Provinsi Nusa Tenggara Barat berada di antara tarikan ekonomi dan kehidupan alam. Proyek-proyek industri pariwisata berbasis lingkungan menjalar dari pesisir hingga pegunungan. Proyek ini kerap kali mempertaruhkan modal penting yang dimiliki masyarakat untuk hidup, yakni alam.
Sejak akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, Lombok, sebagaimana daerah-daerah lain, diterjang banjir dalam skala intens akibat hujan yang terus mengguyur. Pada musim banjir akhir tahun lalu, Kabupaten Lombok Tengah menjadi salah satu daerah yang terdampak paling parah.
Gubernur NTB, Zulkieflimansyah, melalui akun Facebook pribadinya, berkomentar mengenai banjir yang terjadi di Lombok Tengah saat itu, “Penyebabnya karena drainase yang tersumbat lumpur yang dibawa air dari gunung. Gunung gundul akibat ditanami jagung.”
Pernyataan Gubernur NTB nyaris tepat. Apalagi kalau ditambah fakta lain, yakni ketersumbatan dan daya serap bumi terhadap air hujan di lokasi banjir yang tak begitu baik akibat pembangunan Sirkuit Mandalika. Pasalnya, proyek ini telah menelan sebanyak satu juta hektar lebih lahan untuk pembangunannya.
Tak lama setelah Gubernur NTB menyinggung soal gunung yang ditanami jagung, Bupati Lombok Tengah, Lalu Pathul Bahri, justru menyatakan tidak mempermasalahkan gundulnya sejumlah bukit dan lahan di Desa Awang dan Desa Kuta, dua desa di Kabupaten Lombok Tengah yang tergenang banjir paling parah. “Kalau kami tidak menyalahkan itu, karena memang ini persoalan isi perut juga, maka kayu ditebang,” katanya saat diwawancara oleh salah satu media lokal pada akhir Desember 2022.
Dalam pandangan mereka soal banjir kala itu, Gubernur dan Bupati sama-sama tak ingin disalahkan. Mereka lebih memilih menyalahkan pihak lain—secara tak langsung, menyalahkan satu sama lain.
Baca juga:
Dekat-dekat ini, NTB akan memulai proyek pembangunan Kereta Gantung Rinjani (KGR). Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB, Mohammad Rum, mengatakan bahwa nilai proyek KGR mencapai 2,2 triliun rupiah. Proyek ini akan segera berjalan dan sudah teken kontrak dengan investor. Namun, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek ini belum jelas kabarnya.
Masih ada proyeksi investasi yang diberikan pemerintah pusat ke NTB sebesar 18,5 triliun rupiah dan proyeksi internal Pemprov NTB sebesar 15,3 triliun rupiah. Investasi yang cukup menonjol tahun ini juga disumbang oleh pembangunan Hotel Kempinski di Mekaki, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat oleh Wings Group dengan luas lahan 26 hektare.
Proyek-proyek yang tengah dan akan berlangsung di NTB mayoritas bergerak di bidang pariwisata. Di satu sisi, kita bisa mengintip potensi ekonomi yang akan berkembang secara makro di sekitar proyek-proyek itu. Di sisi lain, kita pun tak bisa menampik ancaman kerusakan alam yang berada di belakang rangkaian proyek industri pariwisata ini.
Lingkungan dan Kultur
Masyarakat NTB dibesarkan dalam kultur Sasak dan spiritualitas Islam yang begitu kuat, serta dekat dengan alam. Berbagai kesenian dan kebudayaan diperuntukkan sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang telah menghamparkan alam.
Peresean adalah satu contoh tradisi yang dekat dengan isu lingkungan. Tradisi yang diperkirakan telah berkembang sejak abad ke-13 ini biasanya digelar oleh penduduk agraris Lombok untuk memanggil hujan. Acara ini diisi dengan doa-doa yang dipanjatkan untuk keselamatan alam.
Seiring waktu, Lombok menjadi sentra wisata. Peresean tidak melulu ditampilkan sebagai kegiatan yang berorientasi spiritual. Dalam banyak kesempatan, kesenian ini diundang untuk memeriahkan acara aktivasi pariwisata.
Sayangnya, menjadi daerah sentra wisata tak lantas menyelamatkan NTB dari bayang-bayang kemiskinan. Juli 2022 lalu, Badan Pusat Statistik NTB merilis persentase penduduk miskin di NTB sebanyak 13,68 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk NTB. Angka ini menjadikan NTB masuk dalam 10 besar provinsi dengan jumlah penduduk termiskin paling banyak secara nasional. Spesifiknya, NTB berada di peringkat delapan, disusul Sulawesi Tengah dan Sumatra Selatan.
Masalah kemiskinan ini kian mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk menjadikan alam, adat, serta kebudayaan masyarakat NTB sebagai komoditas dalam industri pariwisata. Banyak warga yang menolak berbagai proyek pariwisata berisiko di NTB. Namun, tak sedikit juga yang mendukung dengan alasan ekonomi atau, kasarannya, meminjam istilah Bupati Lombok Tengah, “demi isi perut”.
Membayangkan Pembangunan Indonesia
Bradley Simpson dalam buku Economists with Guns (2008) pernah membayangkan bagaimana pembangunan di Indonesia akan terjadi. Embrionya muncul saat Washington mengharap dukungan bagi kemerdekaan Indonesia beserta program bantuan teknis dan ekonomi di tahun 1950-an dapat membantu mempercepat terbentuknya pemerintah yang representatif, pro kapitalis, dan pro Barat.
Namun, masyarakat Indonesia yang masih di bawah kekuasaan Sukarno mengasosiasikan demokrasi gaya Barat dan kapitalisme dengan kolonialisme. Saat itu, Indonesia masih mencari jalan ke arah pembangunan ekonomi dan politik yang lebih bersifat kolektif, sosial-demokratik, dan punya akar-akar tradisi sendiri. Impian itu mungkin bisa terwujud seandainya peristiwa G30S tak pecah.
Ketika Indonesia masih mencari gaya pembangunan yang independen dan mencoba berintegrasi dengan ekonomi dunia, Presiden Soeharto mengambil alih perdebatan itu dan membawa negara pada arus yang dibuka Amerika. Meskipun begitu, ada segelintir masyarakat Indonesia, termasuk yang melawan Sukarno, yang masih melihat Barat sebagai wajah asli kapitalisme.
Eksploitasi lingkungan pun dimulai. Agenda pangan hingga pertambangan tak bisa dihindari. Pada saat ini jugalah industri pariwisata mulai dibangun sebagai bagian dari proyek penggalian lingkungan sebagaimana tambang dan pangan.
Infrastruktur modern, penunjang kompetisi olahraga kelas dunia, hingga rangkaian event adat disuguhkan untuk menarik pengunjung. Fenomena ini berkembang menjadi persoalan yang kini dihadapi oleh masyarakat Indonesia, terutama mereka yang berada di bagian timur.
NTB dengan Sirkuit Mandalika dan Rinjani, NTT dengan Pulau Komodo atau Labuan Bajo, hingga Papua dengan Raja Ampat. Daerah-daerah tersebut perlahan terasosiasi sebagai tempat berlibur kalangan elit. Besar kemungkinan hal ini akan menimbulkan efek serius terhadap kehidupan sosial dan kebudayaan di sekitar lokasi pariwisata. Misalnya, masyarakat mulai menumbuhkan naluri kompetisi dalam konteks industrial.
Sementara itu, elit-elit industri pariwisata memandang kehidupan adat, sosial, kultural, dan lingkungan sebagai akuarium pariwisata. Hal-hal itu tidak dibiarkan hidup dan berkembang secara organik, tetapi “dipelihara” agar seterusnya bergerak sesuai arah kapital. Masyarakat tercerabut dari kesadaran leluhur untuk menjaga alam dalam pandangan spiritual nan esensial.
Baca juga:
Masyarakat tak lagi peduli siapa yang memegang apa—Tiongkok atau Amerika Serikat. Kondisi yang mirip dengan saat Sukarno dihadapkan pada dilema antara mengapresiasi keberhasilan ideologis Tiongkok atau diam-diam memuji kemampuan Amerika Serikat dalam mengolah bahan mentah menjadi komoditas penting perekonomian dunia.
Siapa pun yang berada di tampuk kekuasaan, “urusan perut” tetaplah yang utama, tak peduli kehidupan alam yang sejati sudah berada di titik nadir. Indonesia tanpa bayangan pembangunan adalah bayangan pembangunan hari ini—kondisi yang tak pernah berubah sejak dulu. Agaknya, negara kita tak pernah benar-benar tuntas melakukan lompatan zaman.
Editor: Emma Amelia