Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Bertradisi dalam Islam

Salman Akif Faylasuf

3 min read

Budaya maupun tradisi lokal masyarakat Indonesia tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktik-praktik keagamaan masyarakat. Islam, sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, memiliki hubungan erat dengan kebudayaan atau tradisi-tradisi lokal yang ada di Nusantara.

Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan yang tak pernah surut. Hubungan keduanya selalu rekat, salah satunya karena pengikut Islam mengimani agamanya dalam kerangka shalihun li kulli zaman wa makan, yakni selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Kerangka ini memungkinkan Islam untuk bersentuhan, bahkan turut andil dalam dinamika keanekaragaman konteks budaya setempat.

Baca juga:

Islam tidak datang ke tempat maupun masa yang hampa budaya. Hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan al-namudzat al-tawashuli. Ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga gambaran pertautan yang terjadi antara Islam dengan muatan-muatan lokal di nusantara.

Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling memengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi turun-temurun. Mau tidak mau, dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu mempertimbangkan segi-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan, sebagian ayat Al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat.

Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbab al-nuzul. Asbab al-nuzul adalah penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Asbab al-nuzul juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks Al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu.

Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan budaya dan tradisi yang melekat erat pada masyarakat Indonesia. Sama seperti Islam di kawasan Arab, arabisme dan islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab.

Nabi Muhammad SAW, tentu saja dengan bimbingan Allah, wama yanthiqu anil hawa, in hua illa wahyun yuha, cakap (fathanah) memahami sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Beliau lantas menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh, ketika Nabi hijrah ke Madinah, masyarakat di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan “thala’al-badru alaina” dan seterusnya.

Tradisi Keberagamaan di Indonesia

Terminologi keberagamaan perlu dibedakan dengan agama atau keagamaan. Di satu sisi, keagamaan berasal dari akar kata agama yang merujuk pada seperangkat wahyu ketuhanan agar menjadi petunjuk kehidupan orang yang beriman untuk mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Terma keberagamaan jugalah merupakan bentuk kata benda dari akar kata beragama. Kata kerja beragama menunjuk pada produk kegiatan segala aktivitas melaksanakan substansi ajaran agama oleh orang-orang yang beriman sesuai dengan materi ajaran tersebut.

Dengan demikian, pengertian keberagamaan selalu berkaitan dengan kekhususan kelompok pemeluk agama. Dalam posisi ini, himpunan orang beragama atau para pemeluk agama tersebut merupakan unit sosial yang memiliki kesadaran diri bertumpu pada jati dirinya sendiri. Maka, pada fenomena ini, lahirlah komunitas keberagamaan yang memiliki karakterisitk atau ciri tertentu.

Agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah diyakini sebagai kebenaran tunggal oleh pemeluknya. Akan tetapi, pada saat ajaran yang bersifat transenden ini mulai bersentuhan dengan kehidupan manusia beserta aspek sosio-kultural yang melingkupinya, terjadilah berbagai penafsiran yang cenderung berbeda dan berubah-ubah.

Kehidupan sosial dan perbedaan penafsiran penganut Islam terus berubah. Dari perbedaan penafsiran itu lahir pemikiran-pemikiran dalam bidang fiqh dan teologi yang berbeda. Selain itu, realitas ini pula yang pada akhirnya melahirkan tradisi keberagamaan kaum muslimin yang masing-masing menampakkan ciri khas dari kehidupannya.

Meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, tetapi setelah terlempar dalam konteks sosio kultural-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu, agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda. Namun, sejatinya, perbedaan itu bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri.

Perbedaan tersebut terletak pada bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial antara Islam sebagai “model of reality” dan Islam sebagai “model for reality”. Hasilnya, muncul dua bentuk komunitas beragama: folk variant dan scholarly veriant. Dalam konteks Indonesia, dua bentuk komunitas ini dapat pula disebut sebagai kelompok tradisionalis dan kelompok modernis.

Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktikkan beberapa takhayul, bid’ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme. Kelompok tradisionalis ini sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal. Sementara itu, kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktikkan hal-hal di atas. Akan tetapi, kategorisasi dan polarisasi ini menjadi kurang tepat karena ada pula praktik budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan muslim modernis.

Selain itu, klaim Islam tradisional sebagai pelaku takhayul, bid’ah, dan khurafat ini tidak berdasar. Sebab, kalangan muslim tradisional bukanlah pelaku perbuatan itu. Sebab, ajaran Islam melarang keras perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada takhayul, bid’ah, dan khurafat. Alih-alih semua itu, Islam tradisionalis lebih menekankan pada kesadaran untuk menghargai tradisi dan budaya yang sudah ada di tengah masyarakat.

Baca juga:

Tradisi keberagamaan yang berkembang di kalangan Islam tradisionalis tampak lebih toleran terhadap nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Kalangan ini meyakini ajaran Islam datang dan tersebar ke penjuru dunia bukan untuk mengganti budaya dan tradisi yang ada dengan tradisi dan budaya Arab sebagai tempat awal diutusnya Nabi Muhammad SAW.

Ajaran Islam juga tidak mengharamkan orang-orang Islam untuk berbudaya dan beradat istiadat sesuai dengan kulturnya. Sebab, budaya merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan selama menjalani hidup di dunia ini. Selama tradisi dan budaya itu tidak bertentangan dengan syariat Islam yang telah ditetapkan, maka sah-sah saja untuk tetap dilaksanakan dan dilestarikan. Wallahualam.

 

Editor: Emma Amelia

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

One Reply to “Bertradisi dalam Islam”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email