Pembaca kadang penulis

Festival Macapat Kehidupan: Paket Komplet Seni, Dakwah, dan Teknologi

Didik W. Kurniawan

2 min read

Malam Senin, 21 November 2022, Taman Budaya Jawa Tengah menjadi saksi peristiwa kebudayaan yang penuh nuansa spiritualitas, yakni Festival Macapat Kehidupan yang dipandegani oleh komunitas Seniman Eling Gusti.

Malam itu juga menjadi momentum eksperimental bagi penikmat seni pertunjukkan. Festival yang terinspirasi dari struktur simbolis tembang macapat Jawa tersebut dikemas dengan teknologi audio surround sound 7.1 seperti yang digunakan di bioskop-bioskop. Jelas, itu akan memberi pengalaman baru bagi penonton mengingat pendopo Taman Budaya Jawa Tengah terletak outdoor. Selama acara, penonton diminta untuk merapat ke titik pusat yang dikepung oleh pelantang suara yang menggelegar. Urusan tata cahaya jelas tak kalah memesona.

Baca juga:

Tembang macapat memiliki makna simbol yang kaya karena budaya Jawa kental dengan budaya simbol. Tembang macapat merepresentasikan alur kehidupan manusia di dunia, mulai dari fase kelahiran hingga fase kepulangan—untuk tidak menyebutnya fase kematian. 

Tembang macapat terdiri dari sebelas tembang yang masing-masing memiliki struktur, pola, dan nuansa yang berbeda. Kesebelas tembang tersebut adalah, Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pocung. Ada aturan guru lagu, guru wilangan, serta guru gatra. Masing-masing tembang taat terhadap ciri dan karakteristik masing-masing, serta ketiga aturan itu.

Maskumambang terdiri atas dua kata, mas dan kumambang yang artinya emas yang terapung. Tembang Maskumambang menceritakan tahap pertama dalam kehidupan manusia ketika ruh sudah ditiupkan.

Fase kehidupan berikutnya adalah mijil, berasal dari kata wijil yang berarti keluar. Tembang Mijil menceritakan kelahiran seorang anak manusia setelah keluar dari gua garba. Selanjutnya, tembang Sinom merupakan representasi dari masa muda; masa yang indah, masa yang dipenuhi dengan harapan dan angan. Kemudian, manusia masuk ke fase yang direpresentasikan oleh tembang Kinanthi, yakni mulai membutuhkan bimbingan dalam menapaki jalan yang penuh dengan godaan.

Tembang Asmaradana menceritakan keadaan manusia yang dipenuhi dengan cinta kasih. Luapan-luapan rasa cinta terjadi pada fase ini sehingga pas untuk menggambarkan pengalaman jatuh cinta—tentu saja dengan bahagia biarpun ada juga sedihnya. Setelahnya, masuk fase tembang Gambuh yang menceritakan tentang pertemuan setelah ada jalinan kasih sayang sebelumnya. Pernikahan ada dalam fase ini.

Berlanjut ke tahap Dhandhanggula ketika harapan yang lebih mendalam terhampar. Harapan akan kehidupan yang lebih baik setelah menemukan pasangan yang tepat. Namun, kebahagiaan itu tidak berjalan sendiri. Ada Durma di sana, yakni fase godaan berupa ego, kesombongan, dominasi, monopoli, dan kesewenang-wenangan. Mahligai rumah tangga mulai menemukan ujiannya.

Pangkur menyeret manusia menua. Tua itu pasti, dewasa itu pilihan, katanya. Pangkur berusaha membuktikan bahwa fisik manusia akan kalah oleh waktu. Setelah menua, apalagi kalau bukan fase Megatruh? Ya, proses lepasnya ruh dari jasad manusia. Kemudian, Pocung, dari tanah kembali ke tanah. Manusia ada di dalam alam baka.

Dalam Festival Macapat Kehidupan, fase-fase tersebut dikemas dengan penampilan lintas disiplin kesenian. Tari, monolog, musik barat (band), musik tradisi Jawa, musik eksperimental (perpaduan hardcore dan perkusi), ketoprak, hingga teater. Bahkan, ada penampilan ustaz yang membacakan ayat suci Al-Quran sembari menjelaskan tentang bagaimana mestinya manusia hidup di dunia, yaitu untuk beribadah kepada Sang Pencipta.

Penampil di gelaran itu antara lain Manggala (ethnic home band), Kalacakra (metalcore), Wayang Jemblung (Ki Riwus, Ki Arko, Does Pecas Ndahe), Luluk Ari (penari kontemporer), Indrawan Yepe (monolog), Agus Mbendhol (penari kontemporer), Ki Soma (ketoprak), Santo Setiawan (organ tunggal), Plenthe Percussion, Irama Sehat, Ustaz Hartono, Ustaz Abdul Aziz Ma’arif, dan Alkaline Nasheed.

Sajian pertunjukan Festival Macapat Kehidupan sangat lengkap dan spektakuler. Dari budaya Jawa, kemudian dialihtafsirkan menjadi sajian seni pertunjukan yang mumpuni tanpa meninggalkan esensi budaya yang menginspirasinya. Misalnya, pada fase Sinom ditampilkan lagu Aja Dibanding-bandingke. Iya, sebagaimana kondisi sekarang, lagu yang diciptakan Abah Lala dan diviralkan oleh Farel ini memang sangat pas untuk menggambarkan kesenangan yang meluap-luap.

Pada fase Megatruh, penonton disajikan pertunjukan musik metalcore oleh grup Kalacakra yang berkolaborasi dengan Plenthe Percussion. Lagu yang dibawakan bernuansa keras, tapi sarat keinginan untuk bertobat kala nyawa sudah tercekat.

Baca juga:

Sangat menyenangkan mengikuti alur sajian pertunjukan malam itu. Mungkin inilah yang disebut dengan dakwah kultural kiwari, atau, setidaknya, blueprint-nya. Mengajak berbuat kebaikan menggunakan kesenian yang dikolaborasikan dengan teknologi terbaru.

 

Editor: Emma Amelia

Didik W. Kurniawan
Didik W. Kurniawan Pembaca kadang penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email