaiki perbuatan buruk menjadi lebih baik. Kedua, zuhud. Zuhud mengajarkan untuk menjauhkan diri serta meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Menurut para sufi, dunia merupakan sumber maksiat dan penyebab terjadinya dosa. Ketiga, wara’. Wara’ dimaknai sufi sebagai kehati-hatian yang tinggi menyangkut makanan, pakaian, dan persoalan.
Keempat, faqr. Menurut pandangan sufi, Faqr berarti tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa selain Allah Swt. Kelima, sabar. Sabar adalah menjauhi segala larangan Allah dan menerima segala cobaan yang dilimpahkan kepada diri kita. Keenam, tawakkal. Tawakkal adalah menyerahkan diri kepada keputusan Allah Swt setelah usaha telah dilakukan. Ketujuh, ridha. Ridha berarti tidak berusaha dan tidak menentang qadha dan qadar Tuhan. Menghilangkan perasaan benci sehingga yang ada di dalam hanya perasaan senang atas apa pun yang diterima.
Sebetulnya masih banyak tingkatan ajaran tasawuf yang dapat dicapai oleh seorang salik (seseorang yang menempuh jalan sufisme). Meski begitu, dari beberapa tingkatan yang sudah disebutkan di atas, manusia modern sulit mempraktikkan ajaran tasawuf. Alih-alih ingin melakoni spiritual dengan baik, mereka merasa ragu karena ajaran tasawuf tersebut seakan mengharuskan mereka menghilangkan kecintaan terhadap dunia untuk dapat meraih kecintaannya kepada Tuhan.
Hal ini yang menyebabkan ajaran tasawuf seakan tidak selaras dengan kehidupan manusia modern. Maka dari itu, neo-sufisme kemudian hadir sebagai alternatif tasawuf baru menanggapi keyakinan tasawuf yang jalannya dianggap mustahil ditempuh. Lantas, apa yang ditawarkan oleh neo-sufisme bagi kesadaran beragama manusia modern?
Saat sesi penyampaian materi tasawuf hampir berakhir, dosen saya mengatakan bahwa saat ini manusia modern banyak yang melirik ajaran tasawuf baru melalui tabligh akbar, yakni acara pertemuan keagamaan berskala besar seperti pembacaan dzikir, khutbah, salawatan, dan dakwah yang digelar untuk banyak orang.
Tabligh akbar ini bertujuan mengajak masyarakat meningkatkan kualitas spiritual yang dapat dilakukan dengan pengamalan luwes, seperti tidak harus meninggalkan hal-hal bersifat duniawi dan mengasingkan diri. Fenomena ini dapat kita jumpai biasanya dari majelis yang digagas oleh para kiai seperti Majelis Dzikir Ad-Dzikra yang pernah dipegang oleh almarhum Ustaz Arifin Ilham, Managemen Qolbu K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), serta dzikir dan pengobatan alternatif Ustadz Haryono yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia.
Kegiatan spiritual ini dipilih oleh masyarakat dalam rangka mencari kedamaian jiwa dan menyingkirkan sifat negatif yang ditimbulkan oleh hiruk pikuk modernisasi. Sebab tak bisa dipungkiri, era modern memang menawarkan kemudahan, tetapi ia tidak menjadi alternatif orang-orang untuk menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Terlalu banyak dampak negatif daripada dampak positif yang didapat, seperti terpuruknya moralitas, keserakahan, kegersangan batin, hingga perasaan jauh dari Tuhan. Berbagai macam kemajuan yang ditawarkan modernisme justru mengakibatkan malapetaka besar kemanusiaan.
Oleh karena itu, aktualisasi neo-sufisme pada praktiknya justru menyederhanakan ragam metode dan ekspresi spiritual yang tetap sesuai dengan konsep syariah. Penempuhan neo-sufisme dipraktikkan lebih luwes dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Mereka yang melakoni tasawuf tidak harus melepaskan diri dari modernisasi. Mereka dapat memiliki apa yang mereka ingin dengan tetap menjalankan konsep syariah, tidak berlebihan, dan dapat menyisihkan dari apa yang mereka punya untuk orang lain. Mempraktikkan tasawuf dengan beribadah tidak harus melalui jalan menyepi tanpa mempedulikan diri sendiri dan persoalan realitas di sekitar.
Pengaplikasian tasawuf dalam kehidupan masyarakat dapat mengamalkan maqamat. Neo-sufisme telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Melalui pengamalan yang lebih toleran dan humanis, tasawuf tidak lagi dianggap sebagai ajaran agama terbelakang. Misalnya saja, ajaran zuhud dan wara’ sudah terimplikasi dalam kehidupan masyarakat muslim lewat sikap tidak berlebihan, berperilaku hemat, dan menghindarkan diri dari sifat mubazir sehingga dapat saling tolong-menolong, dan saling bersilaturahmi. Perilaku tersebut merupakan implementasi dari pengajaran tasawuf.
Baca juga:
Ulama nusantara, Buya Hamka, juga memberikan perspektif baru terkait tasawuf modern. Menurutnya kebahagiaan dapat dicapai melalui agama dengan lebih mudah. Pada praktiknya, Buya Hamka tidak mengimplementasikan ajaran tasawuf seperti adanya peristiwa mistik para sufi terdahulu. Beribadah secara luwes dalam rangka meluhurkan nilai rohaniah dan nilai kemanusiaan dengan baik, menurutnya dapat memurnikan akidah dan akhlak mulia untuk lepas dari sikap negatif.
Sampai sini kita dapat menarik inti dari definisi pemahaman tasawuf lebih elegan, yakni tasawuf mengajarkan kita untuk melakukan hubungan yang baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan juga alam. Beberapa hubungan ini, secara umum memang tidak hanya terpaku pada kesalehan individu, masyarakat juga dapat memacu kesalehan sosial dalam pengamalan tasawuf. Misalnya toleransi antarumat beragama, menggandeng keberagaman, serta aksi tolong menolong ataupun kerja sosial untuk kemanusiaan.
Dengan demikian, secara naluri manusia pasti akan merasakan kerinduan nilai-nilai ilahiah yang dapat menuntunnya kepada fitrah kebaikan. Di luar kendali diri pula, manusia pasti mengeluh dan meminta pertolongan kepada Tuhan. Kendati demikian, tasawuf akan terus mengalami perkembangan dalam pengamalannya dan akan tetap relevan dalam menghadapi modernitas. Termasuk di wilayah perkotaan, akan banyak bermunculan komunitas yang mengatasnamakan agama atau aliran spiritual bertebaran guna menjadi solusi memberikan siraman, menyembuhkan kegersangan batin manusia.
Editor: Prihandini N