Suatu ketika di sore hari yang sejuk, saya dan beberapa kawan sempat “menculik” Mahfud Ikhwan. Waktu itu, Cak Mahfud menjadi salah satu pembicara diskusi kepenulisan di salah satu kampus Muhammadiyah di Yogya. Tentu saja di hadapan peserta diskusi, Cak Mahfud menceritakan proses kepenulisannya, sejak mahasiswa sampai sekarang. Cak Mahfud menyatakan, semasa menjadi mahasiswa Sastra Indonesia dulu, ia sangat terinspirasi dengan sosok Kuntowijoyo. Ia bahkan menuntaskan studi sarjananya dengan membahas Kuntowijoyo. Jujur saja, kami “muslim tanpa masjid” ini sangat akrab dengan nama Kuntowijoyo, sejarawan cum sastrawan itu.
Melalui Cak Mahfud, kami ingin menggali informasi lebih dalam terkait Kuntowijoyo yang pastinya tak disampaikan dalam diskusi terbatas itu. Dari obrolan yang cukup singkat itu, kami tahu bahwa mahasiswa pergerakan–khususnya aktivis Islam–memang banyak mengidolakan Kuntowijoyo. Mahasiswa yang sering membaca media massa, terutama majalah seperti Ulumul Qur’an garapan Dawam Rahardjo, dkk mesti akrab dengan nama Guru Besar Ilmu Sejarah UGM ini.
Kuntowjioyo dan Pernak-perniknya
Memanfaatkan kepakarannya di bidang sejarah, Kuntowijoyo dengan lihai menerka-nerka arah gerak zaman, sebab baginya sejarah adalah peristiwa yang berulang, walaupun dengan kualitas yang berbeda. Tidak berhenti sampai di situ, ia juga memberikan respons bagaimana menghadapi masa depan. Kuntowijoyo adalah seorang intelektual yang multidimensi sekaligus multidisipliner. Tulisan ini mencoba membuktikan relevansi tersebut dengan berangkat dari salah satu esainya yang berjudul “Politisasi Mahasiswa: Quo Vadis?”.
Tulisan ini berusaha untuk mengulas secuil pikiran Kuntowijoyo mengenai politisasi mahasiswa yang bahkan sampai sekarang tetap menjadi pembahasan menarik. Cak Mahfud yang dihadirkan dalam tulisan ini menggambarkan pandangan mahasiswa zaman Orde Baru terhadap gagasan Kuntowijoyo.
Zaman Orde Baru yang menjadi konteks mahasiswa dalam esai Kuntowijoyo tampaknya masih relevan dengan kondisi mahasiswa saat ini. Namun, perkembangan aksi maupun gagasan di kalangan mahasiswa tidak dapat dinafikan begitu saja. Kendatipun begitu, saran Kuntowijoyo terhadap gerakan mahasiswa hari ini dan ke depannya dapat menjadi bahan diskusi yang menarik.
Krisis Identitas
Politisasi mahasiswa berarti mahasiswa memandang segala permasalahan yang mendera bangsa ini dari sudut pandang politik. Mereka meyakini, dengan politik segala masalah akan beres. Kuntowijoyo melihat politisasi mahasiswa dalam tiga pandangan: gejala normal, cara berpikir monokausal atau berpikir satu dimensi, dan komitmen sosial.
Baca juga:
Sebagai gejala normal, politisasi mahasiswa merupakan hasil dari krisis identitas yang wajar terjadi pada anak muda. Menurut psikolog Erik H. Erikson, individu usia muda kerap mengalami krisis identitas karena ada pertentangan antara keinginan akan identitas dan kebingungan menentukan identitas yang menghasilkan kesetiaan terhadap ego.
Jika ditarik dari asumsi tersebut, seorang mahasiswa sudah tentu mengalami krisis identitas. Mereka kebingungan menentukan sikap antara radikalisme atau konformisme. Jika radikal, mereka terbentur oleh kompleksitas kekuasaan negara, sedangkan bersikap konformis atau lembek bukanlah “gaya” mereka.
Akibatnya, politisasi mahasiswa lebih mementingkan mobilisasi daripada substansi dalam menyelesaikan masalah. Apabila ada persoalan, misalnya kenaikan UKT atau SPP, mahasiswa lebih memilih berdemonstrasi (mobilisasi) daripada menyelesaikan masalah (substansi). Bahkan, beraudiensi yang merupakan sikap konformis diyakini sebagai pengkhianatan terhadap jati diri mahasiswa.
Menariknya, menurut Kuntowijoyo, politisasi mahasiswa ini akan berhenti ketika mereka lulus. Sebab pada posisi tersebut, seorang mahasiswa dituntut lebih realistis. Walaupun batas antara realistis dan idealisme sangat subjektif, oleh Kuntowijoyo, umur 30 tahun mungkin adalah batasnya.
Kuntowijoyo memberikan contoh, yakni gerakan mahasiswa di Prancis pada 1968 dan di Amerika pada 1969. Gerakan yang bisa disebut sebagai counter culture menentang kemapanan surut juga pada akhirnya. Alasannya simpel, bertambahnya umur para pelopornya. Selain itu, tidak adanya organisasi dan ideologi yang lebih luas sehingga gerakan tersebut terkesan reaktif daripada proaktif.
Padahal, mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang lincah, bergerak ke sana ke mari sehingga sulit melakukan konsolidasi, kecuali adanya organisasi yang mewadahi mereka, organisasi yang bersifat horizontal sekaligus vertikal.
Di dalam dan di Luar Kampus
Terkait cara berpikir monokausal atau satu dimensi, Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang merupakan produk Orba nyatanya tidak berhasil mencegah politisasi mahasiswa. Memang, organisasi ekstra seperti HMI dan PMII berhasil didepak dari kampus, namun tidak untuk politisasi mahasiswa.
Alasannya ialah mahasiswa yang aktif di organisasi ekstra justru memperkuat basis di luar kampus. Nantinya, mereka akan kembali ke kampus dengan solidaritas yang telah dibangun. Politisasi mahasiswa, berdasarkan analisis Kuntowijoyo, sudah menjadi nasib bagi mahasiswa.
Penolakan organisasi ekstra mahasiswa terhadap asas tunggal Pancasila menunjukkan mahasiswa lebih politis (dan lebih kritis) terhadap kehidupan di luar kampus. Cara berpikir satu dimensi akhirnya terbentuk dari sini, yaitu mahasiswa memiliki fixed idea tentang orang karena mereka terlalu terlibat dalam dunia politik luar kampus.
Itulah yang bisa menjelaskan mengapa beberapa aktivis mahasiswa Islam bersikap dingin-dingin saja terhadap ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada saat itu, sebab mereka menganggap orang-orang ICMI itu adalah orang-orang yang terkooptasi oleh negara sehingga tidak dapat dipercaya.
Pertimbangan politik adalah satu-satunya pertimbangan mereka (monokausal), bahkan pertimbangan agama dengan mudah dikesampingkan. Kuntowijoyo sangat menyayangkan cara berpikir semacam itu, sebab menyempitkan cara berpikir seorang mahasiswa. Masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan ternyata adalah plurikausal alias banyak dimensinya.
Semata menggunakan kacamata struktural cukup menjawab mengapa mahasiswa terjebak dalam sudut pandang satu dimensi yang menghasilkan gerakan reaktif alias “perubahan sekarang juga atau tidak sama sekali”.
Berkaca dari politisasi mahasiswa 1966, (masa-masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru), benarkah politisasi mahasiswa satu-satunya kekuatan sejarah yang menentukan? Tidak. Kuntowijoyo melihat adanya kekuatan agama, kekuatan militer, dan kekuatan ekonomi yang saling bekerja sama. Jadi, mahasiswa tidak perlu berbesar kepala.
Mengenai komitmen sosial, Kuntowijoyo menyatakan ada dua komitmen sosial pada diri mahasiswa, ke luar dan ke dalam. Komitmen sosial ke luar disebut altruisme sedangkan komitmen sosial ke dalam disebut narsisisme sosial.
Baca juga:
Altruisme merupakan ekspresi kepedulian sosial mahasiswa. Mereka berani mengorbankan masa studi untuk membela kepentingan orang lain yang terpinggirkan. Mereka akan berafiliasi dengan LSM dibandingkan ormas karena LSM lebih netral sekaligus memenuhi keinginan mereka dibandingkan ormas yang kerap dikooptasi oleh negara.
Negara menuduh mereka marxis karena selalu siap menggugat struktur sosial. Padahal, menggugat struktur tidak harus menjadi marxis. Selain itu, mereka dituduh menjadi organisasi politik padahal hanya sebatas lembaga alternatif. Lembaga negara sering kali berkoalisi dengan pihak yang berkepentingan, sehingga mahasiswa melalui lembaga alternatif (salah satunya LSM) sangat dibutuhkan.
Namun, ada pula mahasiswa yang bergerak sekitar kampus. Target mereka adalah kekuasaan di kampus. Mahasiswa sering kali berdemonstrasi untuk menggugat rektorat karena mengeluarkan teman mereka (DO) tanpa alasan jelas. Konsentrasi kegiatan politik ada di dalam kampus. Inilah narsisisme sosial dalam istilah Kuntowijoyo.
Namun, sering kali masalah di dalam kampus adalah masalah besar, misalnya demonstrasi pelarangan terbit majalah kampus. Walaupun dilakukan di dalam kampus, jelas ini bukan narsisisme sosial. Jadi, menurut Kuntowijoyo, sensitivitas baik dari pihak mahasiswa maupun pihak kampus diperlukan sebagai komitmen sosial berbentuk narsisisme sosial
Kesimpulannya, Kuntowijoyo melihat politisasi mahasiswa sebagai gejala normal. Tetapi ia menyayangkan cara berpikir monokausal atau satu dimensi. Kuntowijoyo mengapresiasi mahasiswa yang memiliki komitmen sosial berbentuk altruisme daripada narsisisme sosial. Sebab, narsisisme sosial cukup diragukan “niat” baiknya.
Editor: Prihandini N