Mendengar kata Madura, mungkin yang tergambar di benak adalah jamet dengan gaya joget dan musik jedag-jedug yang khas. Berkali-kali kawan mengejek Madura karena jametnya yang menjijikan. Distingsi sosial ini membuat saya sebagai orang Madura juga terpinggirkan.
Beberapa tahun sebelumnya, lagu gambus Madura juga viral karena membawakan lirik yang nyeleneh dan menggelikan tentang Coca-Cola. Hal ini cukup menjadi modal untuk orang melakukan stereotyping kepada orang Madura yang nyeleneh. Stereotyping ini mencitrakan orang Madura yang kurang beradab dibandingkan selera adiluhung musik-musik Barat.
Lorjhu’ dan Identitas Madura
Di tengah viralnya jamet, band musik bernama Lorjhu’ hadir menandingi stereotip buruk Madura. Lorjhu’ mengajak pendengarnya untuk mencium bau amis pantai Madura, menyelami lautnya bersama nelayan, menginjak tanahnya bersama petani. Lorjhu’ seolah mengingatkan secara tidak langsung, garam di masakan yang Anda makan mungkin saja dari asin laut Madura.
Lorjhu’ adalah moniker dari sang vokalis, Badrus Zeman, yang berasal dari Sumenep. Kata Lorjhu’ berasal dari nama kerang bambu yang menjadi makanan khas Pulau Garam ini. Siapa sangka nama kerang bambu yang hidup dalam pasir pantai yang amis, bermetamorfosis menjadi idealisme dalam bermusik. Pantun-pantun Madura yang biasa disampaikan secara lisan lewat kesenian ngejung, hidup kembali lewat lirik-lirik lagu Lorjhu’.
Baca juga:
Ibarat persembunyian kerang ditaburi garam, Lorjhu’ hadir membawa angin segar bagi pendengar, khususnya orang Madura di perantauan. Bagaimana tidak, Lorjhu’ sudah cukup menjadi rumah untuk pulang. Meski tidak semua orang Madura mengenal secara langsung sang vokalis, pengalaman kebertubuhan yang digambarkan Lorjhu’ membuat semua orang Madura merasa hal yang sama dengan apa yang ingin disampaikan dalam musiknya. Lewat Lorjhu’, Badrus membawakan seluruh peristiwa dalam hidupnya.
Berbanding terbalik dengan musik jamet yang jedag-jedug, Lorjhu’ memiliki irama yang relatif pelan. Perpaduan irama drum, gitar, dan lirik berbahasa Madura yang mengiringinya menciptakan musik yang khas. Unsur hibrid dalam Lorjhu’ membuatnya tetap dapat dinikmati kawula muda, dari lagu yang mampu membuat pendengarnya berjoget, atau hanya sekadar menganggukkan kepala, hingga lagu yang mampu membuat mata memejam diselimuti rindu.
Lorjhu’, lewat album Paseser mampu menghantui pikiran saya sebagai pendengar dan orang Madura. Selama saya hidup, Tanduk Majeng adalah satu-satunya yang membawakan kehidupan maritim nelayan Madura. Hingga kawan memperkenalkan saya dengan salah satu lagu Lorjhu’ berjudul “Kembang Koning” yang membuat bergeming beberapa saat. Pasalnya, “Kembang Koning” serasa menghidupkan Tanduk Majeng dengan wajah barunya. “Kembang Koning” mengingatkan saya dengan paman saya yang berprofesi nelayan. Ibarat kembang kuning yang jatuh hanyut ke laut, terombang-ambing oleh ombak laut.
Kembang koning ( Kembang Kuning)
Gegger eanyo’ aing ( Jatuh terhanyut Air )
Aing rajeh ( Air Pasang )
Agulih bungkana tenjhang ( berayun pohon bakau)
Bersenandung Pulang ke Rumah
Lagu rock berjudul “Nemor” (berarti kemarau), yang dibawakan seirama dengan alunan seruling, mencoba menegaskan bahwa kemarau di Madura bukan sebuah keadaan nirfungsi yang dihindari. Masyarakat Madura justru melihat kemarau sebagai keping emas. Tidak peduli petani maupun nelayan, kemarau menghasilkan tembakau berkualitas, mengeringkan air laut menjadi garam.
“Nemor” berasal dari kata ‘temor’ yang berarti timur, selaras dengan angin muson timur bersifat kering. “Nemor” mengingatkan saya dengan daun tembakau yang dipetik, dilipat, dicacah, dan dijemur di halaman rumah. “Nemor” juga mengingatkan saya dengan petani garam dekat pesantren, yang juga berharap kemarau panjang.
Terakna langi’, lebat gilinah pello (Langit yang cerah, terlihat dari keringatnya)
Mesemma tani, berkat ollena bhekoh (Senyum para petani berkat hasil tembakau)
Nase’ buje cabbhi, akoa ghangang maronggih (Nasi garam cabai, berkuah sayur kelor)
Bujena dheddi, epolong melle kalambi (Garamnya jadi, dikumpulkan beli pakaian baru)
Dari dua lagu di atas, Lorjhu’ seolah menyeimbangkan kosmos Madura, di mana masyarakat agraris dan maritim hidup berdampingan. Sebagai seorang santri di Probolinggo, bersekolah di samping ladang tembakau dan di pesisir laut, dua lagu ini sungguh membawa saya kepada realitas sosial masyarakat sekitar. Pada hari libur, menyusuri ladang tembakau, lalu menaiki perahu warga, lagu-lagu Lorjhu’ menuntun saya untuk menjejak peristiwa di masa lalu.
Judul lagu lainnya, seperti “Toron” dan “Romassanah Kerrong” mengingatkan saya tentang kerinduan untuk pulang ke kampung halaman, mulai ketika masih nyantri di pesantren, Covid-19, atau momen Lebaran. Semua itu secara tidak sadar membuat saya memejam dan merasa rindu. Sejarah sehari-hari membuat kebertubuhan saya, Burhan sang vokalis, atau bahkan orang Madura merasa berhubungan.
Baca juga:
Lagu-lagu sederhana seperti “Lakonah Oreng Manceng”, “Can Macanan”, dan “Moy Tamoyan”, sebetulnya bermakna tak sederhana. Oreng Manceng menceritakan niat dan kesabaran orang mancing, hujan dan panas tidak menghalangi. Can Macanan adalah sebuah kesenian Madura, di mana peraga mengenakan kostum berbentuk macan. Kesenian ini acap mengundang banyak orang untuk melihat, tidak hanya Karapan Sapi, simbol fauna lain berupa macan juga bentuk memori kolektif masyarakat Madura. Moy Tamoyan adalah budaya sehari-hari Madura. Seperti namanya, Moy Tamoyan berarti bertamu. Bertamu sekedar minum kopi dan tak lupa bersilaturahmi.
Dari banyak lagu Madura yang bertebaran, Lorjhu’ lewat lagunya saya artikan sebagai sejarah sehari-hari. Seluruh lagu di albumnya terasa membawa saya ke masa lalu dan dirasakan pada masa kini. Tidak satu pun lagunya yang tidak relevan bagi saya. Sebatas ingatan berdiam di pesisir laut ketika jenuh di pesantren, Lorjhu’ memberi ingatan itu dengan lagunya berjudul “Malem Pengghir Sereng”. Hidup jauh dari kampung halaman, Lorjhu’ seolah menjadi jembatan bagi jurang pemisah insan Madura di perantauan.
Editor: Prihandini N