Pegiat sosial; tertarik pada isu hukum dan hak asasi manusia

Merawat Hidup dari Air Terakhir di Lereng Selatan Merapi

Rakha Ramadhan

5 min read

Hujan akhirnya usai setelah hampir sepekan membasahi Dusun Turgo yang terletak di lereng Gunung Merapi. Hujan dalam jangka berhari-hari merupakan hal yang wajar di desa ini. Matahari terbit menepis kabut, Gunung Merapi tampak ramah pagi ini dengan aktivitasnya yang aman. Meski demikian, ia dapat berubah sewaktu-waktu, mengingatkan kita untuk tak angkuh dan selalu bersyukur.

Hari ini diawali dengan teh hangat dan ubi rebus yang ditanam sendiri oleh Pak Jendro, pemilik rumah tempat saya bermalam. Ia lelaki tua yang sangat ramah, tinggal bertiga bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Sarapan bersama Pak Jendro pagi itu ditemani pembicaraan tentang hujan di Turgo yang baru reda setelah mengguyur selama sepekan, tentang Yogyakarta yang cuacanya sangat tidak menentu, juga macetnya yang semakin parah.

Ini bukan kali pertama saya bertemu dan bermalam ditempat Pak Jendro. Keluarga kecilnya telah menjadi tempat tinggal saya sejak awal perkenalan dengan Dusun Turgo pada akhir tahun 2021 lalu.

Awal mula perkenalan dengan Pak Jendro, Dusun Turgo, dan Merapi, tak terlepas dari bergabungnya saya ke dalam lembaga dengan gerakan bantuan hukum struktural yang membersamai warga Turgo dalam melestarikan mata air dan berjuang menghadang perusakan lingkungan.

Pembicaraan mengalir, mulai dari peristiwa erupsi Merapi pada tahun 2010, hingga rasa syukur warga atas sumber daya alam melimpah di bawah lereng selatan Merapi, tanah yang subur untuk berkebun, air melimpah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, serta material pasir yang dihasilkan dari aktivitas Merapi, yang kemudian ditambang secara tradisional menggunakan sekop besi sederhana oleh masyarakat sekitar.

Baca juga:

Namun, masyarakat dan alam Turgo terancam menjadi salah satu korban kebijakan negara yang bertentangan dengan prinsip HAM dan keadilan lingkungan. Potensi tanah Dusun Turgo akan ditambang menggunakan alat berat oleh korporasi yang diberikan karpet merah melalui penerbitan izin tambang oleh negara.

Seketika raut wajah Pak Jendro memuram, meski tetap diiringi senyumnya yang khas karena beberapa giginya yang telah tanggal. Pak Jendro bercerita tentang perusahaan tambang pasir yang telah mendapat izin negara untuk melakukan aktivitas dengan alat berat di Kali Boyong.

Ancaman Tambang Pasir Alat Berat

Ia bercerita tentang dampak buruk yang dapat terjadi apabila korporasi penambang pasir menggunakan alat berat untuk melakukan aktivitas di Kali Boyong. Mata air rusak, ruang hidup terancam punah. Hal tersebut terjadi pada dusun tetangga yang juga berada di lereng Merapi, tepatnya di Kali Krasak.

Pasca penambangan pasir menggunakan alat berat, warga Dusun Ngandong kehilangan mata air yang mereka ambil dari Kali Krasak. Akibatnya warga Dusun Ngandong dilanda krisis air, sebelum pada akhirnya mereka bergotong-royong membangun saluran air agar dapat mengambil air dari hulu Kali Boyong yang letaknya cukup jauh. Peristiwa tersebut menjadi pengingat warga lereng Merapi akan dampak penambangan pasir menggunakan alat berat.

Di hulu Kali Boyong, terdapat tiga mata air yang digunakan warga untuk memunuhi kebutuhan sehari-hari, juga untuk berkebun dan berternak. Mata air tersebut mengaliri permukiman warga yang tidak hanya ke Dusun Turgo, tapi juga ke Dusun Tritis, Dusun Ngandong.

Bila dilihat lebih jauh lagi, kawasan Gunung Merapi merupakan kawasan hutan yang menampung air hujan sebagai penyedia air untuk daerah di bawahnya melalui aliran air dalam tanah atau akuifer. Dengan demikian, dampak jangka panjang kerusakan lingkungan di lereng selatan Merapi ialah krisis air di Yogyakarta dan sekitarnya.

Hari semakin cerah, Pak Jendro mengajak saya ke Kali Boyong, memastikan pipa saluran air dalam keadaan baik dan aman mengairi rumah-rumah, juga untuk melihat lokasi yang menjadi incaran korporasi penambang pasir. Ajakan tersebut segera teriyakan, didorong rasa penasaran yang teramat sangat. Sarapan telah tandas, menjadi tanda untuk bergegas.

Pak Jendro tampil rapih dengan rompi safari dan topi rimbanya, juga handy talkie sebagai sarana komunikasi bila terjadi sesuatu. Sebagai orang yang tinggal di daerah rawan bencana, benda tersebut menjadi sangat penting.

Kami berjalan menyusuri rumah warga, dengan pekarangan yang luas dan hijau serta rumah lebar yang berjarak-jarak, ciri khas masyarakat yang tinggal di dataran tinggi. Sepanjang jalan tegur sapa dengan warga menjadi kegiatan pasti, sangat akrab, meski baru pertama kali berjumpa.

Seperempat jam tak terasa akhirnya terlihat Kali Boyong dari kejauhan, tujuan semakin dekat. Pertama kali tiba, yang saya lihat ialah hamparan luas pasir dan bebatuan, membuyarkan benak akan gambaran kali atau sungai pada umumnya, tak ada arus air.

Bagian ujung selatan terdapat tanggul untuk menghalau lahar merapi agar tak turun jauh sampai ke permukiman warga, termasuk juga material yang terbawa seperti pasir dan batuan. Dan dari sini menghadap ke utara, tampak hamparan pasir dan batuan yang di sepanjang kiri kanan terdapat tebing menjulang. Tepat mengarah ke utara, ditutup kabut tipis, berdiri megah Gunung Merapi.

Metode Modern yang Merusak

Pak Jendro mengajak saya menyusuri kali, menapaki kaki di pasir dan batuan, yang bagi warga Dusun Turgo merupakan sumber penghasilan. Warga Dusun Turgo mayoritas bekerja sebagai penambang pasir tradisional, metode menambang pasir tanpa alat berat, bermodalkan otot dan tangan, menggali batuan dan mengangkatnya ke truk pengangkut.

Penambangan dengan metode tradisonal sangat aman untuk mata air dan lingkungan, sebab memiliki keterukuran galian yang pasti. Mereka juga membentuk paguyuban beranggotakan para penambang tradisional untuk menyepakati aturan-aturan demi memastikan keseimbangan ekologis dan ekonomi.

Setengah jam berjalan kaki menapaki Kali Boyong, terlihat salah satu mata air yang berada di tebing sisi barat kali yang telah diberdayakan oleh masyarakat, ditandai dengan penampungan yang terbuat dari semen serta pipa-pipa yang membentang jauh mengarah ke rumah-rumah warga.

Mata air tersebut terancam keberadaannya oleh izin pertambangan yang menjadi pintu masuk korporasi melakukan penambangan dengan alat berat. Meski aktivitas pertambangannya sedang ditangguhkan karena penyesuaian dari aturan lama ke aturan baru, tetap saja tidak membuat warga dan alam Turgo dapat hidup tenang. Sewaktu-waktu penambangan pasir menggunakan alat berat dapat masuk dan membawa malapetaka bagi warga Turgo.

Baca juga:

Ketika negara tidak hadir dan berpihak pada warga dan lingkungan, izin pertambangan dapat menjadi alat legitimisasi korporasi untuk merusak alam dan merenggut kehidupan warga lereng selatan Merapi yang telah lama hidup berdampingan dengan alam dan memanfaatkan mata air di hulu Kali Boyong.

Kali Krasak adalah memori kolektif warga lereng Merapi yang kehilangan mata air akibat penambangan pasir menggunakan alat berat. Pengerukan tak terukur dengan alat berat menyentuh aliran air yang berada dalam tanah, sehingga merusak aliran air, dan membentuk cekungan air baru yang lebih rendah. Air yang seharusnya mengaliri ladang dan menghidupi ternak dan rumah warga beralih ke tempat yang jauh dan rendah dari pemukiman, sehingga tidak dapat digunakan.

Warga lereng selatan Merapi yang terancam kehidupannya tentu tak tinggal diam. Berbagai upaya pernah dan akan terus dilakukan demi menjaga kelestarian mata air dan kehidupan. Penghadangan jalan, audiensi ke kantor pemerintah, hingga aksi massa telah dilakukan sebagai upaya penolakan.

Harap dan Usaha agar Tetap Lestari

Kini situasi cukup baik, namun tidak membuat mereka lengah. Mereka membentuk Paguyuban Pelestari Mata Air Hulu Sungai Kali Boyong sebagai alat perjuangan melestarikan mata air, wadah menjalin solidaritas, serta aktivitas diskusi sebagai sarana pendidikan untuk meningkatkan kesadaran.

Tak terasa setengah jam telah lepas, waktu yang sebentar untuk mengenang perjalanan warga lereng selatan Merapi melestarikan mata air yang menjadi sumber kehidupan, dan memahami betapa pentingnya kelestarian mata air yang terancam karena rencana penambangan pasir alat berat.

Perjalanan berakhir dengan menapaki jalan terjal menyusuri tebing. Napas kota yang sering menghirup udara kotor, dan tubuh yang jarang berolahraga, tak bisa bohong. Medan yang terjal tak jarang membuat lutut menyentuh dada dan tangan meraih batang pohon sebagai pegangan untuk tumpuan melangkah.

“Istirahat sek (sebentar), Mas, kalau capek,” Pak Jendro dengan gagah dan tampak tidak ngos-ngosan berteriak memperhatikan kondisi saya. Ia sudah jauh di depan, sementara saya hanya menengadah dari bawah, mengatur napas dan menyahut.

“Nggih.. aman, Pak,” saya menjawab dalam keadaan menstabilkan napas yang masih tak teratur.

Sesampai di rumah, Ibu menjamu dengan teh hangat dan pisang. Dari ruang tengah terhirup aroma lezat yang berasal dari dapur. Ibu telah menyiapkan makan berat kali ini. Hidangan telur dadar, tempe goreng, dan sayur lodeh bersatu dengan cerita perjalanan menyusuri Kali Boyong. Tak lepas harapan mata air di Kali Boyong tetap lestari keluar bersama canda tawa dan berbagi pengalaman membersamai makan kali ini.

Wes wareg durung, Mas Rakha?” (sudah kenyang belum, Mas Rakha?), tanya Pak Jendro sembari menyodorkan bakul nasi, “tambah-tambah, Mas,” tambahnya.

Nggih.. Sampun, Pak Jendro.” (Iya.. Sudah Pak Jendro). Saya coba menjawab dengan sebuah anggukan sembari tersenyum dalam kondisi mulut masih setengah terisi.

“Bila nanti alam rusak dan air hilang, kami sudah tidak ada lagi di sini, Mas,” ujar Pak Jendro, saya membalas tersenyum, tertegun. Perkataan yang sangat reflektif, sebagai pengingat betapa pentingnya mata air harus tetap terjaga dan lestari.

 

Editor: Prihandini N

Rakha Ramadhan
Rakha Ramadhan Pegiat sosial; tertarik pada isu hukum dan hak asasi manusia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email