Oliver dan Puisi Lainnya

Bardjan Triarti

1 min read

oliver

minum satu shot setiap kamu keliru
mengeja nama-nama nestapa
yang tak kusingkap
di balik kemejaku
satu shot lagi sebab kamu lupa
memadamkan api sembrono
di dalam dadaku
ingatkan aku lagi apa warna
kejatuhan-kepasrahan
warna kebebasan
apa ia sewarna dengan kulitmu
yang perunggu
berapa lama aku harus
menunggu
pintumu membuka
sedangkan waktu adalah
gir-gir kebangkrutan
menggilas
dokumen-dokumen pernikahan
menggilas
puisi-puisi cengeng yang
kutulis di pelipismu
tempat mimpiku berlabuh
dan berkembang biak
kukecupi setiap malam
dengan setia–dengan setia!
tapi, oliver, berapa lama aku harus
menunggu?
minum satu shot setiap aku keliru
membaca perasaanmu

andries

sudahi tangismu andries / kesedihan telah mengering /
di dadamu yang peot / membentuk koloni jamur /
di sekeliling bibirmu / seperti kandidiasis yang menjengkelkan /
aku tetap menciuminya dengan saleh / kesakitanmu adalah
susuh-susuh / menancap di punggung / aku mencabutinya
/ dengan saksama / badanmu mendidih andries / rambutmu
meranggas / seperti mimpi naif masa kanak-kanak
bokongmu layu / borok-borok selalu segar dan basah kuyup /
pelupuk matamu adalah kotak tisu / yang kosong / air mata
menguning / melumuri raga compang-camping /
everything is a malady /
on your body / oh you are dying andries /
tapi aku tetap di sini / meminum luka-luka dari gelasmu /
mendekap telanjangmu / memandikanmu dengan
penuh kasih / seperti ibu

rye

nomorku masih yang itu rye
kapan kamu mengisap rokok-rokokku lagi
seperti kemacetan jakarta
menenggelamkan
sepatu-sepatu kelelahan
menenggelamkan
marka-marka jalan tol
seperti jam pulang kerja
membakar
trotoar-trotoar segitiga emas
membakar
langit senja kedodoran
bermukim di lautan rambutmu
yang wangi kamomil
kapan kamu minum gin-gin murahan ini
yang menyiksa lapisan perutku
putarlah lagu-lagu jelek itu
yang melubangi kesepian
di dinding-dinding kamarku
kapan kamu tamatkan novel-novel
yang nelangsa dan
melapuk di atas meja kerjaku
jiwaku yang berdebu
tumor-tumor yang menempel
di langit-langit kamar
mengunyahi sisa-sisa bahagia
yang kupunya. lihat! lihat!
aku kian menyedihkan
tertawalah sepuasmu sekarang

nomorku masih yang itu rye

yus

takdir kita pernah bergontokan di kamar hotel lima ratus ribuan itu yus / we talked a lot / you were so funny as usual / it was 11 pm / dua tubuh malas bertindihan di atas single bed / lagu-lagu dream pop payah / berputar tak berkesudahan /
aku meneguk arak bali / langsung dari jurang mulutmu
itulah momen puitik /
bulu mata extension-ku rontok ke sisi hidungmu /
itulah momen puitik /
then we started it / you choked me / dusta-dusta mampet di kerongkongan / then you spitted on my face / that was not just a spit /
itulah momen puitik /
hantu dan tuhan bergantian mengintip dari balik bantal / kita terpingkal / satu jam waktu kumuntahkan / ke dalam matamu yang kusam / yang berkali membunuhku
dari balik jendela / rembulan tembaga memancarkan doa-doa / kepada lampu tidur yang sia-sia / kepada hampa yang berpura-pura / kepada dosa

lalu angka-angka dari arlojimu / meluber ke sprei / mataku meringis / kamu lekas berpakaian / pergi menyisakan dada yang menganga /
itulah momen puitik yus!
suatu pagi kamu akan mengerti /

riz

plung! likuid apa yang
kauteteskan
ke rongga-rongga
paling ganjil
di tubuhku, riz?
ia meresap lewat
celah-celah
keabadian yang kotor
dan tak tahu aturan

dunia sudah
kepalang sementara
abadi adalah kutukan
meski aku bahagia
melarut memejal
dalam kesementaraan
yang chaos dan
hanya chaos

lalu aku akan
mengajakmu berjingkrak
dalam kehancuran itu
selamanya

*****

Editor: Moch Aldy MA

Bardjan Triarti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email