Dua hal penting yang dapat dikemukakan terkait dengan pembahasan seputar situasi sosial politik pemikiran keilmuan muslim kontemporer adalah menyangkut hubungan eksternal dengan dunia luar (Barat) dan hubungan di dalam internal umat Islam.
Dunia Barat dan Politik Konfrontatif
Pertama, dalam hubungannya dengan dunia luar (Barat), sering kali muncul politik konfrontatif. Politik konfrontatif terhadap Barat ini, meski bukan satu-satunya arus yang berkembang di dunia muslim, dari aspek wacana terlihat cukup dominan. Barat dalam konstruksi pemikiran mereka adalah salah satu faktor terpenting yang menyebabkan keterbelakangan kaum muslimin.
Barat tidak hanya telah menjajah wilayah kaum muslimin, tetapi juga merusak dan menghancurkan sistem nilai, budaya, sosial, ekonomi, intelektual Islam, sekaligus merusak dan melenyapkan lembaga-lembaga Islam, seperti lembaga pendidikan, politik, hukum, dan sebagainya. Padahal, pada saat yang sama, Barat itu sendiri (menurut kelompok ini) dipenuhi kebobrokan, terutama dari segi nilai dan keimanan, yang karenanya harus dilawan.
Sekurang-kurangnya, hemat saya, ada tiga jenis kejahatan yang menjangkiti peradaban Barat, yaitu sekularisme, nasionalisme, dan demokrasi. Sekularisme dipandang mengenyahkan agama dari semua derap kehidupan, mereduksi agama sebagai hubungan pribadi dan personal dengan Tuhan. Nasionalisme semula lahir sebagai pemberontakan menentang feodalisme, namun pada era modern berkembang menjadi kultus bangsa yang menggantikan kultus Tuhan.
Sementara itu, demokrasi yang semula dimaksudkan untuk membebaskan masyarakat dari tekanan penguasa feodal, kini telah merosot derajatnya menjadi tirani mayoritas dan tidak sejalan dengan kehendak masyarakat pada umumnya. Dengan cara ini, demokrasi mampu memuliakan pendapat dan keinginan mayoritas sekalipun terbukti jahat dan zalim.
Puncak pencapaian Barat pada bidang sains juga melahirkan sikap sinis oleh intelektual muslim. Sains modern memiliki kesamaan dengan sentuhan Midas. Hingga akhirnya, manusia modern menemukan bahwa kemampuan sains untuk melakukan kebaikan yang besar bagi umat manusia tampak dialihkan oleh kemampuan besar untuk melakukan kejahatan.
Umat Islam dan Politik Komunalisme
Kedua, dalam hubungan ke dalam internal umat Islam, muncul politik komunalisme. Bentuk organisasi agama komunal adalah agama yang menyatu secara integral dengan seluruh aspek kehidupan: nilai keluarga, pemerintahan, ekonomi, sampai ilmu. Dalam agama komunal, individu dipandang sebagai bagian dari kelompok secara mutlak. Politik komunalisme dalam konteks keagamaan ditandai dengan sikap eksklusif beragama, dan lebih berorientasi kepada pandangan kelompoknya semata yang diklaim mewakili kebenaran.
Dalam lingkup yang lebih luas, ketika Islam dipandang tidak saja sebagai sebuah agama tetapi juga peradaban, maka semakin jelas hubungan yang linear antara politik konfrontatif Islam terhadap peradaban Barat sebagai musuh. Dengan politik komunalisme, peradaban Islam hendak ditampilkan sebagai alternatif satu-satunya bagi umat manusia.
Di luar arus dominan wacana politik konfrontatif terhadap Barat dan politik komunalisme umat Islam sebagaimana disebut di atas, sebenarnya interaksi dunia Islam dengan Barat modern lewat kolonialisme telah membuka mata kaum muslim untuk memperluas gerakan kebangkitan mereka. Tidak hanya dengan membenahi persoalan-persoalan keagamaan, tetapi juga dengan gerakan politik untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme Barat.
Baca juga:
Kaum muslim yang belajar di Barat menangkap bahwa yang menjadi elan vital kemajuan Barat adalah pandangan dunia yang menekankan peran akal atau rasio, kebebasan, dan otonomi manusia. Kelompok yang kemudian dikenal sebagai modernisme Islam ini meyakini bahwa pemikiran liberal dan pendidikan modern Barat sebagai suatu keniscayaan dari keislaman.
Di antara intelektual muslim yang apresiatif terhadap Barat dan mengusung nilai-nilai modern yang rasional kepada dunia muslim ada sosok Muhammad Abduh. Dia sering dianggap sebagai aktor utama pembaruan muslim dan memiliki pengaruh dalam kelompok modernisme Islam ini.
Muhammad Abduh menunjukkan bahwa masyarakat Mesir menjadi terbelakang karena mereka telah kehilangan kapasitas untuk memperbarui dirinya. Problem sosial dan politik Mesir terjadi karena warisannya sendiri. Akibatnya, Mesir tidak mampu menanggapi tantangan zaman.
Kelemahan umat Islam disebabkan oleh perpecahan internal umat, yakni umat Islam terpecah belah menjadi bangsa-bangsa kecil dengan beragam sekte dan keyakinan. Mereka saling bertikai demi kesetiaannya pada pemimpin. Selain itu, kelemahan ini juga disebabkan oleh kebodohan dan salah memahami iman, tertutupnya pintu ijtihad, dan kekeliruan kebijakan pemimpin (Lihat Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh Perintis Pembaruan Islam”).
Respons terhadap Dominasi Barat
Secara umum, sebagaimana diungkap Azyumardi Azra, ada tiga bentuk respons para pemikir muslim terhadap dominasi Barat.
Pertama, sikap apologetik dengan mengemukakan kelebihan-kelebihan Islam yang tidak hanya untuk menjawab hegemoni Eropa, tetapi sekaligus tantangan intelektual Eropa yang mempersoalkan aspek-aspek tertentu ajaran Islam seperti jihad, poligami, perbudakan, dan lain-lain.
Mereka yang berada dalam posisi ini cenderung normatif dan idealis dengan mengabaikan realitas sosial. Selain itu, mereka juga mencerminkan sikap reaksioner. Kelompok ini melihat elemen-elemen Islam dalam kebudayaan Arab sebagai elemen yang harus ditonjolkan. Mereka berusaha kembali kepada sumber-sumber Islam autentik.
Kedua, sikap identifikatif, yakni dengan mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi guna merumuskan respons sekaligus identitas Islam pada masa modern. Kebudayaan Arab bagi kelompok ini dinilai masih sesuai era modern dengan cara interpretasi yang cerdas dan berbagai modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan modern.
Ketiga, sikap afirmatif, yaitu dengan menegaskan kembali kepercayaan kepada Islam sekaligus menguatkan kembali eksistensi masyarakat muslim itu sendiri. Dalam perspektif ini, kebudayaan Arab mesti diubah dan dirumuskan kembali secara tepat. Pandangan keagamaan tentang kehidupan dan dunia perlu diganti dengan pandangan sekuler yang didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalisme, ilmu, dan teknologi.
Pandangan Pemikir Muslim Lain
Terkait dengan respons intelektual muslim terhadap ketertinggalan umat Islam dan dominasi ilmu Barat, ada beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh pemikir muslim seperti Ziauddin Sardar dan Pervez Hoodbhoy.
Sardar membagi respons ilmuwan muslim kepada tiga bagian juga. Pertama, kelompok muslim apologetik. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral. Mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari ayat-ayat al-Qur’an yang relevan.
Kedua, kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat agar dapat menyaring elemen- elemen yang tidak Islami.
Kelompok ini berpendapat bahwa ketika sains modern berada dalam masyarakat yang Islami, maka fungsinya termodifikasi sehingga dapat digunakan untuk melayani kebutuhan dan cita-cita Islam. Namun, lanjut Sardar, karena dalam eksperimen-eksperimen dan teknik- teknik yang kuantitatif sekalipun ia tidak dapat lepas dari nilai-nilai, alih-alih mampu merealisasikan Islam, sains modern malah akan menjadi pendukung nilai-nilai Barat yang tidak Islami.
Ketiga, kelompok yang percaya adanya sains Islam dan berusaha membangunnya. Inilah yang kemudian menjadi perhatian utama Sardar terkait dengan ilmu. Melalui Majalah Afkar, Sardar dan koleganya seperti Munawar Ahmad Anees, Parvez Mansoor, Gulzar Haider, dan Meryll Wynn Davies, berbagi persoalan menyangkut upaya mewujudkan sains Islam, khususnya pada aspek epistemologi untuk terus didiskusikan.
Baca juga:
Sementara itu, Hoodbhoy yang dikenal kritis terhadap sains Islam menyebutkan ada tiga tipe yang muncul di kalangan intelektual muslim dalam merespons sains modern.
Pertama, reaksi yang ekstrem seperti yang ditampilkan oleh Sayyid Qutb di Mesir dan Sayyid Abu al-A’la Maududi di Pakistan. Menurut Hoodbhoy, mereka mengklaim bahwa tidak ada yang perlu disesali dari ketertinggalan umat Islam, sebab sains modern tidak dibimbing oleh nilai moral, tetapi oleh materialisme yang vulgar dan arogansi.
Kedua, reaksi yang berupaya menafsirkan iman agar dapat memadukan antara tuntutan-tuntutan sains dan peradaban modern dengan ajaran-ajaran dan tradisi Islam. Secara historis, jelas Hoodbhoy, kelompok ini kembali kepada tradisi gerakan Mu’tazilah dan karya Ibnu Rusyd, khususnya bukunya yang berjudul Tahafut al-Tahafut (Kerancuan-kerancuan) yang menolak anti rasionalisme Al-Ghazali.
Dalam tradisi ini, dinyatakan bahwa firman Tuhan tidak pernah keliru, juga bahwa kebenaran sains adalah riil. Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, dan Sayyid Ahmad Khan adalah tokoh terdepan kelompok ini.
Ketiga, sikap yang menyatakan bahwa sains dan modernitas secara esensial tidak memiliki hubungan langsung dengan agama dan iman. Kelompok ini cukup puas dengan keyakinan bahwa Islam dan sains tidak penah terlibat konlik serius, termasuk dalam ruang untuk saling menguji isu-isu yang berdekatan.
Kelompok ini, menurut Hoodbhoy, merupakan pandangan mayoritas yang dipegang oleh umat Islam. Hoodbhoy juga menganggap bahwa upaya menggunakan al-Qur’an sebagai pembenar atau justifikasi terhadap fakta-fakta sains modern adalah berlebih- lebihan.