Sebagai pekerja lepas, saya rutin mencari lowongan pekerjaan meskipun kontrak kerja saya masih berjalan untuk menghindari kekosongan pekerjaan setelah kontrak saya selesai. Selama masa pencarian, banyak sekali keterbatasan yang membuat saya tidak dapat memenuhi persyaratan. Misal, pengalaman kerja spesifik di bidang tertentu dan kriteria “good looking” yang tidak jelas apa tolok ukurnya. Namun, satu hal yang tidak bisa diakali, yakni batas usia.
Hampir semua persyaratan lowongan pekerjaan mencantumkan batas usia pendaftar. Paling tua ada di angka 30 tahun. Bahkan, beberapa lowongan yang saya temukan mensyaratkan usia maksimal 27 tahun. Entah apa alasannya pekerjaan ini dibatasi oleh usia. Padahal, lowongan yang saya cari pun pekerjaan di bidang industri digital kreatif, bukan pekerjaan “fisik” yang membutuhkan “tenaga anak muda”.
Baca juga:
Kemudian, beberapa hari yang lalu, saya menonton film A Man Called Otto (2022). Sepanjang menonton, muncul pertanyaan dalam benak saya, bagaimana isu ageisme yang disinggung dalam film ini menjadi persoalan di Indonesia?
Otto Melawan Ageisme
Film A Man Called Otto bercerita tentang seorang kakek sebatang kara yang hidup di satu kompleks perumahan. Ia digambarkan sebagai sosok yang menyebalkan, tidak bersahabat, dan banyak mengeluh. Setelah pensiun, ia tidak memiliki banyak kegiatan. Kesehariannya ia habiskan dengan memarahi anjing tetangga yang kencing di halaman rumahnya, mengusir truk pos yang parkir sembarangan, dan misuh-misuh sembari mengunci gerbang komplek.
Walaupun menyebalkan, ia sering membantu orang-orang di sekitar. Keahliannya dalam bidang teknisi ia manfaatkan untuk membantu membetulkan sepeda dan elektronik rumah. Tidak hanya itu, ia pun membantu temannya yang sakit stroke untuk dapat mempertahankan rumahnya dan tidak dipindah ke panti jompo.
Meskipun begitu, ia jugalah orang yang sangat menutup diri, enggan merepotkan orang lain. Ia mengurus segalanya sendiri. Pada akhirnya, sejak kedatangan tetangga baru, sikapnya yang dingin perlahan berubah seiring ia membuka hati untuk memulai kehidupan yang baru di usia senja.
Film ini menggambarkan secara apik perlawanan atas diskriminasi usia atau ageisme, termasuk stereotip terhadap individu atau kelompok berdasarkan umur mereka. Otto digambarkan sebagai orang usia lanjut yang independen. Mandiri secara ekonomi, tidak merepotkan, ataupun menyusahkan orang lain. Cerita ageisme terhadap orang usia lanjut ditampilkan dalam beberapa adegan seperti kebijakan dinas sosial untuk mengambil rumah salah seorang karakter dalam film dan hendak memasukkannya ke panti jompo. Diskriminasi ini muncul dari stigma bahwa orang tua sudah tidak mampu mengurus diri sendiri.
Otto adalah representasi yang proporsional sebagai karakter orang tua yang sinis terhadap orang-orang di sekitarnya sekaligus orang yang paling peduli dengan lingkungan. Tokoh Otto menggugurkan gambaran orang tua yang merepotkan dan tidak kompeten.
Orang Tua di Media Indonesia
Kita terbiasa disajikan penggambaran orang tua yang tidak berdaya dan lemah. Dalam film, misalnya, karakter kakek-nenek sering digambarkan sebagai orang sepuh yang yang disegani, diayomi, renta, dan tak berdaya.
Pada film Pengabdi Setan (2017), ada karakter nenek yang tinggal bersama dengan keluarga dua anak. Nenek yang dalam keadaan sakit berada di kursi roda dan diasuh oleh anggota keluarga yang lain. Dalam film, kehadirannya pun tidak banyak berkontribusi pada pengembangan cerita.
Tidak hanya di layar lebar, tayangan FTV juga sering merepresentasikan karakter orang tua dengan stigma negatif. Pada seri FTV Pintu Berkah yang tayang di Indosiar, episode berjudul Sepenggal Duka Kakek Penjaga Makam yang Berjuang Untuk Cucunya yang Malang dan Nenek Penjual Bakiak yang Mendapat Berkah Setelah Menolong Bocah Hilang Ingatan menggambarkan orang usia lanjut yang lekat dengan kehidupan yang sakit-sakitan, tidak memiliki keterampilan untuk bertahan hidup, dan—tentu saja—miskin.
Dalam konteks antropologi media, representasi bernilai penting dalam suatu produk media. Menurut Stuart Hall, seorang sosiolog, representasi tidak hanya menyajikan, membayangkan, dan melukiskan sebuah konsep, tapi juga mengarahkan cara audiens memaknai objek atau peristiwa yang digambarkan.
Stuart Hall membagi tiga pendekatan representasi makna, yakni pendekatan reflektif, intensional, dan konstruksionis. Pendekatan reflektif adalah cara media merepresentasikan suatu keadaan sedekat mungkin dengan kenyataan. Kemudian, pendekatan intensional dilakukan melalui bahasa atas kehendak penulis atau creator. Sementara itu, pendekatan konstruksionis digunakan untuk membangun penggambaran dengan bahasa yang penafsirannya diberikan kepada khalayak.
Berdasarkan teori representasi Stuart Hall, bagaimana media menggambarkan orang usia lanjut dalam produk-produk media yang disebutkan di atas menunjukkan pendekatan intensional. Film dan FTV adalah representasi yang dibuat secara sengaja oleh otoritas pencipta atau creator. Namun, perbedaannya ada pada bagaimana creator ingin memaknai orang tua. Apakah dengan stigma dan diskriminasi usia atau melepaskannya dari pandangan tersebut dan menjadikannya karakter yang berbeda?
Representasi media atas orang tua dan bagaimana media terus-menerus melanggengkan ageisme dapat membentuk pemaknaan audiens dalam kehidupan sehari-hari. Implementasi pemaknaannya pun dapat beragam. Salah satunya adalah ketidakpercayaan masyarakat atas kompetensi orang-orang yang sudah berumur. Orang lanjut usia akan selalu dianggap merepotkan dan bergantung pada lingkungan sekitarnya.
Baca juga:
Dari film A Man Called Otto, kita belajar bahwa menjadi tua bukan berarti menjadi orang yang bergantung dengan lingkungan sekitar. Menjadi tua tidak harus merepotkan keluarga dan tetangga. Menjadi tua juga tidak secara otomatis kehilangan keahlian dan kompetensi kita. Otto mengajarkan bahwa menjadi tua berarti menjadi semakin peduli dengan lingkungan sekitar, membantu sesama semampu kita, serta menjadi manusia yang mandiri dan berdaya.
Media harus menghentikan representasi orang tua dengan pendekatan ageisme. Sebab, ini tidak hanya menyudutkan kelompok usia tertentu, tapi juga menciptakan pemaknaan publik yang berbuah pada mewajarnya kebijakan diskriminatif. Lowongan pekerjaan yang mengesampingkan orang-orang usia lanjut hanyalah satu contoh dampak stereotip negatif terhadap orang-orang usia lanjut.
Editor: Emma Amelia