Indonesia selalu bangga dengan statusnya sebagai negara hukum. Begitu juga dengan para warganya, mereka amat kagum dengan status negaranya sebagai negara hukum. Sampai-sampai narasi Indonesia adalah negara hukum begitu pasaran menjadi kalimat awal skripsi para mahasiswa.
Padahal, klaim negara hukum menyimpan sebuah kengerian tak kasat mata. Kebanggaan atas status sebagai negara hukum hanyalah kebanggaan buta yang menolak perbandingan rasional dengan negara-negara sejahtera.
Negara Hukum atau Negara Kesejahteraan
Jika kita membaca buku Sistem Pendidikan Finlandia yang ditulis oleh Ratih D. Adiputri, terselip sebuah klaim negara yang cukup berbeda dengan Indonesia. Finlandia mengklaim diri sebagai negara kesejahteraan. Klaim itu jelas bukan hanya omong kosong, sebab secara objektif Finlandia berhasil membuktikannya dengan konsisten dan mendapat anugerah sebagai negara paling bahagia di dunia. Sebuah penalaran sederhana jelas membuktikan bahwa orang yang bahagia, biasanya sejahtera.
Di negara yang berhasil merealisasikan klaim kesejahteraan, hukum justru ditempatkan pada posisi yang nyaris tidak penting. Hukum hanya menjadi jaring yang tak terlalu sering digunakan, sebab tidak banyak orang yang akan melanggar hukum ketika hampir seluruh kebutuhan hidupnya terpenuhi. Faktanya, di Finlandia angka kriminalitas rendah. Di sana, nyaris semua komplek perumahan aman kendati rumah lupa dikunci.
Baca juga:
Tidak hanya di Finlandia, fakta lain juga terlihat di negara sejahtera lainnya, yaitu Swedia, Denmark, dan Norwegia. Dalam buku Masyarakat Tanpa Tuhan karya Phil Zuckerman, dijelaskan bahwa Swedia, Denmark, dan Norwegia menempati posisi di atas 20 besar sebagai negara paling aman di dunia. Aman artinya angka kriminalitas rendah, sehingga aparat penegak hukum nyaris tak terlalu berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Akhirnya, bisa diduga bahwa hukum di negara-negara tersebut hanya bersifat formalitas. Barangkali setiap tahun justru banyak undang-undang yang dihapus daripada menghasilkan undang-undang baru.
Mengapa negara-negara tersebut bisa sedemikian aman dan tenteram? Jawabannya cukup sederhana, karena kesejahteraan warga yang tercapai dan pendidikan yang berkualitas. Meskipun demikian, dua hal tersebut tidak cukup sederhana untuk diwujudkan di negara yang amat bangga dengan klaim negara hukum, seperti Indonesia.
Cukup bertolak belakang dengan negara-negara tersebut, Indonesia justru mengklaim dengan begitu lantang dan terang-terangan sebagai negara hukum. Dengan interpretasi sedikit nyeleneh, barangkali negara hukum adalah negara yang terlalu banyak memuat hukum, atau negara yang suka dihukum. Bahkan mungkin, negara yang suka menghukum warga negaranya sendiri dengan hukum yang dibuatnya sendiri. Ironis.
Hukum dan Peradaban Manusia
Secara historis, hukum hadir sebagai respons atas pelanggaran. Misalnya, aturan tentang larangan berhenti ketika sedang melakukan tindakan penalti dalam sepak bola, muncul karena ada pemain yang pernah melakukan trik curang itu. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual muncul sebagai respons atas banyaknya kekerasan terhadap perempuan.
Undang-Undang tindak pidana yang semakin bermacam-macam hadir sebagai respons atas kriminalitas yang semakin bermacam-macam pula, misalnya pinjol, judi slot, hoaks, dan sejenisnya. Pada lanskap ini, negara hukum mengisyaratkan diri sebagai negara yang pekat dengan pelanggaran, sehingga dirasa perlu ada hukum yang mengikat agar pelanggaran-pelanggaran tidak terus terjadi. Maka, tidak berlebihan jika klaim negara hukum justru diinterpretasikan sebagai sebuah noda bangsa yang terus dibangga-banggakan secara serampangan.
Di sisi lain, ada sebuah ukuran unik tentang puncak sebuah peradaban manusia. Katanya, manusia dapat dikatakan mencapai puncak peradabannya jika pertandingan sepak bola tidak lagi membutuhkan wasit. Artinya, tanpa wasit pun, sebuah pertandingan akan berlangsung dengan baik, tidak rusuh, sebab setiap manusia di dalamnya telah mengerti batas-batas antara yang boleh dan tidak boleh secara bersamaan, meskipun tidak ada hukum yang mengikat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tidak ada hukum, semakin dekat pula manusia pada puncak peradabannya.
Meskipun agaknya mustahil untuk menghapus seluruh hukum, terus menambah hukum jelas bukanlah sebuah kebanggaan. Semakin banyak hukum, artinya semakin banyak pelanggaran. Semakin banyaknya pelanggaran mengindikasikan kemerosotan peradaban. Pada tahap ini, rasa-rasanya tak cukup lagi alasan untuk terus berbangga atas klaim sebagai negara hukum, bukan?
Baca juga:
Konsekuensi sebagai Negara Hukum yang Memuakkan
Dalam sebuah podcast, Yusril Ihza Mahendra pernah menjelaskan jika suatu negara memiliki hukum yang lemah, etika dalam masyarakatnya harus kuat. Namun, jika etika masyarakatnya lemah, hukum di negara tersebut haruslah kuat agar masyarakat tetap dalam kestabilan dan ketertiban.
Namun pertanyaannya, apakah Indonesia memiliki salah satunya? Belakangan, jawabannya justru Indonesia tidak kuat dalam dua hal tersebut. Indonesia justru seakan menjadi negara yang menerobos etika dan hukum sekaligus. Hal ini terbukti secara akumulatif dalam keputusan MK tentang pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dalam Pemilu 2024. Lebih lanjut, berbagai kecurangan dan pelanggaran etika dalam Pemilu 2024 cukup jelas memamerkan remuknya etika dan lemahnya hukum dalam menegakkan keadilan dan mewujudkan ketertiban sosial.
Lebih dari itu, hukum di Indonesia tampaknya tak menunjukkan komitmen untuk menciptakan kesetaraan dalam proses pembuktian. Dalam buku terbaru Tere Liye, Teruslah Bodoh Jangan Pintar, digambarkan satir tentang bagaimana hukum diinterpretasikan secara keliru oleh golongan oligarki dengan memanfaatkan uang-uang yang tak terbatas. Hukum bisa dibeli, kasarnya begitu.
Hal ini diperjelas oleh argumentasi Eddy Hiariej ketika menjadi saksi ahli dalam sidang sengketa Pilpres 2019. Ia secara tegas menyinggung bahwa hukum modern merupakan hukum yang bergantung pada interpretasi. Atas dasar itu, pembuktian atas pelanggaran hukum harus lebih terang daripada cahaya agar dapat terlihat secara objektif.
Namun, di sisi inilah hukum justru menjadi tidak setara, sebab proses pembuktian membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Butuh modal-modal besar untuk dapat mengakses bukti-bukti kejahatan serta butuh backing-an kuat untuk menjaga nyawa tetap terjaga. Misalnya, seorang nenek-nenek yang terbukti mencuri kayu, tak dapat mengelak untuk terbebas dari tuntutan karena tidak memiliki sumber daya uang sebagai sarana pembelaan. Sedangkan misalnya, sebuah perusahaan besar yang merusak lingkungan tetap melenggang karena kesalahannya tak pernah berhasil dibuktikan.
Tidak terbukti bukan karena tidak melakukan pelanggaran, tapi karena berhasil menyembunyikan bukti-bukti pelanggarannya dengan uangnya yang tak terbatas. Lalu, bagaimana mungkin sebuah keadilan dapat diperoleh jika hukum yang berlaku di negara hukum justru compang-camping?
Kengerian Negara Hukum dalam Sorot Tajam Buku 1984
Konsekuensi yang paling ngeri dari negara hukum digambarkan begitu mendalam oleh George Orwell dalam bukunya yang berjudul 1984. Buku ini memang tidak secara gamblang menceritakan sebuah negara hukum, tetapi mengisahkan secara vulgar kondisi negara totalitarian dengan berbagai praktik pengawasan ketat yang legal. Dalam buku 1984, warga negaranya diawasi 24 jam oleh sebuat teleskrin (semacam CCTV bergambar dan bersuara) yang terhubung langsung dengan kelompok penguasa. Pengawasan tersebut ada di ruang yang paling privat sekalipun, seperti kamar tidur dan toilet. Privasi hanya menjadi fantasi belaka. Bahkan, berpikir untuk melanggar aturan penguasa akan dianggap kejahatan yang disebut dengan kejakir atau kejahatan berpikir.
Baca juga:
Di dunia nyata kita hari ini, negara semacam ini barangkali cukup terwakilkan oleh Korea Utara. Penggambaran negara dalam buku 1984 cukup ketat mengatur tingkah laku warganya. Mulai dari larangan seks untuk para anak muda, larangan menyendiri, dan larangan-larangan sepele lainnya. Dengan kata lain, setiap gerak-gerik warganya diawasi secara total.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan konsekuensi penyiksaan atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan warga negaranya. Selain dipaksa mengakui kesalahannya, para pelaku kejahatan juga didoktrin secara kejam dengan penyiksaan agar menghilangkan secara total pikiran buruknya tentang penguasa. Penguasa harus secara total dipikirkan baik. Penyiksaannya terjadi dengan cara yang paling keji. Mulai dari pemukulan, penyetruman, dan sejenisnya hingga merusak mental dan harapan hidup. Atas legitimasi hukum, karena merupakan negara hukum, segala hal paling keji pun dapat dianggap sah.
Pada intinya, negara-negara totaliter selalu memiliki aturan hukum yang banyak dan detail untuk mengawasi warganya. Bahkan mereka memiliki aturan yang mengurus persoalan paling privat, yaitu seks. Artinya, para negara totaliter ini adalah negara yang menghamba pada hukum. Ironisnya, hukum tersebut selalu menjadi alat yang akan terus melanggengkan kekuasaan dan melegitimasi segala tindakan penguasanya.
“Karena melanggar hukum yang dibuat oleh penguasa, Anda kami tangkap!” Booom!
Lalu, apakah ini puncak kebanggaan klaim kita sebagai negara hukum, yakni menjadi negara totaliter? Semoga saja tidak.
Tulisan ini bukan menolak adanya hukum, melainkan harapan agar kesadaran etis dijunjung lebih tinggi daripada hukum. Jangan sampai hanya karena klaim negara hukum, urusan yang bisa diselesaikan secara sederhana justru dibesar-besarkan. Begitupun sebaliknya, urusan yang besar justru dikecil-kecilkan. Inilah pentingnya kesadaran etis yang harus melampaui hukum.
Editor: Prihandini N