Bagaimana carut-marut di tubuh pemerintah bisa terselesaikan jika Presiden Joko Widodo justru mengurus hal-hal remeh seperti larangan buka puasa bersama bagi pejabat dan ASN?
Seperti jauh panggang dari api, aturan yang dikeluarkan Jokowi adalah langkah sia-sia. Alasan mendukung konsep hidup sederhana lewat larangan buka puasa bersama para pejabat dan ASN bukanlah tindakan yang ditunggu masyarakat. Aturan itu tidak ada korelasinya dengan sistem pemerintahan yang carut-marut dan terekspos ke publik saat ini.
Mengajak hidup sederhana memang bukanlah sebuah kesalahan. Pamer penampilan, perhiasan, atau jabatan memang sering mendominasi agenda buka puasa bersama yang dibungkus dengan ajang silaturahmi. Namun, poinnya bukan di situ. Poinnya adalah apakah larangan buka puasa bersama bisa menciptakan hidup sederhana bagi para pejabat dan ASN? Dan apakah persoalan keuangan negara yang saat ini viral bisa diatasi?
Tidak salah jika Jokowi berniat mengatasi kebiasaan hidup hedon yang dipertontonkan banyak pejabat dan keluarganya saat ini. Namun, hal utama yang harus dibenahi adalah sistem keuangan negara yang rawan diselewengkan jika tidak diawasi, diperiksa, dan ditindak tegas. Bagaimana semua itu bisa dibuktikan benar tidaknya jika tidak ada pengusutan yang tegas?
Saran Hidup Sederhana Bukanlah Jawaban
Jauh sebelum Jokowi mengeluarkan konsep hidup sederhana dadakan itu, warga sudah ramai-ramai menggalakkannya. Slogan frugal living (gaya hidup hemat) mulai ramai digaungkan dan dijalankan di Indonesia sekitar tahun 2022. Sudah banyak yang melakukannya dan bukan gimik atau pura-pura.
Baca juga:
Para penganut frugal living menggunakan atau membeli sesuatu sesuai kebutuhan agar tidak mubazir. Tentu hal itu dilakukan dengan analisis keuangan untuk mencapai kebebesan finansial di masa depan. Kelebihan uang dari hidup secukupnya bisa ditabung hingga menjadi passive income melalui investasi.
Selain itu, para penganut frugal living juga berupaya menjalankan usaha sampingan. Bahkan ada yang berhenti dari ASN untuk membangun bisnis. Frugal living bukan sekadar menggaungkan “jangan mempertontonkan kemewahan di media sosial”. Toh orang-orang yang menjalankan konsep frugal living juga banyak yang berasal dari kaum berduit tapi memilih tetap tampil sederhana dalam kehidupan sehari-hari dan di media sosial. Pada akhirnya, hidup sederhana itu kembali ke kesadaran masing-masing orang tanpa perlu dipaksa dan diatur.
Hal yang harusnya menjadi fokus Jokowi sebagai kepala negara adalah mengatasi carut-marut sistem pemerintahan. Apalagi ada begitu banyak kasus skala besar yang menjadi sorotan publik. Itu pun baru sebagian kecil yang terekspos. Dan yang memantik terbongkarnya kasus tersebut adalah inisiatif publik, bukan inisiatif atau hasil pengawasan internal pemerintahan. Padahal keterbukaan informasi publik, terutama sistem tata kelola keuangan negara adalah hak seluruh masyarakat.
Rekening gendut pejabat pajak, aliran dana mencurigakan hingga ratusan triliun, perilaku petugas bea cukai, perseteruan antarkementerian atau instansi lain, transparansi pengelolaan keuangan negara termasuk soal pajak, dan hal-hal lainnya bukanlah hal sepele. Oleh karena itu, tindakan tegas Jokowi menjadi penentu wajah pemerintahan dan kepercayaan publik.
Jika para menteri Jokowi ternyata tidak bisa mengatasi persoalan internalnya, ia punya hak prerogatif untuk bertindak tegas, bukan membiarkan masalah-masalah yang ada seperti bola liar. Jika tidak ada komitmen atau ketegasan dari pimpinan instansi untuk mereformasi jajaran yang dinilai bermasalah, sudah seharusnya Jokowi mengambil tindakan dengan menunjukkan ketegasan sikap sesuai aturan.
Tindakan korup, power syndrome yang memperlakukan masyarakat biasa dengan tidak adil sementara memperlakukan pejabat dan keluarganya dengan pelayanan baik harus dihapuskan.
Persoalan di Kementerian Keuangan bukanlah hal kecil, kasus-kasus di kementerian lain pun harus diselidiki, bukan menunggu sampai viral dan masyarakat mengugat baru kasak-kusuk menjawab atau menyampaikan permohonan maaf. Memang, beberapa pejabat dikenai sanksi karena istrinya pamer harta dan gaya hidup di media sosial, tapi itu belum cukup untuk reformasi birokrasi yang lebih transparan dan akuntabel ke masyarakat.
Saya bahkan menerima pesan dari beberapa warganet, “percaya bahwa pemerintah bisa menyelesaikan persoalan saja sudah aneh.”
Hal itu wajar diungkapkan sebagai bagian dari mosi tidak percaya. Memang begitulah pengalaman yang terjadi hingga saat ini. Terkadang sebuah temuan berhenti di tengah jalan tanpa ada kejelasan.
Menunggu Keberanian Jokowi
Melakukan reshuffle atau memberikan sanksi tegas yang sesuai aturan bisa menjadi pilihan. Persoalannya adalah, pengambil kebijakan tertinggi mau atau tidak menyelesaikan masalah tersebut. Dengan begitu, pemerintah tidak harus menunggu masyarakat melayangkan protes melalui media sosial atau melakukan aksi besar-besaran dengan turun ke jalan.
Mantan Presiden Tanzani, Jakaya Kikwete, memecat enam menterinya di tengah dugaan korupsi dalam tubuh pemerintah. Keenam menteri itu adalah menteri keuangan, menteri energi, menteri pariwisata, menteri perhubungan, dan menteri kesehatan.
Baca juga:
Mantan Presiden Georgia, Mikheil Saakashvili, melakukan reformasi semua bidang, termasuk pemberantasan pungutan liar. Dia memecat 30 ribu polantas karena kasus korupsi. Bank Dunia menyebut kebijakan itu sukses mengurangi korupsi.
Mantan Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma, juga pernah memecat Menteri Keuangan Pravin Gordhan karena pasar saham terguncang dan nilai mata uang anjlok.
Di Indonesia, mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) juga pernah memberhentikan beberapa menterinya yang dinilai terlibat pelanggaran HAM dan juga konflik kepentingan Bulog. Gus Dur juga dikenal sebagai presiden yang antidiskriminasi.
Reshuffle bisa jadi bukan solusi jika tidak ada komitmen atau ketegasan dari pimpinan instansi untuk mereformasi jajarannya yang bekerja tidak sesuai aturan. Namun, jika reshuffle atau pemberhentian pejabat bisa dilakukan, lakukanlah. Jangan takut dengan afiliasi politik.
Jika Jokowi menganggap reshuffle belum perlu, seharusnya ia mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan hal-hal krusial sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat. Dengan demikian, ada upaya dan tindakan tegas nyata dari kepala negara untuk merespons persoalan. Bukan malah membuat aturan dan mendadak hidup sederhana di bulan Ramadan. Masyarakat tidak butuh pencitraan, tetapi ketegasan tindakan penuntasan persoalan agar tidak ada kecurigaan.
Editor: Prihandini N