Bagaimana jika ruang hidupmu terancam, tapi kamu tidak sanggup berbuat apa pun untuk mencegahnya?
Sejak 2016, ada sekitar lima ratus hektar tanah membentang di sepanjang pesisir Sumenep yang dicaplok untuk pesta pora tambak udang. Semakin ke sini, angka itu akan jadi lebih gemuk lagi. Coba lakukan perjalanan kira-kira 49 kilometer ke pesisir utara Sumenep, dari Pantai Lombang, Kecamatan Batang-Batang, sampai ke ujung barat Kecamatan Pasongsongan, akan tampak deretan lahan tambak udang yang berpagar beton setinggi tiga meter.
Dari balik pagar itu, area tambak udang mengesankan kerahasiaan. Barangkali, mereka tidak mau orang selain pemilik dan pekerja mengetahui aktivitas di dalam, apalagi wartawan dan jurnalis yang nakal dan menyusahkan itu. Saya kerap lewat di kawasan tambak udang dan bertanya-tanya: mengapa perlu ditutup-tutup serapat ini? Apa rahasia yang tidak boleh diketahui khalayak? Hal ini menggelisahkan.
Mungkinkah tambak-tambak tertutup itu tak berizin? Atau, adakah praktik-praktik tidak patut dalam budi daya sehingga orang luar tidak boleh tahu? Mencurigakan, tapi mungkin pikiran saya saja yang terlalu berlebihan. Siapa tahu alasannya hanya agar terlindung dari tangan-tangan nakal pencuri atau semacamnya. Namun, belakangan, banyak media meliput, mengungkap, dan membuktikan kebenaran kecurigaan saya.
Baca juga:
Kata Rahmad Riadi, Kepala DPMPTSP dan Naker, “Jumlah keseluruhan tambak yang ada itu 405 petak dan yang mengantongi izin itu 26 tambak.” Empat ratusan tambak itu menghasilkan berton-ton limbah pencemar yang membuat kalut. Ada tempat lain yang sudah lebih dulu menanggung dampak buruk tambak, tepatnya Pantai Cemara di Jawa Tengah, hingga tertutup lapisan tebal lumut sutra. Ikan-ikannya mati dan biota lautnya tercemar, menyebarkan bau busuk yang mengganggu ketenteraman sosial. Di Jember, hal yang sama juga terjadi. Ada sepuluh tambak ilegal yang dalam operasionalnya membunuh ikan-ikan kecil di pesisir dan merusak tanaman padi masyarakat.
Sekira 350 meter ke arah timur rumah saya, setidaknya ada tiga tambak; dua sedang dibangun dan satunya telah beroperasi. Apabila dua sisanya siap dan beroperasi, maka kerusakan lingkungan pun segera akan menimpa desa saya.
Pipa-pipa besar tambak mengalirkan limbah ke laut, lalu mengotori pantai dan meracuni ekosistem laut. Orang-orang desa saya merupakan nelayan, menggantungkan mata pencaharian hidupnya pada laut. Di laut yang tercemar, tak akan ada harapan sama sekali bagi mereka. Namun, hal itu masih belum terjadi. Mereka masih bisa melaut sebagaimana biasanya biarpun hasilnya makin hari makin tak seberapa.
Ketika Nelayan Tak Lagi Melaut
Biasanya, menjelang Ramadan adalah surga bagi orang-orang desaku karena masuk musim teretan. Pada musim ini, mereka akan melaut dengan cara neret, yakni membentangkan jaring putih bening yang kedua ujungnya ditarik menggunakan dua perahu sehingga hewan laut akan tersangkut pada jaring itu. Hasil tangkapan mereka mulai dari ikan-ikan kecil, kepiting, dan, terutama, udang. Sejak ramai industri tambak udang, harga udang hasil tangkapan nelayan jadi anjlok. Teretan pun tak lagi dilakukan akhir-akhir ini. Bisa jadi tradisi menangkap ikan ini telah punah tanpa ada yang menyadari.
Hasil tangkapan di luar musim teretan juga dihargai murah, membuat kami mulai mempertimbangkan meninggalkan peradaban maritim. Pada hari-hari biasa, metode menangkap ikan yang nelayan desaku gunakan adalah ajhering, yaitu membentangkan jaring biru ke dasar laut, mendiamkannya selama beberapa jam, lalu mengangkatnya kembali ke perahu. Hasil tangkapannya biasanya ikan tenggiri, tuna, dan layar.
Perlahan, kami akan terusir dari tanah kelahiran secara sistemik. Sebagian orang berpikir lebih baik merantau ke Jakarta atau jadi buruh di luar negeri; lebih menjanjikan. Akhir-akhir ini, usaha kelontong sedang di puncak. Rata-rata anak muda desa saya sudah pernah merantau. Satu-dua orang yang sukses memilih menetap sepenuhnya di perantauan.
Sebagian lainnya memilih jadi pekerja bangunan. Mereka lebih pilih melakukan pekerjaan berat dan berisiko itu karena hasilnya lebih menjanjikan daripada melaut. Upah yang didapat dari menjadi pekerja bangunan bisa mencapai seratus sampai seratus dua puluh ribu per hari. Beda dengan nelayan yang kadang pulang membawa nol rupiah biarpun habis bekerja semalam suntuk dan hampir digulung ombak di tengah laut.
Menurut guru mengaji saya—seorang nelayan yang dua bulan sebelumnya membuka toko kelontong untuk pertama kalinya, jadi nelayan itu amat sulit. Untuk membuat sebuah perahu lengkap, bisa habis lebih dari seratus juta rupiah. Modal yang dikeluarkan untuk membuat perahu itu belum tentu bisa kembali. Beda halnya dengan toko kelontong; modal bisa segera kembali dalam satu tahun.
Tulisan lain oleh Faris Ahmad Toyyib:
Masih Adakah Harapan?
Kepala desa bersama dengan para makelar lahan adalah bagian dari struktur penindasan terkait industri tambak di Sumenep. Sudah menjadi pengetahuan umum, jual-beli tanah dengan para investor harus lewat kepala desa. Kepala desa beserta perangkat desa lainnya tak lain adalah kaki tangan kapital.
Tanah-tanah sudah diborong pemodal. Beberapa dalam proses pembangunan infrastruktur, beberapa lagi sudah mulai berproduksi udang, garam, dan banyak lagi, lalu ada beberapa yang masih didiamkan, entah akan dibuat apa. Sementara itu, penduduk asli di sekitar tanah-tanah itu kian terimpit dan terusir. Mereka tercerai-berai; satu per satu pergi merantau seperti yang terjadi di desa saya. Tanah kelahiran makin lama makin tak ada orang, memudahkan pemodal untuk memborong dan menguasai semuanya. Desa-desa di sana lama-lama tinggal jadi kenangan belaka.
Katanya, “Lawan!”
“Dengan apa?” saya tanya balik.
Editor: Emma Amelia
salut bgt berani menyorot kebusukan ini
semoga yang menulis diberikan perlindungan dan keselamatan dari Allah
tidak kena SLAPP
Terima kasih. Amin. Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik.
Jarang sekali disuarakan, padahal dampaknya fatal. Pemerintah setempat harusnya bertanggung jawab mengurusi urusan rakyat, bukan malah sebaliknya, membiarkan rakyat dalam kesengsaraan