Nahdliyin, alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Menyukai kajian-kajian keislaman dan filsafat.

Hukum Islam Tetap dan Berubah: Antara Syari’ah dan Fiqh

Salman Akif Faylasuf

5 min read

Syariah merupakan hukum atau aturan yang berdimensi aktifitas fisik lahiriyah (tingkah laku) manusia, bukan hukum atau aturan yang dimensi akal intelektual atau hati (spiritual). Dalam terminologi para ahli hukum Islam, ia dirumuskan sebagai aturan-aturan tentang tingkah laku manusia yang bersumber dari teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah (hadits Nabi). Di samping Syari’ah, ada kata lain yang popular di dalam masyarakat muslim, yaitu Fiqh.

Menurut makna generiknya Fiqh adalah pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu. Sebagai disiplin ilmu, fiqh dipahami sebagai suatu pengetahuan hukum Islam yang dirumuskan para ahli hukum Islam (mujtahid) melalui proses eksplorasi nalar (akal pikiran) terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan teks hadits yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang berakal dan dewasa. Dengan demikian, fiqh sesungguhnya identik dengan syari’at pada aspek produknya, yakni hukum-hukum atau aturan-aturan (law).

Hal yang membedakan antara keduanya adalah bahwa Syari’ah adalah keputusan Nabi yang didasarkan pada wahyu Tuhan, sementara Fiqh adalah produk ijtihad (aktifitas intelektual dan ilmiah) para ahli hukum pasca Nabi dengan mengacu dan mendasarkan diri pada teks-teks yang disampaikan Nabi Muhammad, baik dalam bentuk wahyu Tuhan yang terhimpun dalam al-Qur’an maupun ucapan dan tradisi Nabi.

Baca juga:

Apa yang disebut fakultas syari’ah atau bank syari’ah, misalnya, sejatinya adalah fakultas hukum atau aturan-aturan perbankan yang diambil dari hasil pikiran para ulama atas teks-teks Islam. Hukum-hukum Islam yang dibicarakan masyarakat muslim sekarang ini sesungguhnya adalah fiqh. Ibnu Taimiyah menyebut hukum-hukum Islam yang dihasilkan para ahli (mujtahid) ini sebagai “syari’ah muawwalah” (syari’at atau aturan yang ditafsirkan), sedangkan hukum-hukum Islam yang disampaikan Nabi sebagai “syari’ah munazzalah” (syari’ah yang diturunkan).

Tetap dan Berubah

Uraian di atas mengantarkan kita pada pemahaman bahwa ada hal-hal dari ajaran Islam yang berlaku baku (tetap, tidak berubah-ubah) dan ada hal-hal yang bisa berubah-ubah. Hal-hal yang baku dan tidak berubah-ubah sepanjang masa, pertama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, utusan-utusan Tuhan, kitab-kitab suci dan pada kehidupan sesudah kematian atau yang popular disebut hari akhirat. Kedua, adalah pokok-pokok ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, dan ketiga adalah prinsip-prinsip kemanusiaan universal.

Sementara, hukum-hukum yang bisa berubah adalah masalah-masalah yang menyangkut relasi atau pergaulan antar manusia dalam suatu komunitas, atau dalam konteks fiqh Islam ia popular disebut “Mu’amalat”. Bidang ini meliputi aturan-aturan mengenai relasi manusia dalam keluarga (family law), dan aturan-aturan mengenai relasi antar manusia dalam kehidupan domestik (rumah tangga), sosial, budaya, ekonomi, politik, serta pergaulan antar bangsa. Mu’amalat adalah dimensi hukum Islam yang paling luas, dinamis dan terus bergerak dalam proses yang tidak akan pernah berhenti, sejalan dengan keniscayaan perubahan kehidupan manusia sendiri.

Dalam konteks perubahan yang terus menerus ini, maka adalah kebijaksanaan Tuhan bahwa teks-teks keagamaan tidak mengatur detail-detail masalah dan hukum-hukumnya, melainkan lebih banyak menetapkan dasar-dasarnya (mabadi) yang bersifat moral-etis. Beberapa di antaranya adalah: adam al-Dharar (tidak merugikan dan merusak), adam al-Gharar (tidak menipu), adam al-Ihtiqar (non diskriminatif), adam al-Ikrah (non kekerasan), al-Taradhi (kerelaan pihak-pihak yang terlibat), mu’asyarah bi al-Ma’ruf (pergaulan yang baik), syura atau musyawarah (dialog konsultatif) dan sebagainya.

Semua dasar ini pada akhirnya bermuara pada satu dasar utama yang bernama Maslahat, kebaikan umum (human welfare). Dengan kata lain, keputusan hukum terhadap problem-problem mu’amalat (social/public) didasarkan pada kemaslatan umum ini. Para ulama ahli hukum telah sepakat bahwa kemaslahatan adalah tujuan hukum/syari’at. Pertanyaan yang selalu muncul terkait dengan isu ini, adalah bagaimana apabila pertimbangan hukum atas dasar kemaslahatan tersebut bertentangan dengan bunyi literal teks suci, baik Al-Qur’an maupun hadits dan dengan Ijma’ ulama (consensus). Mengenai hal ini menarik sekali untuk dikemukakan pandangan Dr. Musthafa Syalabi dalam bukunya “Ta’lil al-Ahkam”.

“Apabila kemaslahatan bertentangan dengan “nash” (teks), dalam bidang mu’amalat dan adat-kebiasaan (tradisi) yang kemaslahatannya telah berubah, maka kemaslahatanlah yang harus dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai menentang nash melalui semata-mata pendapat nalar. Sebaliknya ia justeru mengaplikasikan nash-nash yang sangat banyak yang menunjukkan keharusan menjaga kemaslahatan tersebut. Akan tetapi apabila kemaslahatan dalam nash tidak berubah, maka nash sama sekali tidak boleh diabaikan”.

Syalabi selanjutnya mengatakan: “Siapa pun yang merenungkan secara mendalam tentang adanya kontradiksi tersebut, hal itu sebenarnya hanyalah dalam bentuk lahiriyahnya saja. Hal ini karena nash sesungguhnya diturunkan (dibuat) dalam rangka menegakkan kemaslahatan tertentu. Manakala kemasalahatan tersebut telah hilang, maka ia tidak relevan lagi untuk diimplementasikan. Demikian pula apabila nash disertai dengan “illat” (logika kausalitas) nya. Manakala illat tersebut hilang, maka hukum tersebut juga selesai. Ini adalah pemahaman para sahabat dan generasi sesudahnya”.

Demikian juga halnya terhadap masalah hukum yang telah diputuskan secara konsensus (Ijma’). Adalah benar bahwa kesepakatan ulama tidak boleh dilanggar. Akan tetapi hal ini terjadi hanya pada kesepakatan atas masalah hukum yang kemaslahatannya tidak berubah-ubah sepanjang masa. Syalabi mengatakan :

وانا اضم صوتى صوت هؤلاء فى انه لا يجوز مخالفة الاجماع, ولكن اذا تحقق الاجماع وثبت منقولا الينا من طريق صحيح على حكم لا تتغير مصلحته على مدى الايام. (تعليل الاحكام,ص 327)

“Aku sepakat dengan para ulama bahwa Ijma’ ulama tidak boleh dilanggar. Akan tetapi hal ini apabila Ijma’ tersebut telah benar-benar nyata dan disampaikan kepada kita melalui jalan (transimisi) yang sahih atas hukum yang kemaslahatannya tidak mengalami perubahan sepanjang zaman”.

Umar bin Khattab, sahabat Nabi adalah tokoh besar yang banyak sekali mendasarkan keputusanya berdasarkan prinsip kemaslahatan ini. Beberapa di antaranya adalah pembatalan hukuman potong tangan ketika masyarakat menghadapi situasi krisis ekonomi yang luas. Ia juga tidak membagikan tanah rampasan perang hanya kepada para tentera yang ikut dalam perang yang tak digaji (al-ghuzzat ghair al-murtaziqin), tetapi menyerahkannya kepada negara untuk kepentingan masyarakat secara lebih luas, dan talak tiga yang diucapkan suami kepada isterinya menjadi jatuh tiga. Keputusan-keputusan Umar ini berbeda dari keputusan Nabi. Hal ini tidaklah berarti bahwa dia menentang Nabi. Umar justru menegakkan maksud dan visi al-Qur’an.

Ia memahami bahwa hukum yang diputuskan Nabi adalah relevan dengan kemaslahatan sosial beliau. Akan tetapi akibat perkembangan sosial pada masanya, keputusan Nabi tersebut tidak lagi sesuai dengan kemaslahatan sosial yang dihadapi pada masa Umar. Mengenai talak tiga yang jatuh tiga, Ibnu al-Qayyim menginformasikan argumen Umar dengan mengatakan: “Talak (cerai) tiga pada masa Nabi saw, dan pada masa pemerintahan Abu Bakr serta dua tahun masa Umar jatuh satu. Akan tetapi masyarakat kemudian menuntut kesegeraan pada masalah yang seharusnya dilakukan bertahap. Mereka berharap kami memenuhinya. Maka aku putuskan sesuai dengan kehendak mereka”.

Membaca fiqh para ulama pendiri mazhab maupun para pengikutnya, tampak jelas bahwa pandangan mereka berbeda-beda, meskipun mendasarkan diri pada sumber hukum yang sama. Beberapa contoh kasus, misalnya wali nikah perempuan, saksi nikah, usia dewasa, talak tiga dan sebagainya. Keputusan mereka sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu mereka yang berbeda dan dinamis. Dr. Faruq Abu Zaid mengatakan: “Pandangan-pandangan fiqh Islam tidak lain kecuali merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan sosial dalam masyarakat Islam. Pandangan-pandangan fiqh itu berubah, berkembang dan berganti-ganti sejalan dengan situasi zaman dan konteks sosialnya masing-masing”.

Para ulama ahli fiqh sepakat bahwa hukum-hukum yang berdiri di atas landasan yang berubah dan berkembang, niscaya ia juga akan berubah dan berkembang. Mereka kemudian melahirkan kaedah hukum “La Yunkaru Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal” (perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, lokalitas dan situasi sosial).

Ibnu al-Qayyim menyampaikan kaedah ini secara lebih lengkap. Ia mengatakan: “Taghayyur al-Fatwa wa Ikhtilafuha bi Hasab Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal wa al-Niyyat wa al-Awaid” (Perubahan fatwa dan perbedaannya berdasarkan perubahan zaman, tempat, kondisi social, motivasi dan adat istiadat (tradisi).

Prinsip-Prinsip Kemanusiaan Universal

Lebih jauh dari sekadar keharusan terjadinya perubahan hukum karena perubahan ruang, waktu, dan perkembangan sosial, perumusan hukum juga meniscayakan bimbingan dari prinsip-prinsip yang lebih mendasar dan universal. Yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan Universal. Para ulama menyebutnya sebagai “Al-Kulliyyat al-Khams” (lima prinsip universal) atau “al-Dharuriyyat al-Khams” (lima prinsip niscaya) dan “Maqashid al-Syari’ah” (tujuan syari’at/agama). Prinsip- prinsip ini telah dirumuskan dengan cerdas oleh antara lain Imam al-Ghazali dalam “Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul”.

Boleh jadi sebelumnya telah diisyaratkan oleh gurunya, Imam al-Haramain. Ia kemudian diuraikan secara lebih luas oleh Imam Al-Syathibi dalam bukunya “Al-Muwafaqat fi Ushul a-Syari’ah”. Lima prinsip itu ialah: hifzh al-Din (perlindungan terhadap agama/keyakinan, hifzh al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup), hifzh al-Aql (perlindungan terhadap hak berpikir dan mengekspresikannya, hifzh al-Nasl (perlindungan terhadap hak-hak reproduksi dan hifzh al-Mal (perlindungan terhadap hak-hak milik (property).

Lima prinsip di atas dinyatakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi sebagai konsensus agama-agama (Ittifaq al-Milal). Sementara Dr. Abdullah Darraz mengatakan bahwa lima prinsip di atas merupakan dasar-dasar pembangunan atau kemajuan masyarakat dalam semua agama. Tanpa lima dasar ini kehidupan bersama manusia tidak akan stabil dan kebahagiaan di akhirat tak akan dicapai.

Bagi saya, lima prinsip di atas identik dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Universal, termasuk Konvensi CEDAW (Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Di dunia Islam, hak-hak asasi manusia ini telah dideklarasikan di Kairo tahun 1990. Beberapa pasalnya menyatakan: “Manusia adalah satu keluarga, sebagai hamba Allah dan berasal dari Adam. Semua orang adalah sama dipandang dari martabat dasar manusia dan kewajiban dasar mereka tanpa diskriminasi ras, warna kulit,bahasa, jenis kelamin, kepercayaan agama, ideologi politik, status sosial atau pertimbangan-pertimbangan lain. Keyakinan yang benar menjamin berkembangnya penghormatan terhadap martabat manusia ini.” (ps. 1 ayat 1).

“Perempuan dan laki-laki adalah setara dalam martabat sebagai manusia dan mempunyai hak yang dinikmati ataupun kewajiban yang dilaksanakan; ia (perempuan) mempunyai kapasitas sipil dan kemandirian keuangannya sendiri, dan hak untuk mempertahankan nama dan silsilahnya” (ps. 6).

Semua pasal-pasal dalam deklarasi Kairo di atas mempunyai legitimasi dari sumber-sumber otoritatif Islam, yaitu al-Qu’ran dan as-Sunnah. Para ulama yang hadir dalam konferensi internasional itu tentu tidak sekadar mengekor atau mengadopsi DUHAM, tetapi menggalinya sendiri dari khazanah Islam, terutama al-Qur’an dan Hadits Nabi. Oleh karena itu, maka nilai-nilai kemanusiaan universal di atas sudah seharusnya menjadi basis bagi dan membimbing seluruh aktifitas manusia dan terutama bagi perumusan kebijakan publik, perundang-undangan dan regulasi-regulasi lainnya di dalam masyarakat muslim.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Nahdliyin, alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Menyukai kajian-kajian keislaman dan filsafat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email